tirto.id - Lelaki muda itu kaget bukan kepalang saat pintu kamarnya didobrak paksa oleh orang-orang asing yang tidak ia kenal. Rupanya mereka adalah tentara Belanda. Tanpa basa-basi, si pemuda bernama Rosihan Anwar itu ditangkap dan digiring masuk ke dalam truk militer yang telah bersiaga di depan rumah. Majalah yang tergeletak di meja pun turut disita.
Di bak belakang truk, sudah ada beberapa tawanan lainnya yang meringkuk dengan tangan terikat. Setidaknya ada 5 orang yang semuanya ternyata tokoh angkatan perang Republik Indonesia, salah satunya adalah M.T. Haryono.
Rosihan langsung paham bahwa serdadu-serdadu Belanda itu salah tangkap. Ia mungkin dikira Letnan Alex Susantyo yang memang tinggal satu rumah dengannya. Hanya saja, Letnan Alex saat itu sedang bertugas di luar daerah, dan justru dirinya yang ditangkap tanpa permisi hingga ikut dijebloskan ke penjara Bukit Duri, Jakarta.
“Semalaman saya tidak bisa tidur di dalam sel yang berukuran begitu kecil dan diisi dengan empat orang. Untunglah, Belanda cepat tahu saya telah ditahan secara keliru,” kenang Rosihan Anwar dalam buku autobiografinya yang berjudul Belahan Jiwa (2011: 67).
Terjal di Depan, Lancar Kemudian
Kejadian salah tangkap itu terjadi pada 21 Juli 1947, tepatnya hari Minggu, pukul 23.00. Belanda sedang menggelar Operasi N dengan misi khusus menangkapi para perwira angkatan perang republik. Operasi ini merupakan tahap awal dari Agresi Militer Belanda I.
Majalah Siasat yang ikut disita tentara Belanda di malam penangkapan itu dikira majalah milik militer Indonesia, tapi ternyata bukan. Majalah itu kepunyaan Rosihan Anwar, dan ia sendiri yang menjadi pemimpin redaksinya.
Ya, Rosihan Anwar adalah seorang wartawan, pekerjaan yang digelutinya sejak lulus dari sekolah menengah atas Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta pada 1942. Ia merantau ke Jawa sejak 1939. Rosihan adalah lelaki Minang asli, dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, tanggal 10 Mei 1922.
Karier jurnalistik Rosihan Anwar dimulai sebagai reporter majalah Asia Raya pada era pendudukan Jepang. Profesi tersebut dilakoninya hingga proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Usai itu, Rosihan bekerja di harian Merdeka sebagai redaktur. Pada 1947 ia menerbitkan media sendiri, majalah berkala yang diberi nama Siasat. Rosihan menjadi pemimpin redaksinya ketika usianya terbilang masih muda, 25 tahun. Pada 1947 ini pula Rosihan menikahi perempuan pujaan hatinya, seorang gadis bernama Siti Zuraida.
Setahun kemudian, Rosihan menerbitkan surat kabar lagi, yaitu Pedoman, yang terbit setiap hari. Ia memimpin keredaksian Siasat selama satu dekade sebelum ia menyerahkan kendali majalah itu kepada Sanjoto pada 1957. Sanjoto sebelumnya menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi. Rosihan sendiri selanjutnya lebih fokus mengurusi harian Pedoman.
Sayangnya, Pedoman kena beredel Orde Lama pada 7 Januari 1961. Presiden Sukarno tampaknya kurang menyukai beberapa pemberitaan yang dimuat surat kabar itu. Dengan dilarangnya Pedoman, maka tidak cukup dana yang tersisa untuk meneruskan penerbitan Siasat yang kemudian harus ditutup pula.
Sejak dua medianya gulung tikar, Rosihan tetap aktif menulis sebagai kolumnis untuk sejumlah majalah luar negeri, termasuk Business News, dan cukup produktif menulis buku.
Mulai tergerusnya kekuasaan Sukarno sejak terjadinya peristiwa 30 September 1965 meniupkan angin segar bagi karier Rosihan Anwar. Tawaran menulis berdatangan dari banyak surat kabar atau majalah dari luar negeri maupun media nasional.
Selain Business News, Rosihan juga menjadi kolumnis maupun koresponden untuk Asiaweek, The Age, Melbourne, Hindustan Times New Delhi, World Forum Features, Asian, dan lainnya. Untuk surat kabar dalam negeri, Rosihan menjadi kolumnis di Kompas, KAMI, serta Angkatan Bersendjata.
Puncak kebangkitan kiprah jurnalistik Rosihan terjadi pada 1968 ketika ia berhasil menerbitkan kembali harian Pedoman yang sempat mati lantaran terkena gebuk rezim lama. Saat itu, Orde Baru mulai menancapkan pengaruhnya di bawah kendali Soeharto yang perlahan tapi pasti mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.
Setia di PWI Sampai Mati
Rosihan Anwar pernah berurusan dengan rezim terbaru yang menyebabkan terbelahnya kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kala itu menjelang Pemilu 1971, aroma kepentingan politik sangat terasa dalam banyak hal, termasuk ketika PWI menggelar kongresnya yang ke-14 di Palembang pada 14-19 Oktober 1970.
Yang dijagokan memimpin PWI saat itu adalah B.M. Diah. Jurnalis senior ini mendapat dukungan penuh dari aparat Operasi Khusus pimpinan Ali Moertopo yang merupakan representasi pemerintah saat itu dan ikut campur dalam Kongres PWI.
Di sisi lain, ada kelompok yang tidak menyukai B.M. Diah, dipimpin oleh Harmoko. Harmoko yang kelak menjabat sebagai Menteri Penerangan RI saat itu belum menjadi bagian dari pemerintahan Orde Baru, ia adalah Ketua PWI cabang Jakarta.
Sebagai upaya agar B.M. Diah tidak terpilih lagi, kubu Harmoko memunculkan Rosihan Anwar untuk maju menjadi kandidat Ketua PWI Pusat. Pemungutan suara pun dilakukan dan hasilnya, Rosihan menang dengan meraih 16 suara, sementara B.M. Diah hanya 11 suara.
Tapi, hasil penghitungan suara itu tidak direstui pemerintah yang tetap ngotot menempatkan B.M. Diah di kursi tertinggi PWI. Akibatnya, kepengurusan PWI pun pecah menjadi dua kelompok, yakni PWI kubu B.M. Diah dan PWI yang dimotori Rosihan Anwar.
Meskipun begitu, perpecahan tersebut tidak bertahan lama. Intrik pemerintah bermain di sini karena Soeharto menginginkan penyatuan PWI agar bisa lebih mudah dikendalikan. Akhirnya, pada 6 Maret 1971, PWI menjadi satu kembali.
Menurut catatan Rosihan dalam Menulis Dalam Air (1983), sejak saat itu, pemerintah kian dalam melakukan intervensi dan menanamkan pengaruhnya, termasuk dengan menempatkan Harmoko sebagai Ketua PWI Pusat pada kongres 1973 (hlm. 254). Nantinya, Harmoko diangkat Soeharto sebagai Menteri Penerangan untuk mengendalikan jalannya kehidupan jurnalistik di tanah air.
Kendati PWI terkesan tidak independen lagi selama era Orde Baru, Rosihan tetap bertahan, bahkan hingga akhir hayatnya. Ia menjabat sebagai Ketua Pembina PWI Pusat periode 1973-1978. Selanjutnya, ia menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat sejak 1983 hingga meninggal pada 14 April 2011, tepat hari ini 8 tahun lalu.
Rosihan Anwar adalah wartawan yang nyaris selalu berhasil melintasi zaman, dari era penjajahan Jepang sampai pasca-reformasi. Lebih dari itu, namanya terekam pula sebagai penulis buku, bahkan sejarawan, seniman, juga budayawan.
Di masa tuanya, sampai kematian menjemput, Rosihan sangat produktif menulis artikel-artikel retrospektif. Berbagai obituari tokoh-tokoh ia tulis berdasarkan ingatan dan kenangan personal yang ia alami sendiri saat berinteraksi dengan tokoh-tokoh tersebut. Pengalamannya melintasi berbagai zaman membuat artikel-artikel itu menarik dibaca karena selalu menempatkan seorang tokoh pada konteks zamannya.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 April 2017 dengan judul "Jurnalis Lintas Zaman Rosihan Anwar". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan