Menuju konten utama

Manis di Cermin, Sadis di Kamera: Mengapa Citra Wajahku Berbeda?

Nyatanya, baik cermin maupun lensa kamera tidak akan pernah mampu menangkap setiap jengkal keunikan dan keindahan diri kita secara akurat. Apa sebabnya?

Manis di Cermin, Sadis di Kamera: Mengapa Citra Wajahku Berbeda?
Header diajeng Cermin vs Kamera. foto/istockphoto

tirto.id - Apa kamu pernah, atau sering, merasa dibohongi oleh cermin?

Sebelum pergi keluar rumah, kita pasti sigap memeriksa setiap detil tampilan di cermin. Apa bedaknya sudah cukup rata? Oh, alis, apa masih terlihat berantakan?

Jika sudah merasa puas dengan make up look yang ciamik dan gaya rambut rapi, sebagian dari kita biasanya akan spontan mengeluarkan smartphone, memilih opsi kamera, lalu klik!

Dua-tiga foto selfie terlampaui.

Ketika mengecek hasilnya, wah, betapa terkejut hati ini.

Warna lipstik yang kita poleskan ternyata tidak terlihat semenawan yang direfleksikan cermin. Proporsi wajah kita pun tampak aneh. Gaya rambut yang tadi sudah ditata sedemikian rupa malah terlihat amburadul.

Kita pun jadi bertanya-tanya. Siapa yang berbohong? Cermin atau kamera?

Nyatanya, baik cermin maupun kamera tidak mampu menangkap objek sebaik mata manusia.

Hasil foto yang aneh itu tidak mencerminkan penampilan kita yang sebenarnya. Meski begitu, refleksi wajah kita di cermin rias juga tidak benar-benar akurat.

Ada beberapa penjelasan di balik kontrasnya hasil tangkapan kamera dengan pantulan di cermin.

Faktor utamanya berkaitan dengan cara kerja cermin yang menampilkan bayangan diri kita secara terbalik.

Cermin memantulkan cahaya dari permukaan objek ke mata. Wajah yang dilihat di cermin, dipantulkan. Sederhananya, cermin mempertahankan keberadaan asimetri wajah, akan tetapi membalikkan arahnya.

Apabila kita memiliki wajah yang tidak simetris, maka cerminan diri yang biasa kita lihat di kaca dapat berbeda dengan yang apa ditangkap oleh kamera dan dilihat oleh orang lain.

Nah, bayangan terbalik inilah yang selalu kita lihat sehari-hari.

Kita terbiasa memandangi pantulan diri di cermin ketika menyikat gigi, menyisir rambut, memakai baju, sampai merias wajah. Seiring waktu, otak pun beradaptasi dengan persepsi visual yang ditampilkan oleh cermin.

Maka dari itu, sebagian besar orang lebih menyukai tampilan wajahnya di cermin dan justru merasa canggung ketika melihat foto wajahnya secara terbalik—kebalikan dari bayangan di cermin.

Dikutip dari The Atlantic, direktur Media Psychology Centre Pamela Rutledge mengatakan bahwa kebiasaan menatap diri di cermin meninggalkan kesan yang kuat.

“Kamu sudah telanjur akrab [dengan kesan mendalam terhadap pantulan diri sendiri di cermin]. Keakraban ini menumbuhkan rasa suka. Akhirnya, kamu pun membentuk preferensi untuk tampilan wajahmu.”

Selain itu, sebagian orang lebih memercayai tampilan cermin karena memperlihatkan wajah mereka secara autentik—asli, tanpa distorsi atau filter-filter di kamera.

Header diajeng Cermin vs Kamera

Header diajeng Cermin vs Kamera. foto/istockphoto

Padahal, gambar yang berkebalikan dari bayangan cermin justru lebih dekat dengan realitas.

Menurut hasil riset di jurnal Perception (2024), orang cenderung lebih mengenali dan menyukai wajahnya dalam gambar yang dibalik karena sudah terbiasa melihat pantulan wajahnya di cermin.

Dalam percobaan pertama, peneliti memberikan dua foto partisipan yang telah dibalik (sesuai pantulan cermin) dan tidak dibalik. Kemudian, partisipan diminta untuk memilih foto yang lebih mirip dengan wajah mereka dan foto yang lebih mereka sukai.

Hasilnya, partisipan dengan yakin memilih foto yang sudah dibalik sebagai foto yang lebih mirip dengan dirinya. Mereka juga cenderung lebih menyukai foto yang dibalik menyerupai pantulan cermin.

Menariknya, ketika dihadapkan dengan dua buah foto orang lain yang mereka kenal dengan akrab, partisipan justru memilih foto yang tidak dibalik sebagai foto yang lebih mirip dengan orang tersebut.

Hal ini terjadi karena foto yang tidak dibalik lebih sesuai dengan apa yang mereka lihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari—bukan melalui pantulan terbalik seperti pada cermin.

Ilmuwan menyebutnya efek "mere-exposure".

Konsep ini, diperkenalkan oleh psikolog Robert Zajonc, menjelaskan bahwa manusia cenderung merespons secara positif terhadap hal-hal yang sudah akrab bagi mereka.

Oleh karena itulah, ketika kamu melihat versi terbalik dari dirimu, kamu bakal langsung membencinya karena berlawanan dengan apa yang biasa kamu lihat sehari-hari.

Seiring itu, kamu pun menjadi lebih peka dengan perbedaan fitur wajahmu yang asimetri.

Misalnya, mata sebelah kananmu lebih besar dari mata sebelah kiri. Atau, ukuran salah satu lubang hidungmu ternyata lebih besar.

Perbedaan-perbedaan kecil inilah membuat sebagian dari kita cenderung kurang suka dengan hasil jepretan foto dan menganggap cerminan diri di kaca lebih bagus.

Meski begitu, hasil foto yang kurang sesuai dengan ekspektasi juga bukanlah gambaran akurat tentang bagaimana orang lain memandang di kita.

Persepsi orang lain terhadap wajah kita bahkan bisa jadi jauh lebih positif daripada yang kita bayangkan.

Ada beberapa hal-hal teknis dari teknologi kamera yang tidak dapat menangkap wajah kita sepenuhnya.

Kamera hanya memiliki satu mata lensa yang menangkap cahaya dan menerjemahkannya menjadi gambar dua dimensi. Artinya, wajah kita dapat terdistorsi sehingga menciptakan kesan yang berbeda dari cermin.

Ketika menatap cermin, kita dapat melihat wajah secara langsung dan bergerak.

Kita sendiri juga bisa menentukan angle atau sudut dengan sesuka hati, mengatur cara tersenyum, dan mengabaikan berbagai pose-pose canggung.

Sementara itu, kamera akan membekukan waktu dalam hitungan detik setelah kita menekan rana kamera (shutter) dan menangkap segala detail dari bentuk wajah kita yang tidak kita sadari sebelumnya.

Header diajeng Cermin vs Kamera

Header diajeng Cermin vs Kamera. foto/istockphoto

Fotografer Nadia Meli di Cosmopolitanmenuturkan, penampilan seseorang dapat terlihat berbeda dalam tiap lensa kamera.

Lensa kamera akan membuat tubuh dan wajah kita terlihat rata karena menangkapnya dalam format dua dimensi—berbeda dengan mata kita yang melihat penampilan diri sendiri di cermin secara tiga dimensi.

Masih melansir sumber yang sama, fotografer Fever Dream menambahkan bahwa jarak fokus antara kamera dan objek (focal lengths) dapat mengubah bentuk wajah seseorang menjadi lebih lebar atau lebih kecil—tergantung cara penggunaannya.

Misalnya, ketika kamu mengambil foto seseorang dalam jarak dekat dengan focal length yang pendek (di-zoom), maka hasilnya akan memiliki efek lensa fisheye yang membuat hidung dan dahi objek foto jadi terlihat lebih lebar.

Maka dari itu, fotografer profesional biasanya akan mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh dan memanfaatkan fitur zoom untuk menangkap detail tertentu yang diinginkan.

Dalam rangka mendapatkan foto yang paling sempurna, fotografer profesional biasanya juga akan memotret ratusan gambar dan kemudian menyeleksi yang terbaik.

Selain itu, hasil tangkapan kamera juga mudah untuk dimanipulasi karena tidak menampilkan versi tiga dimensi dari penampilan seseorang. Apabila kamu bisa menyesuaikan angle dan lighting yang sesuai, hasil foto bisa tampak lebih baik dari pantulan cermin.

Bagaimanapun, manusia tidak dapat melihat dirinya sendiri dengan mata kepala secara langsung. Teknologi seperti cermin atau kamera senantiasa diperlukan untuk mengetahui penampilan kita.

Namun demikian, baik cermin maupun kamera tidak akan pernah mampu menangkap setiap jengkal keunikan dan keindahan di tubuh kita secara akurat.

Alih-alih bertanya-tanya mana yang lebih "jujur" dalam merepresentasikan diri kita, alangkah lebih baiknya meluangkan waktu untuk mengeksplorasi dan menerima setiap versi dari wajah dan tubuh kita. Setuju!

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih