Menuju konten utama

Mendur Bersaudara: Penggagas Kantor Berita Foto Independen IPPHOS

Mendur bersaudara berprofesi sebagai jurnalis foto. Mewujudkan mimpi mendirikan kantor berita foto pro Republik yang independen pasca-kemerdekaan.

Mendur Bersaudara: Penggagas Kantor Berita Foto Independen IPPHOS
Pertemuan tokoh pendiri IPPHOS, Justus Umbas (depan kanan) dan Alex Mendur (kanan belakang) dengan Soekarno di Pegangsaan Timur 56, tahun 1946. FOTO/IPPHOS, Indonesian Press Photo Service, Remastered Edition. Galeri Foto Jurnalistik Antara

tirto.id - Frans Sumarto Mendur dan Alexius Impurung Mendur mendengar kabar tentang peristiwa penting yang bakal terjadi di kediaman Soekarno pada 17 Agustus 1945. Informasi tersebut mereka dapatkan lewat sumber dari kantor tempat mereka bekerja. Kala itu, Alex bekerja sebagai kepala bagian fotografi di kantor berita Domei milik Jepang, sementara Frans menjadi juru foto di harian Asia Raja.

Seperti yang ditulis pendiri fotografer.net Kristupa Saragih di Kompas, Alex dan Frans memutuskan pergi ke rumah Soekarno di Jalan Pengangsaan Timur 56, Cikini dengan mengambil rute terpisah. Jam menunjukkan pukul 5 pagi. Mereka berhasil merapat ke rumah sang proklamator dengan cara mengendap-endap agar tak ketahuan patroli tentara Jepang.

Lima jam kemudian peristiwa bersejarah itu pun terjadi. Pada pukul 10 pagi, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno membacakan teks proklamasi yang sebelumnya dirumuskan di rumah Laksamana Muda Maeda. Upacara proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana dan tanpa protokol.

Alex dan Frans tidak menyia-nyiakan kejadian yang berlangsung di depan mata. Lewat lensa kamera yang dibawa, mereka mengabadikan peristiwa bersejarah Indonesia itu. Tidak ada fotografer lain yang datang untuk memotret kejadian tersebut selain Alex dan Frans Mendur.

Frans berhasil mengabadikan tiga foto dari tiga bingkai film yang tersisa. Foto pertama merekam Soekarno membaca teks proklamasi sementara foto kedua memotret pengibaran bendera oleh Latief Hendraningrat. Ia juga sempat memotret hadirin yang datang ke upacara. Sekarang, foto-foto ini digunakan sebagai ilustrasi peristiwa proklamasi Indonesia di buku-buku sejarah anak sekolahan.

Kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia memang tak luput dari bidikan kamera Alex dan Frans Mendur. Tempo mengatakan Alex dan Frans Mendur banyak merekam peristiwa revolusi lahirnya bangsa Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa Proklamasi 1945. Frans Mendur, misalnya, berhasil memotret pertemuan Soekarno dan Hatta saat sang proklamator kembali dari pengasingan di Sumatera tahun 1942 dan berlabuh di Pasar Ikan, Jakarta Utara.

Sementara itu, Alex Mendur sempat mengabadikan Bung Tomo yang berpidato dengan berapi-api di lapangan Mojokerto pada November 1945. Ia juga berhasil memotret peristiwa kembalinya Soekarno ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia.

Tak hanya Alex Mendur, kepulangan Soekarno ke ibu kota ini juga menarik perhatian fotografer kawakan abad 20, Henri Cartier-Bresson. Dalam IPPHOS Remastered Edition (2013), Yudi Soerjoatmodjo mengatakan pendiri kantor berita foto Magnum tersebut turut membidikkan tustel Leica-nya ke arah Soekarno dan Sultan Hamengku Buwono IX (Menteri Pertahanan RIS) yang duduk di atas mobil kap terbuka.

Bersaudara dan Penyuka Fotografi

Alex dan Frans Mendur merupakan putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Seperti yang dilaporkan Tempo, mereka bersaudara kandung dan sama-sama menyukai fotografi.

Dalam penelitian berjudul Peran IPPHOS Dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 (2015), Yudhi Raharjo menjelaskan Alex Mendur lahir pada 7 November 1907 dari pasangan August Mendur dan Ariance Mononimbar. Ia anak sulung dari 11 bersaudara.

Alex kecil menyukai Ilmu Bumi sebab sang guru dapat menjelaskan pelajaran tersebut dengan baik. Ia juga tertarik mempelajari peta bumi dan kepulauan di Indonesia. Ketika saudaranya yang bernama Anton Nayoan datang dari tanah Jawa, ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dan ingin melancong ke sana.

Alex pun ikut Anton ke tanah Jawa pada 1922. Yudi Soerjoatmodjo menyebutkan, Alex yang hanya lulusan Sekolah Rakjat kelas V beruntung memiliki mentor seperti Anton Nayoan. Anton berpendidikan MULO, setingkat sekolah menengah yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu. Setelah lulus sekolah, ia bekerja sebagai wartawan foto Java Bode dan Bataviaasch Nieuwsblad. Anton juga yang mengenalkan Alex pada fotografi.

Yudhi Raharjo berkata karier Alex Mendur sebagai wartawan foto dimulai ketika ia diterima bekerja di harian De Java Bode tahun 1932. Saat itu dirinya berusia 25 tahun dan ia menjadi satu-satunya fotografer berkebangsaan Indonesia di media berbahasa Belanda di Jakarta tersebut.

Setelah tahun 1936, Alex bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau Perusahaan Pelayaran Kerajaan. Ia ditempatkan di bagian publikasi dan reklame. Pada saat Jepang menginvasi Indonesia, Alex Mendur ikut dalam barisan propaganda dan pelopor. Ia pun ditunjuk pemerintah Jepang untuk bekerja sebagai kepala bagian fotografi kantor berita Domei. Pekerjaannya sebagai wartawan foto ini memberikan kesempatan bagi Alex untuk melakukan dokumentasi setiap peristiwa di Indonesia masa itu.

Apa yang dipelajari Alex Mendur lantas ia tularkan pada sang adik, Frans Sumarto Mendur. Serupa dengan Alex, Frans pun merantau ke Pulau Jawa pada usia 14 tahun. Pria kelahiran tahun 1913 itu lalu diangkat anak oleh seorang Jawa bernama Suma saat dirinya tiba di Jawa Timur. Bukti Frans menjadi bagian keluarga orang Jawa adalah nama Sumarto yang ditambahkan pada nama aslinya.

Alex Mendur pun akhirnya jadi mentor pribadi Frans Mendur. Dialah yang melatih kemampuan sang adik di dunia fotografi, menuntunnya agar ia terjun di dunia jurnalistik sebagai wartawan foto.

Walhasil, Frans pun mulai terjun di dunia jurnalisme foto pada 1935. Pemuda berusia 22 tahun itu mengirimkan hasil karyanya ke sejumlah media seperti De Java Bode, surat kabar mingguan Wereldnieuws en Sport in Beeld, dan harian nasional Pemandangan.

Pada masa pendudukan Jepang, Frans menjadi wartawan foto untuk Djawa Shimbun Sha, semacam Serikat Penerbit Surat Kabar milik Jepang. Ia juga sempat bekerja untuk surat kabar Asia Raja tahun 1945.

Yudi Soerjoatmodjo mengatakan, baik Alex Mendur maupun Frans Mendur sama-sama bekerja di harian Merdeka setelah masa penjajahan Jepang berakhir.

Infografik Mendur bersaudara

Mendirikan IPPHOS

Setelah delapan bulan bergabung dengan harian Merdeka, Mendur bersaudara kemudian keluar dan berniat mewujudkan keinginan mereka yang terpendam sejak lama. Oscar Motuloh, jurnalis foto sekaligus penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, mengatakan bahwa Alex dan Frans lantas mengajak Umbas bersaudara (Justus dan Frans “Nyong” Umbas) serta Alex Mamusung dan Oscar Ganda mendirikan IPPHOS. Dari situlah IPPHOS, kantor berita foto independen pertama di Indonesia, berdiri pada 2 Oktober 1946.

Disebut independen sebab sebagian besar biaya operasional IPPHOS diusahakan oleh para pegiatnya. Dalam IPPHOS Remastered Edition (2013), Yudi Soerjoatmodjo mengatakan bahwa meski IPPHOS berpihak pada Republik tapi para pendirinya memutuskan bahwa kantor berita foto tersebut independen yang tak terikat Kementerian.

Berbagai cara dilakukan IPPHOS untuk menambal kas lembaga. IPPHOS, menurut Yudi, menerima pesanan pemotretan untuk acara perkawinan, pesta, peresmian usaha, dan dokumentasi keluarga. Kantor berita tersebut juga melayani pemotretan berbagai perayaan yang diadakan baik warga pro-Republik di Jawa Tengah maupun masyarakat Belanda di Jakarta.

Selain itu, Alex dkk menggandeng pejabat seperti Sultan Hamengku Buwono IX untuk memperoleh hak membuat, memperbanyak, dan menjual foto-foto mereka. Justus dan Frans “Nyong” Umbas bahkan harus berjualan sayur-mayur untuk menambah pemasukan kantor.

Hal ini harus mereka lakukan sebab pemasukan dari reportase tak bisa diharapkan. Apalagi Mendur dan Umbas bersaudara mendirikan tak hanya sebuah kantor berita tapi dua biro foto. Di Jakarta, IPPHOS dipimpin oleh Alex Mendur dan Justus Umbas. “Nyong” Umbas membantu sebagai juru foto sekaligus orang yang bertugas mencari informasi di pasar gelap dan kantor sensor Belanda. Di Yogyakarta, Frans Mendur memimpin IPPHOS, dibantu oleh Oscar Ganda yang bekerja sebagai tenaga administrasi, dan fotografer Alex Mamusung serta Melvin Jacob.

Yudi mengatakan pembagian tugas antara dua kota itu bukanlah hal baru. Pada Januari 1946, ibukota Indonesia dipindah sementara ke Yogyakarta karena alasan keamanan. Sementara itu, peristiwa-peristiwa penting tetap terjadi di Jakarta dan daerah sekitarnya.

Tak hanya reportase politik dan kenegaraan, foto IPPHOS juga mencakup bidang olahraga, keseharian, feature, potret, sosial, seni, dan budaya. Alex dan kawan-kawan, sebagaimana dituturkan Oscar, berusaha membangun cerita lewat foto yang berguna untuk meninggikan citra Republik yang masih muda.

Pada 1951, pemerintah Indonesia menganugerahkan bintang jasa kepada Alex Mamusung berkat liputan pertempuran empat hari pasukan RIS dan tentara KNIL dan Angkatan Darat Belanda. Dari segi bisnis, Frans “Nyong” Umbas sukses membangun berbagai konsesi dagang yang mendatangkan laba. IPPHOS pernah menyalurkan berbagai surat kabar serta peralatan fotografi Ilford yang konsesinya mereka peroleh dari Belanda. Para punggawa IPPHOS juga punya relasi yang dekat dengan para petinggi negara.

Tapi, Oscar mengatakan IPPHOS kehilangan pamornya seiring Orde Baru berkuasa dan apapun yang berbau Sukarno dibabat. Sensor dan intimidasi akhirnya membunuh aktivitas Mendur bersaudara dan kawan-kawan. Setelah 50 tahun berkarya, IPPHOS akhirnya tutup. Baru pada 2004, koleksi penting IPPHOS diselamatkan dan dikelola oleh Kantor Berita Antara.

Baca juga artikel terkait FOTOGRAFER atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf