Menuju konten utama
4 Januari 1980

Abu Hanifah: Menentang Arus, Membangun Sistem Pendidikan Nasional

Di era Republik Indonesia Serikat yang singkat, Abu Hanifah berpacu membangun fondasi pendirikan nasional. Dijegal sentimen anti-Belanda dan bubarnya RIS.

Abu Hanifah: Menentang Arus, Membangun Sistem Pendidikan Nasional
Ilustrasi Mozaik dr. Abu Hanifah. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 1921, Abu Hanifah yang baru lulus Europeesche Lagere School (ELS) Bandung hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di STOVIA. Pemuda Minang ini lulus sebagai Indische Arts (Dokter Hindia) pada 1932. Sebagaimana sebagian besar klepek—atau cleve, sebutan untuk siswa STOVIA, Abu juga aktif dalam pergerakan nasional. Dia berkawan dengan aktivis muda lain, seperti Bahder Johan, Muhammad Yamin, dan Amir Syarifuddin.

Abu adalah bagian dari Angkatan 28—mereka yang menggelar Kongres Pemuda dan melahirkan Sumpah Pemuda. Abu Hanifah mulanya adalah pemimpin redaksi Pemuda Sumatra yang giat menyebarkan gagasan persatuan Indonesia. Ketika Kongres Pemuda II berlangsung, dia adalah redaktur majalah Pemuda Indonesia yang melaporkan hasil-hasil kongres.

Setelah lulus STOVIA, Abu ditugaskan sebagai asisten seorang dokter kandungan Tanjung Morawa, sebuah daerah perkebaunan dekat Medan. Tak hanya mengurus kesehatan para kuli perkebunan, terutama perempuan, Abu juga belajar banyak hal.

Di sinilah dia melihat sendiri eksploitasi kolonial dan menyadari bahwa kuli-kuli ini hanya dilihat sebagai alat produksi. Menjaga kesehatan mereka berarti menjaga produktivitas perkebunan. Pada dasarnya, mereka hanya budak yang diikat oleh hukum-hukum kolonial, seperti Poenale Sanctie dan Koeli Ordonantie.

Maka itu, Abu dan beberapa kawannya di Sarikat Islam Medan menuntut penghapusan Poenale Sanctie.

Selama 1934-1940, Abu ditugaskan sebagai dokter di wilayah rimba di Indragiri, Jambi. Kelak, pada 1952, dia menerbitkan novel Dokter Rimbu yang tak lain adalah pengalamannya selama bertugas. Dipakainya nama samaran El Hakim.

Di Indragiri inilah Abu melakukan penelitian terhadap beberapa penyakit, di antaranya malaria dan gondok. Abu yang wafat pada 4 Januari 1980—tepat hari ini 40 tahun silam—ini meneliti gondok selama dua tahun. Hasilnya dia jabarkan dalam sebuah laporan ekstensif berjudul “Strauma endemic in de Koeantan Districten (Midden-Sumatra)” yang dimuat dalam Medisch Tribune terbitan Vereeniging van Indonesische Geneeskundige—cikal bakal Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Di tengah kesibukan turne di pedalaman, Abu masih sempat mengerjakan beberapa hal penting bagi masyarakat Indragiri. Dia mendirikan rumah sakit, poliklinik, sekolah bidan, dan pemberantasan sarang malaria. Berkat itu dia jadi populer, baik di kalangan warga setempat maupun orang Eropa.

Tapi, popularitas itu juga membuat pemerintah kolonial waswas. Dia bahkan sempat dirumorkan sebagai komunis. Gara-gara itu, Abu diperintahkan kembali ke Batavia. Abu tak bisa menolak karena ada ultimatum pemecatan jika dia tidak meninggalkan Indragiri dalam tiga minggu. Hal ini dia ceritakan pula dalam Dokter Rimbu (hlm. 203).

Atas saran pamannya, Profesor Achmad Mochtar, seorang peneliti di Eijkman Instituut, Abu menempuh ujian doktoral di Geneeskundige Hoge School (GHS). Kebiasaan dan produktivitas Abu dalam menulis turut andil memudahkannya melewati ujian itu. Sejak itu dia resmi menyandang gelar Arts (dokter) yang setara dengan dokter Eropa.

Sehari setelah kelulusan, Abu dipanggil Departemen Kesehatan Kolonial dan diminta bertugas sebagai perwira kesehatan di Kapal Plancius di bawah naungan Angkatan Laut Belanda.

Suatu hari, Abu amat terpesona demi menyaksikan dua kapal perang besar, Prince of Wales dan Repulse, melintas di depan matanya ketika kapalnya tengah bersandar di pelabuhan Singapura. Keperkasaan dua kapal tempur itu membuat awak Plancius begitu percaya diri bahwa Jepang akan berpikir dua kali untuk melancarkan serangan.

Keesokan harinya, 8 Desember 1941, ketika Plancius tiba di pelabuhan Padang, keterpesonaan Abu tiada artinya lagi. Radio menyiarkan berita bahwa dua kapal perang yang gagah itu telah dikaramkan dengan gampang oleh pesawat pengebom Jepang.

Beberapa bulan kemudian, Jepang tanpa kesulitan berarti berhasil menduduki Hindia Belanda. Langkah Abu pun surut sejenak.

Tugas Berat Usai Revolusi

Jejak langkah Abu Hanifah bergelora lagi menjelang dan selama Revolusi Kemerdekaan 1945-1949.

Segera setelah Pengakuan Kedaulatan Indonesia dan Sukarno disumpah sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat pada 17 Desember 1949, kabinet mulai disusun. Sukarno dan Mohammad Hatta mengundang Abu, yang kala itu tokoh Partai Masjumi, ke istana. Presiden dan Perdana Menteri RIS baru tersebut meminta Abu menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK).

Abu ditugaskan untuk mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional sesegera mungkin. Sebuah tugas berat, tetapi Abu adalah orang yang tepat.

Dalam autobiografi Tales of a Revolution (hlm. 333), Abu menegaskan bahwa sebuah negara baru mesti memiliki fondasi pendidikan yang kuat untuk generasi mudanya. Semakin sehat dan baik dasar pendidikannya, semakin cerah pula masa depan negara baru ini.

Usai dilantik, Abu memilih staf-stafnya dengan cermat. Sebagian yang ditunjuknya adalah orang Belanda dan sebagian lagi kaum Republiken. Pada bulan-bulan pertama menjabat, Abu fokus merancang sistem pendidikan nasional dan itu membuatnya begitu sibuk.

Salah satu langkah perdananya adalah menggabungkan fakultas-fakultas yang tersebar di Jakarta, Bogor, dan Bandung menjadi Universitas Indonesia. Prosesnya tidak begitu mulus karena timbul beberapa masalah.

Kebijakan nasionalisasi secara tiba-tiba memunculkan kerepotan teknis yang luar biasa dalam transfer ilmu pengetahuan karena tidak ada buku ajar perguruan tinggi berbahasa Indonesia. Alhasil, perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia terputus untuk sementara waktu.

Indonesia kehilangan modal intelektual di masa transisi ini. Dr. Ir. Roosseno dalam wawancaranya dengan Adam Messer (jurnal Indonesia, 1994, hlm. 57-58) mengkonfirmasi hal itu.

Masalah lain yang juga merepotkan Abu adalah status para profesor Belanda yang selama masa kolonial mengajar mata-mata kuliah penting. Posisi mereka sebagai pengajar dan peneliti terpojok oleh sentimen anti-Belanda yang masih kuat saat itu. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, terutama soal besaran gaji. Banyak pengajar yang memilih repratiasi ke Belanda atau melamar pekerjaan di Eropa. Meski begitu, banyak juga yang memilih menetap di negeri yang memusuhi mereka.

Abu yang menangkap kegelisahan mereka lantas mengumpulkan mereka di gedung utama Fakultas Kedokteran (kini FKUI) dan meminta mereka untuk tetap tinggal. Abu menyatakan, sebagai menteri PPK, dirinya membutuhkan bantuan untuk mendidik para pemuda Indonesia hingga siap menggantikan para gurunya. Abu memastikan akan membantu mereka melewati masa transisi yang sulit ini.

Di akhir pembicaraan, Abu juga meminta para profesor Belanda itu untuk tidak melibatkan diri dalam politik. Abu juga berjanji akan memberikan kebebasan penuh untuk bekerja.

“Jika kita telah saling memahami dengan baik, Tuan-tuan, saya ingin mengucapkan terima kasih atas pekerjaan Anda di masa lalu, dan terima kasih sebelumnya untuk semua pekerjaan kita yang akan datang. Saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja sama Tuan-tuan,” pungkas Abu (hlm. 333-334).

Tawaran Abu itu disambut hangat para profesor Belanda, tapi sekaligus memunculkan masalah lain. Kaum Republiken menanggapinya dengan dingin dan bahkan menuduhnya pro-Belanda. Kecurigaan macam itu serupa tembok tak kasat mata yang menghalangi kesempatan kolaborasi di bidang apa pun dengan Belanda. Sukarno, sayangnya, berada dalam kelompok ini.

Gara-gara pidato itu, beberapa pemimpin dan perhimpunan guru Republiken menuntut klarifikasi kepada Abu. Kaum Republiken meminta Abu memecat semua pengajar Belanda dan menggantinya dengan pengajar dari India, Filipina, atau bahkan Arab. Abu menolak usulan tersebut dan bersikukuh dengan keputusannya. Bagi Abu, itulah satu-satunya jalan untuk membangun fondasi yang kokoh bagi pendidikan Indonesia.

Infografik Mozaik Abu Hanifah

Infografik Mozaik Abu Hanifah. tirto.id/Sabit

Diplomasi Budaya

Bagaimanapun, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda tetap berjalan. Dalam Perjanjian Kerjasama Budaya, Belanda berjanji mengirimkan pengajar dan instruktur ke Indonesia. Tak hanya itu, Belanda juga menyediakan fellowship dan beasiswa bagi mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Belanda.

Menteri Pendidikan Belanda Prof. Dr. Rutten berkunjung ke Indonesia pada April 1950 guna membahas lebih lanjut skema kerja sama tersebut dengan Menteri PPK Abu Hanifah. Pada kesempatan itu, Rutten juga menemui para mahasiswa di Jakarta, Bogor, dan Bandung. Sebagai balasan, pada awal Mei 1950, Abu memimpin misi ke Belanda.

Di Belanda, Abu bertemu Ratu Juliana guna membahas hubungan kedua negara, terutama dalam hal seni dan budaya. Upaya mempertemukan para pemuda Belanda dan Indonesia agar dapat saling memahami juga dibahas.

Abu juga bertemu dengan para anggota Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW, Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda) di Amsterdam. Di hadapan para ilmuwan terkemuka anggota KNAW inilah Abu mendapat kesempatan menjabarkan cita-citanya mengenai pendidikan Indonesia dan harapannya kepada Belanda. Abu menegaskan kembali keinginan bekerja sama dengan universitas-universitas di Belanda dan mengundang para profesor Belanda membantu mengajar generasi muda Indonesia.

Para anggota KNAW menyambut baik undangan Abu dan setuju membantu Indonesia membangun dasar pendidikan nasionalnya.

Tak hanya melawat Belanda, Abu juga terbang ke Florence, Italia, untuk memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi UNESCO pada Mei 1950. Sekembalinya dari Eropa, Abu mulai menyiapkan rencana mendirikan akademi ilmu pengetahuan di Indonesia sebagaimana Belanda memiliki KNAW. Pada Juli 1950, Abu juga membuka hubungan kerja sama di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan dengan beberapa negara di Asia.

Seorang kawan mengingatkan Abu, dirinya terlalu progresif dan bisa jadi tidak akan bertahan lama di kabinet. Kawan itu benar. Sebuah petisi dari perhimpunan mahasiswa sosialis yang diterima Perdana Menteri Hatta menyatakan keberatan atas kebijakan-kebijakan Abu. Bahkan partainya sendiri, Masjumi, juga tak menyukai langkah-langkahnya dan mengusulkan orang lain sebagai pengganti Abu.

Meski sadar tak lagi punya banyak waktu, Abu tak lantas menyurutkan langkah. Abu cepat melakukan perbaikan di universitas-universitas di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Perjanjian-perjanjian dengan universitas luar negeri sudah diteken dan para profesor tamu tinggal menunggu waktu keberangkatan ke Indonesia. Pelatihan-pelatihan juga digelar untuk meningkatkan kapasitas guru-guru sekolah.

Bahkan, sejak awal menjabat, dia juga membenahi Balai Pustaka. Abu bertekad meningkatkan kualitas penerbitan, melakukan pembaruan sistem dan kepegawaian, serta memastikan kualitas isi bacaan remaja (Prof. Dr. Abu Hanifah, DT. M.E. Karya dan Pengabdiannya, hlm. 60).

Republik Indonesia Serikat bubar pada 17 Agustus 1950, begitu juga Kabinet Hatta. Semua rencana kerja kementerian PPK yang dirumuskan Abu ditinggalkan begitu saja. Semua perjanjian kerja sama dengan universitas luar negeri dan rencana kedatangan pengajar tamu dibatalkan.

Pengganti Abu beralasan, “Budaya asing akan masuk ke dalam negara kita dan itu akan merusak, bahkan menghancurkan bangsa kita.” Abu belum pernah mendengar omong kosong semacam itu, tapi dia yakin dampaknya akan menghambat pendidikan Indonesia hingga berpuluh tahun kemudian (Tales of A Revolution, hlm. 357).

==========

Uswatul Chabibah adalah penerjemah lepas dan editor buku-buku sejarah. Pernah bekerja di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Baca juga artikel terkait ABU HANIFAH atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi