Menuju konten utama

Nganggur Gara-Gara Jepang Masuk, Soeharto Muda Pernah Main Judi

Soeharto muda pernah main judi. Bermodal 1 gulden, dia akhirnya punya uang 50 gulden.

Nganggur Gara-Gara Jepang Masuk, Soeharto Muda Pernah Main Judi
Soeharto, presiden ke-2 daripada Republik Indonesia. FOTO/LIFE

tirto.id - Setelah beberapa tahun tidak ada kemajuan di bank desa tempatnya bekerja, Soeharto akhirnya melamar jadi serdadu ketentaraan kolonial, KNIL.

”Mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan. Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima,” aku Soeharto dalam autobiografinya yang dituturkan kepada Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 19).

Ketimbang tinggal bersama kakek yang kerap pilih kasih kepada cucunya, tinggal di tangsi militer tampaknya lebih menyenangkan bagi Soeharto. Tak heran dia mengaku dalam autobiografinya, “saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini” (hlm. 20).

Setelah pelatihan, Soeharto ditempatkan di Batalyon XIII di Rampal, Malang. Lalu Soeharto ikut ujian calon sersan dan lulus. Dia pun masuk Sekolah Kader di Gombong. Seorang sersan KNIL, kata Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), “sudah sangat berharga di masyarakat. Gajinya 60 gulden sebulan dan dapat jatah rumah” (hlm. 20).

Di zaman itu, sepengakuan Raden Soeprono dalam autobiografinya, R Soeprono: Selangkah Tapak Tiga Zaman: Mahasiswa Pejuang Kedokteran (1997), pada periode 1930 hingga 1942 harga emas antara 1,5 hingga 2 gulden tiap satu gramnya. Satu gulden sama dengan 100 sen. Harga beras sekitar 6 sen tiap kilogram (hlm. 283).

Nah, menurut tukang jepret peristiwa bersejarah Indonesia, Alex Mendur, dalam Alexius Impurung Mendur (1986: 19) yang disusun Wiwi Kuswiyah, harga rokok kalengan di zaman Ratu Wilhelmina itu hanya sekitar 63 sen (hlm. 19).

Dengan uang 60 gulden sebulan dan belum berkeluarga, tentu saja Soeharto lumayan makmur.

Menang 50 Gulden

Setelah menyandang gelar sersan, penugasan Soeharto dipindah lagi. “Saya terus dikirim ke Bandung, dijadikan cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat. Saya ditempatkan di Cisarua. Namun, cuma satu minggu saya berada di situ,” aku Soeharto dalam autobiografinya (hlm. 21).

Kala itu Hindia Belanda kalah dan dirinya merasa bakal jadi tawanan Jepang. Di tengah masa-masa suram di tahun 1942 itu Soeharto, yang jago berhitung meski sekolahnya rendah, bermain kartu.

Bersama kawan-kawannya, Soeharto suka main kartu cemeh menggunakan kartu Londo. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cemeh adalah "permainan judi dengan kartu kecil". Biasanya dengan kartu domino, tapi tiap pemain memegang dua kartu. Sementara yang dimaksud kartu Londo kemungkinan besar adalah kartu permainan alias kartu remi.

Judi bukan masalah besar buat Soeharto. Dia adalah orang yang sangat mampu menahan diri dalam bertindak, dan pastinya tahu bagaimana caranya agar tidak bangkrut. Suatu kali, berjudilah Soeharto.

“Waktu mulai main cemeh itu saya hanya punya uang satu gulden,” tutur Soeharto.

Jika menggunakan perhitungan harga emas seperti diungkap R. Soeprono (1 gram seharga 2 gulden), maka modal 1 gulden Soeharto setara kurang lebih 300.000 rupiah hari ini.

Di medan judi itu Soeharto menang banyak. “Uang saya bertambah menjadi 50 gulden,” akunya. Nilainya kira-kira 15 juta rupiah saat ini. Tapi Soeharto tak habiskan "uang haram" tersebut demi dirinya sendiri. Ada kebutuhan mendasar baginya di hari-hari ia main judi itu.

“Uang itulah yang saya pergunakan bersama Amat Sudono pulang ke kampung,” kata Soeharto.

Sebelum naik kereta api ke Yogyakarta, Soeharto dan Amat Sudono beli baju dulu di Cimahi. Seragam KNIL mereka tentu berbahaya bila bertemu serdadu Jepang yang sedang jaya.

Mereka akhirnya naik kereta api ke Yogyakarta. Tapi sampai Stasiun Tugu, mereka dengar ada pengumuman bahwa semua bekas tentara Belanda harus masuk kantor, untuk melaporkan diri di Jetis. Mereka berdua tidak mau keluar stasiun. Mereka ogah jadi tawanan Jepang. Akhirnya, mereka memilih naik kereta ke Sleman. Sampai sana mereka lolos dan menginap di rumah Amat Sudono.

Esoknya Soeharto naik bus ke rumah orang tua angkat yang sangat dicintainya di Wuryantoro, Wonogiri. Meski kehidupan masyarakat mulai sulit, setidaknya uang hasil Soeharto main judi itu bisa membantu. Beberapa bulan setelahnya, Soeharto bekerja jadi polisi Jepang sebelum masuk tentara sukarela.

Infografik Soeharto main kartu londo

Infografik Soeharto main kartu londo

Melegalkan Judi

Soeharto bukan orang yang alergi pada judi. Paling tidak dia pejudi kehidupan yang baik. Dia tahu bagaimana berhitung dalam mengambil tindakan, bukan pejudi yang ngawurasal ambil keputusan.

Ketika Soeharto berkuasa sebagai presiden daripada Republik Indonesia, judi adalah hal yang legal. Meski judi nyatanya jadi salah satu sumber kemiskinan. Kenyataan lainnya adalah judi sudah jadi penyakit masyarakat yang sulit dihilangkan.

Judi juga merupakan hal yang legal di Jakarta, di zaman Gubernur Ali Sadikin. Daripada ilegal tapi jadi liar, melegalkan dianggap lebih bijak oleh Bang Ali. Dengan judi, uang berputar. Uang hasil judi berusaha dikembalikan ke masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 1957, pemerintah daerah berhak memungut pajak dari judi.

“Jalan-jalan di DKI (Jakarta) dibangun dengan pajak judi,” kata Ali Sadikin dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1994: 63-65).

Ali sendiri mengaku, sebagai orang Islam dia tidak pernah main judi.

Terkait judi dengan uang, di masa Soeharto jadi presiden ada yang disebut sebagai Porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang difasilitasi negara. Pada 1994 kelompok Islam menuntut SDSB dibubarkan. Soeharto yang sudah dekat dengan Islam pun menurut untuk membubarkannya. Belakangan SDSB dijadikan plesetan: Soeharto Dalang Segala Bencana.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan