tirto.id - Pada musim dingin 2007, John Maloof bertandang ke gedung lelang tepat di depan rumahnya. Ia penawaran sekotak besar negatif foto untuk keperluan penerbitan buku sejarah. “Saya menang lelang dan harus membayar $380. Petugas lelang bilang ke saya siapa fotografernya. Namanya Vivian Maier,” ujar Maloof, sutradara, fotografer, dan mantan agen real estate.
Maloof awalnya merasa asing mendengar nama tersebut. Namun, ia tertarik mengenal Vivian Maier lewat benda-benda koleksinya.
Maier meninggalkan lebih dari 100.000 foto, ratusan kotak berisi negatif foto dan rol film, beberapa rekaman video pribadi, kaset, dan sekoper penuh memoribilia. Sebagian besar barang milik Maier saat ini jadi milik Maloof. Menurut Maloof Collection, ia mempunyai 100.000 sampai 150.000 negatif, 3.000 foto cetak, ratusan rol film, rekaman pribadi, wawancara dalam kaset, dan lain-lain.
Perjalanan menjajaki kehidupan Vivian Maier, kemudian Maloof mendokumentasikan lewat film Finding Vivian Maier yang diproduksi 2013. Pada 2015, film ini masuk dalam nominasi Academy Award kategori film dokumenter terbaik.
Dalam film tersebut, Maloof mengisahkan keberhasilannya menemui orang yang mengenal Maier setelah menghubungi nomor telepon yang tertera di selembar kwitansi. Dari informasi sekecil itu, Maloof pun menguak sejumlah fakta tentang Maier. Ia seorang fotografer yang berprofesi sebagai pengasuh anak, lahir di New York City pada 1926, dan menghabiskan masa kecilnya di Perancis.
Pada 1951, Maier pulang ke kampung halaman dan tinggal di Chicago pada1956 sembari bekerja sebagai pengasuh anak. Hampir semua orang yang diwawancarai Maloof mengatakan Maier adalah seorang eksentrik, misterius, punya sedikit teman, dan sangat menjaga privasi.
Sebagaimana ditulis Encyclopædia Britannica, Maier tertarik pada dunia fotografi sejak kecil. Foto perdana yang diambilnya berlokasi di Perancis akhir 1940-an. Saat itu, kamera yang ia gunakan adalah Kodak Brownie. Namun, sejak 1950-an sampai 1990-an, Maier lalu intens memotret dengan kamera lensa ganda jenis Rolleiflex.
Ketika bekerja di Chicago, fotografi menjadi kegiatan yang ia lakukan untuk mengisi waktu luang. Namun, Maier enggan menunjukkan hasil jepretannya ke orang lain. Ia menyimpan ribuan karyanya di dalam sebuah kamar yang tak boleh dimasuki sembarang orang.
Pujian untuk Foto yang Disimpan
Lebih dari empat dekade foto-foto itu mangkrak di kamarnya.
Namun, pada 2007, Maier berubah pikiran. Ia tak lagi mampu membayar sewa kamar khususnya itu. Barang-barang Maier pun akhirnya diambilalih dan dilelang secara publik. Dari sanalah karya-karya Maier akhirnya berjodoh dengan pemilik barunya: John Maloof.
Dalam Finding Vivian Maier, karya-karya Maier baru terekspos publik ketika Maloof mengunggah 200 foto karyanya di internet. Respons dari warganet luar biasa positif. Sejak itu, foto-foto Maier sering dipamerkan keliling di berbagai kota di Amerika Serikat.
Salah satu perhelatan yang memamerkan karya Maier bertajuk “Vivian Maier: A Photographic Revelation” (2014). Anne Morin, kurator pameran, mengatakan Maier adalah salah satu fotografer jalanan (street photography) terbaik yang pernah ada.
“Kedudukannya penting dalam sejarah fotografi—tepat di samping Robert Frank dan fotografer hebat lainnya. Fotonya mengandung semua unsur yang ada dalam fotografi jalanan serta mengacu pada sejarah budaya visual. Ini bukan kebetulan. Ia sering mengunjungi pameran dan museum,” ujar Morin seperti dilansir Lensculture.
Menurut Morin, foto-foto berwarna Maier fokus pada "musikalitas visual, bentuk, dan kepadatan warna". Saat ia mengambil gambar hitam putih, fokusnya lebih tertuju pada orang-orang yang ia jadikan subjek foto. Maier juga banyak mengambil foto potret diri dalam komposisi hitam-putih.
Sementara dalam foto-foto berwarna Maier, sosok-sosok itu menghilang. Bahkan Maier cenderung merekam momen dengan sentuhan nuansa abstrak yang kental. Foto-foto jenis ini, ujar Morin, menandakan sebuah fase akhir kehidupan Vivian Maier. “Ia berniat berhenti memotret dan ingin menghilang dari dunia ini. Seiring identitasnya mengabur, kita bisa merasakan itu lewat foto-foto abstrak yang ia jepret,” katanya.
Jurnalis foto Amerika Mary Ellen Mark mengatakan kelebihan Maier terletak pada kedua bola matanya. “Ia punya penglihatan yang tajam, kecakapan framing, dan kepekaan cahaya, dan lingkungan sekitar yang tepat. Ia punya segalanya. Saya bisa bilang karyanya seperti Robert Frank, Lisette Model, Helen Levitt, dan Diane Arbus,” ujar Mark di film Finding Vivian Maier seraya menyebut nama-nama maestro fotografi abad 20.
Menurut fotografer Joel Meyerowitz, Maier memiliki penglihatan yang otentik dan pemahaman yang riil tentang manusia, fotografi, dan jalanan. “Hal semacam itu tak sering terjadi. Saya melihat ribuan foto dan orang-orang mengirimkan saya situsweb untuk dilihat. Saya merasa sebagian besar dari mereka tidak istimewa,” katanya.
Meyerowitz menilai foto Maier menunjukkan kelembutan, kesadaran akan tragedi manusia, dan momen-momen yang menunjukkan kemurahan hati. “Karya Maier memiliki kualitas pemahaman tentang manusia, kehangatan, dan permainan yang membuat saya berpikir ‘Ini baru fotografer tulen,” imbuhnya.
Sejarah seni memang mengenal sejumlah seniman yang tak direken sepanjang hidupnya. Salah satu yang terkenal adalah Van Gogh, pelukis impresionis asal Belanda yang mati tragis dengan peluru di dada. Semasa hidupnya, van Gogh bukan siapa-siapa. Ia malah dikenal, ironisnya, menjelang tutup usia. Maier mungkin lebih mirip Henry Dagger, seorang pekerja kasar yang meninggalkan ratusan lukisan dan belasan ribu halaman novel di apartemennya. Namanya baru dirayakan jauh setelah kematiannya. Ia dikenal dengan gaya lukisan kolaseua yang khas kekanak-kanakan.
Para pengkaji seni menyebut orang-orang ini sebagai "outsider artists", yang kurang lebih bermakna "seniman-seniman yang berkarya jauh dari lingkungan kesenian yang mapan." Namun, bukankah kesenian modern selalu berusaha mendobrak kemapanan dan merayakan sosok-sosok manusia di tapal batas seperti Van Gogh, Dagger, dan Maier?
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf