tirto.id - Indo Europeesch Verbond (Perhimpunan Indo Eropa) adalah faksi yang kuat di Gemeenteraad(Dewan Rakyat) Bandung. Suatu kali, ketua faksinya, Ir. Dessauvagie, berpidato. Di tengah pidatonya, dia berpendapat bahwa orang-orang pribumi itu seperti 30 juta ekor kerbau. Seorang insinyur lain yang juga anggota dewan, bukan dari golongan Indo, melainkan orang Indonesia, memprotes karena tidak bisa menerima orang Indonesia disamakan dengan kerbau.
Di lain waktu dan kota, orang Belanda terpandang berulah di hadapannya. Di Kediri, pada 1940, asisten residen merangkap ketua Gemeenteraad Kediri dalam pidatonya menyebut orang-orang pribumi sebagai inlander. Insinyur yang jadi anggota dewan ini mengajukan protes, karena istilah inlander di tahun itu tidak dipakai lagi. Orang-orang pribumi tidak lagi disebut sebagai inlander, tapi Indonesia. Insinyur Indonesia itu adalah Ir. Raden Roosseno.
“Semenjak saya masih muda saya sudah tertarik pada dunia Teknik. Karena itu sesudah saya lulus AMS (bagian B) saya masuk THS (Technisch Hoogeschool) di Bandung,” aku Roosseno dalam pengantar buku Roosseno Manusia Beton (1987: v) karya Solichin Salam.
Dia lulus THS pada 1 Mei 1932, diangkat sebagai asisten dosen, dan kemudian bertahun-tahun jadi ahli teknik.
Konco Sukarno sejak Muda
Roosseno muda sudah cukup mapan hidupnya. Ia bekerja di beberapa biro teknik, salah satunya bersama Ir. Sukarno. Sejak 1932 hingga 1939, Roosseno jadi asisten untuk mata kuliah geodesi yang diampu Profesor Dr. Ir. Scheepers di almamaternya selama beberapa tahun setelah lulus. Selain terkait perkuliahan, Roosseno rajin menulis soal konstruksi di De Ingenieur in Ned Indie di zaman kolonial.
"[Pada 1937] muncul tulisannya yang terkenal sebagai teori syarat tekuk dari Roosseno dalam majalah De Ingenieur in Ned Indie, nomor 11 bulan November. Roosseno memberikan pemecahan secara grafis untuk mengatasi panjang tekuk tiang, guna menyelesaikan masalah portal jembatan,” tulis Eka Budianta dalam Cakrawala Roosseno (2008: 39).
Pada 1944, waktu zaman Jepang, Roosseno kembali ke almamaternya di Bandung. Kekurangan pengajar Belanda membuat ahli yang bukan Belanda diangkat sebagai profesor. Roosseno kemudian jadi profesor dalam ilmu mekanika, beton, serta baja. Setelah Jepang angkat kaki, pada 1945, Roosseno menjadi rektor di kampusnya itu.
Dia terus menulis soal konstruksi beton setelah Indonesia merdeka. Rupanya dia sangat menikmati dunia teknik sipil dan sepanjang kariernya menggeluti beton. Dia sendiri dijuluki "Manusia Beton". Roosseno tak mau sekedar jadi penonton atas bangunan-bangunan megah.
“Sepanjang hidup Roosseno, dunia dihinggapi demam membangun menara [...] ia membangun menara-menara tertinggi di tanah airnya. Dimulai dengan Monumen Nasional (Monas) dan diakhiri dengan Menara Televisi Republik Indonesia,” tulis Eka Budianta (hlm. 51).
Di zaman Sukarno menjadi presiden, Roosseno adalah orang penting dalam beberapa proyek besar seperti Hotel Indonesia, Gedung Sarinah, Stadion Ganefo, dan Tugu Monas. “Dalam setiap proyek besar tersebut, nama Roosseno selalu disebut sebagai pengawas,” kata Oetarjo Diran dalam Roosseno, Jembatan dan Menjembatani (2008: 146).
Roosseno bersama para insinyur dalam Persatuan Insinyur Indonesia (PII) berperan penting dalam terlaksananya pekan olahraga Ganefo. Bukan cuma membantu membangun gedung, bahkan urusan mengaspal jalan Jakarta yang berlubang pun mereka terlibat.
Bagi Sukarno, Roosseno bukan orang baru. Mereka sudah berkenalan sejak 1928 ketika Roosseno baru belajar di THD. Sebelum dibuang ke Ende, Sukarno pernah mendirikan Biro Insinyur di Bandung. Pertama dengan Anwari, kedua dengan Roosseno.
Mereka mengerjakan beberapa proyek, seperti rumah-rumah di Papandayan dan masjid kecil, tapi tidak pernah dapat order dari pemerintah. Tampaknya karena Sukarno kerap berseberangan dengan pemerintah.
Sukarno tidak ragu dan sangat percaya pada kemampuan Roosseno. “Memang dari sejak mudanya beliau adalah seorang ahli di dalam hal calculation besi,” kata Sukarno dalam Roosseno Manusia Beton (hlm. 34).
Partai Bukan untuk Cari Makan
Dibanding Sukarno, nama Roosseno, yang jauh lebih muda, lebih banyak disebut di dunia teknik sipil ketimbang pergerakan. Roosseno sendiri adalah anggota Partai Indonesia Raya (Parindra), tapi tak pernah ikut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. Roosseno pernah mewakili Parindra di Gemeenteraad Bandung.
Roosseno kurang begitu suka dengan dunia politik, meski dia sejak muda pernah ikut partai politik. Dia mengaku “masuk partai bukan untuk mencari makan.” Soal makan dan uang, Roosseno tentu bisa dapat bekerja berdasarkan keahliannya. Namun suka tidak suka, dirinya harus masuk pemerintahan, dan bersentuhan dengan politik.
Di masa Sukarno jadi presiden, Roosseno pernah menjadi menteri. Pada 1953 dia menjadi Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Perhubungan. Saat itu dia terlibat dalam nasionalisasi perusahaan asing dan gedung milik perusahaan asing di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, keahliannya sebagai teknokrat tak hanya diamalkan di kementerian, tapi juga di dunia perguruan tinggi.
Keterlibatan Roosseno di dunia Pendidikan ikut membantu mencetak para insinyur teknik sipil di Indonesia. Roosseno pernah jadi rektor Sekolah Tinggi Teknik Tinggi Bandung, yang kemudian dipindahkan ke Yogyakarta di zaman Revolusi. STT itu kemudian menjadi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Beberapa tahun kemudian dia ikut mendirikan Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia, di mana dia jadi dekan pertama pada 1964.
Selain terkait dengan dua kampus negeri tadi, pada 1950-an, dia juga ikut membangun Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN). Perannya dalam dunia pendidikan dia lanjutkan hingga tutup usia pada 15 Juni 1996, tepat hari ini 23 tahun lalu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan