tirto.id - Rosihan Anwar memasuki pelosok Wonosari, Yogyakarta, bersama Letkol Soeharto dan fotografer IPPHOS Frans Mendur. Mereka hendak menjemput Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI yang bergerilya setelah Agresi Militer Belanda II. Perjanjian Roem-Roijen yang diteken pada 7 Mei 1949 mengakhiri konflik bersenjata. Jalan damai sepakat ditempuh. Para gerilyawan diminta turun senjata.
Awalnya mereka menggunakan jip. Tapi belakangan jip tak lagi bisa digunakan karena medan yang sulit. Mereka harus mengayuh sepeda berjam-jam di daerah yang tandus dan jarang penduduk tersebut. Sekitar pukul 21, pada 7 Juli 1949 itu, akhirnya mereka tiba di sebuah desa. Satu regu tentara mengadang. Ah, tiba di tujuan juga kiranya. Lalu, mereka dibawa menemui Sudirman. Dengan pakaian serba hitam, Sudirman menemui.
“Saudara Rosihan adalah wartawan Republik yang pertama saya temui pada masa bergerilya ini,” katanya.
Wawancara eksklusif baru dilakukan keesokan hari. Rosihan kemudian bergegas kembali ke Yogyakarta dan mengirim hasil wawancara ke Jakarta. Isinya menjadi buah bibir karena menjawab rasa penasaran publik tentang sikap Sang Panglima, yaitu bersedia mengikuti haluan politik Sukarno-Hatta. Sebelumnya beredar kabar ia kurang sepakat dengan muatan Perjanjian Roem-Roijen.
Rosihan bukan reporter biasa. Ia adalah pemimpin redaksi Pedoman. Koran tersebut mulai terbit di Jakarta pada 29 November 1948. Di Jakarta saat itu hanya ada koran Merdeka yang berhaluan Republik dan Fadjar yang berafiliasi ke NICA-Belanda.
Koran Berhuruf Pertama P
Semua bermula dari kesediaan RHO Djunaedi mencukongi sebuah koran yang membawakan suara “kaum kiblik”. Syaratnya sederhana: nama koran harus dimulai dengan huruf P, seperti koran Pemandangan yang telah dibiayainya sejak 1933. Sebagai calon pemimpin redaksi, Rosihan menyodorkan nama Pedoman. Djunaedi, yang memiliki percetakan di kawasan Senen, Jakarta Pusat, tersebut tak keberatan.
Sebagai “koran kiblik”, Pedoman tentu saja banyak memberitakan peristiwa dari perspektif yang menentang pendudukan Belanda. Pada 31 Januari 1949, koran tersebut akhirnya diberedel Regerings Voorlichtings Dienst atau Jawatan Penerangan Belanda. Pasalnya, Pedoman memuat tajuk yang berisi anjuran agar kaum republiken meneruskan perjuangan kemerdekaan.
Setelah Perundingan Roem- Roijen, Pedoman diberi kesempatan kembali untuk terbit. Tapi Djunaedi tak lagi berminat mengongkosi. Beruntung, teman lama bernama Lim Tok Ie (belakangan mengganti nama menjadi Budiman) bersedia meminjamkan 20.000 rupiah. Rosihan boleh membayar dengan mencicil. “Uang itu segera diambilnya dari tas dan diserahkannya kepada saya, ketika kami bersama-sama naik becak,” tulis Rosihan di memoarnya, Menulis dalam Air.
Menjadi jurnalis bukan cita-cita Rosihan. Hijrah dari Sumatera Barat, ia sekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) A Yogyakarta bagian Klasik Barat – AMS ini setara dengan SMA sekarang. Pada 1943, setelah lulus AMS, Rosihan sudah diterima mengikuti pendidikan singkat sebagai jaksa di Jakarta. Ia, yang sudah bersiap masuk ke asrama, berpapasan dr Abu Hanifah (kakak Bapak Perfilman Nasional Usmar Ismail yang juga belajar di AMS A) yang ketika itu bekerja di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ)—kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Abu Hanifah menawari Rosihan untuk bekerja di surat kabar Asia Raya. Di sana, Rosihan menjadi asisten Yoshio Nakatani, juru bahasa rezim militer Jepang yang menjadi pengawas koran tersebut. Dia bertugas mengoreksi tulisan Nakatani.
“Setelah tiga bulan menjadi asisten Nakatani, saya mulai dilatih menjadi magang wartawan. Pertama kali saya diperbantukan kepada redaksi luar negeri yang dipimpin BM Diah,” kenang anak Asisten Demang di masa Hindia Belanda ini.
Berseteru dengan Atasan
Seusai Jepang menyerah, para karyawan Asia Raya berinisiatif mendirikan koran Merdeka. BM Diah menjadi pemimpin umum, Rosihan didapuk sebagai redaktur umum.
Satu tahun berjalan, masalah muncul ketika badan hukum Merdeka hendak dibikin. BM Diah menganggap Merdeka adalah miliknya. Sementara, Rosihan dan sejumlah karyawan lain berbeda anggapan.
“Ini milik bersama. Merdeka adalah surat kabar bersama untuk mendukung perjuangan Republik,” kata pria kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, persis hari ini satu abad silam.
Di sisi lain, menurut BM Diah, pangkal masalah bukan soal kepemilikan. Dalam BM Diah: Wartawan Serba Bisa yang ditulisToeti Kakiailatu, Diah mengatakan, ada upaya kubu Rosihan untuk menyingkirkan dirinya yang didengarnya dari seseorang. Tindakan harus diambil dan Rosihan angkat kaki dari Merdeka.
Dalam biografinya itu, lebih jauh, Diah mengaku ada perbedaan visi politik antara Rosihan dan dirinya. Ia menganggap Rosihan terlalu dekat dengan kelompok Sutan Sjahrir, sementara Diah justru menentangnya. “Karena itu jika suatu hari Merdeka menyerang politik Sjahrir, besoknya bisa jadi ada berita atau ulasan yang menyokong-bela Sjahrir,” tulis Toeti Kakiailatu.
Pada Februari 1948, Sjahrir membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang diisi kaum cerdik-cendekia. Rosihan tak pernah secara formal menjadi anggotanya. Tapi, pada Pemilu 1955, karena hendak maju menjadi anggota Konstituante, Rosihan masuk PSI.
Sosialisme sejatinya memikat sejak remaja ketika Rosihan ngekos di rumah gurunya di AMS A. Rumah itu penuh dengan buku, termasuk buku-buku tentang sosialisme. Dari buku-buku itu, ia meyakini, sosialisme berpihak dan membela martabat kemanusiaan.
Dalam buku Ditugaskan Sejarah: Perjuangan “Merdeka” 1945-1985, persimpangan ideologis itu ditegaskan juga. Bagi Merdeka (baca: BM Diah), kerakyatan universal yang dianutnya tidak sama dengan sosialisme kerakyatan yang dianut Sjahrir dan kelompoknya. Juga soal pemerintahan parlementer yang memisahkan kepala negara dan kepala pemerintahan: Merdeka menentang, kelompok Sjahrir mendorong.
Rosihan mengakui kecocokan ideologis dengan Sjahrir.
“Setelah membaca Perjuangan Kita, saya membaca buku Sjahrir lain yang waktu itu baru terbit di Negeri Belanda itu ialah Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia). Sjahrir tampil di situ sebagai orang yang menggunakan ratio dan akal sehat dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi berbagai persoalan,” kata Rosihan di Menulis dalam Air.
Lepas dari Merdeka, Rosihan mendirikan majalah mingguan politik dan budaya. Bantuan datang dari Kementerian Penerangan RI berupa beberapa rim kertas yang cukup untuk empat edisi dan uang 3.000 rupiah. Mulai terbit pada 4 Januari 1947, nama majalah tersebut adalah Siasat. Rosihan menjadi pemimpin redaksi; di dewan redaksi ada Soedjatmoko, Sutomo, Gadis Rasid, dan Abu Bakar Lubis.
Tapi kiranya tak berlebihan jika menyebut cinta utama Rosihan adalah Pedoman. Bermula dari 3.000 eksemplar, konon Pedoman mencapai puncak saat beredar 48.000 eksemplar pada 1956. Sebagai perbandingan, koran hebat lain pada masa Orde Lama, yaitu Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis, bertiras 47.500 saat dibredel pada 1958. Sementara Harian Rakjat yang berkoneksi ke PKI bertiras paling tinggi: 55.000 (Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2002).
Ketika menentukan status hukum Pedoman, Rosihan coba konsisten soal prinsip kolektivitas dan kepemilikan bersama. “Saya tidak menghendaki cara-cara yang dulu ditempuh di Merdeka. Akan tetapi, dengan demikian hilanglah pula kesempatan bagi saya untuk menjadi pemilik tunggal surat kabar, dan juga kesempatan membuat uang bagi diri sendiri,” tulis Rosihan di Menulis dalam Air.
Dua kali Pedoman diberedel oleh bangsa sendiri, 1961 dan 1974 – di sana ia mesti menghadapi kekuasaan yang jauh lebih besar ketimbang BM Diah. Koran itu sepanjang hayat dicap sebagai “Koran PSI”. Rosihan sendiri gagal masuk Konstituante. Selanjutnya ia tetap memeluk teguh sosialisme namun tak menginduk pada satu partai politik pun.
Berkat Pedoman, Rosihan dicatat dengan tinta emas di sejarah pers Indonesia, digolongkan secara terhormat dalam Angkatan 45, setara dengan nama seperti BM Diah, Mochtar Lubis, dan Suardi Tasrif. Entah siapa yang memulai, belakangan ia juga dijuluki “Ayatullah Pers Indonesia” – merujuk pada sebutan pemimpin spiritual di Iran.
Editor: Irfan Teguh Pribadi