Menuju konten utama

The New Normal Gagal: Kasus Corona Meningkat, Resesi Menanti

The new normal bisa dibilang gagal: kasus terus bertambah, pertumbuhan ekonomi pun suram.

The New Normal Gagal: Kasus Corona Meningkat, Resesi Menanti
Petugas melakukan perawatan bilik disinfektan "Disinfection Chamber" di pier 1 Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), Marunda, Jakarta Utara, Kamis (9/7/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

tirto.id - The new normal atau kelaziman baru yang dikampanyekan pemerintah dinilai gagal. Selain malah membuat kasus COVID-19 meningkat tak terkendali, perekonomian juga kian terpuruk hingga menuju jurang resesi.

Kampanye the new normal diikuti dengan sejumlah kebijakan pelonggaran aktivitas masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dihentikan. Aktivitas ekonomi dibuka satu per satu.

Namun, pertumbuhan ekonomi tetap tak tertolong. Resesi hampir pasti terjadi lantaran kontraksi pertumbuhan di kuartal III (Q3) semakin tak terhindarkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat (14/8/2020), memangkas pertumbuhan ekonomi Q3 menjadi hanya minus 2 sampai 0,2%, melengkapi kontraksi kuartal II (Q2) sebesar minus 5,3%. Semua ini memenuhi syarat resesi secara teknis (technical recession).

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebut kondisi di ambang resesi tak lain karena “grafik COVID-19 belum kunjung turun tapi new normal sudah dipaksakan.”

“Saya setuju menyebutkan new normal gagal, bahkan memperparah penanganan COVID-19 lewat peningkatan klaster baru seperti di perkantoran dan industri,” ujarnya Manap saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/9/2020).

Tidak adanya dana yang cukup untuk menopang stimulus saat pemberlakuan pembatasan menjadi dalih pemberlakuan the new normal. Semua ini terjadi menurutnya, lantaran bantalan fiskal yang rapuh. Penerimaan pajak dan pendapatan negara terus meleset tetapi belanja negara terus melonjak.

Dengan situasi saat ini, yang bisa dilakukan pemerintah menurutnya adalah fokus membantu industri manufaktur karena menjadi penyumbang 19% produk domestik bruto (PDB) dan sekitar 14% tenaga kerja. Kedua, penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) harus dipercepat agar ekonomi tidak makin tertekan.

Ketiga, pemerintah harus merumuskan program stimulus jangka pendek bagi kelas menengah agar mau berkonsumsi lebih besar. “Keempat, fokus ke usaha mikro kecil menengah (UMKM),” kata Manap.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riyono mengatakan pemerintah “jangan mengejar pertumbuhan ekonomi” saja tapi mengabaikan kesehatan masyarakat, kecenderungan yang ia lihat selama ini. Pemerintah bisa mengambil kebijakan yang seimbang untuk mengatasi masalah kesehatan sekaligus ekonomi. Ia menyebut itu sebagai kebijakan 'zero–zero'.

“Kita zero growth saja sudah cukup. Zero lainnya apa? Zero infection. Kita berusaha keras sampai zero, kita berusaha menekan penularan,” kata Pandu dalam diskusi daring, Kamis (3/9/2020). Kalau tidak demikian, menurutnya, masalah tidak akan pernah dapat teratasi.

Sudah banyak negara tetangga yang laporan penambahan kasus positifnya semakin menurun, berdasarkan laman Worldometers.

Singapura mencatatkan 56.908 kasus per 3 September 2020 [terjadi koreksi pada Senin 7 September 2020 pukul 11.41 WIB]. Terjadi lonjakan penambahan kasus pada 5 Agustus lalu dengan 908 kasus, tapi kemudian terus menurun. Dalam sepekan terakhir penambahan kasus selalu di bawah 100.

Kemudian Malaysia yang mencatatkan 9.083 kasus positif. Lonjakan kasus terakhir adalah pada 4 Juni dengan 277. Setelah itu kasus berangsur menurun bahkan sepanjang Agustus penambahan kasus tak pernah lebih dari 25 per hari.

Australia yang kini memiliki total kasus 21.912 juga demikian. Setelah mengalami lonjakan kasus sekitar 700an pada akhir Juli hingga awal Agustus, kini angkanya mengalami penurunan. Dalam sepekan terakhir penambahan kasus tak pernah lebih dari 130.

Di Indonesia kasus positif Corona sudah mencapai 184.268, dengan penambahan harian semakin tinggi. Dalam tujuh hari terakhir rata-rata penambahan 3.055 kasus, padahal sebelumnya 1.000-2.000. Pada Kamis (3/9/2020) penambahan bahkan mencapai 3.622, terbanyak sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret.

Ketua terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKM) Dedi Supratman mengatakan belum adanya tanda-tanda kasus COVID-19 menurun semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk segera melakukan evaluasi.

“Kasus terus meningkat, positivity rate masih tinggi, kematian angkanya masih di atas global. Bisa saya katakan kita gagal mengatasi pandemi ini,” kata Dedi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/9/2020).

Menurutnya akan sangat sulit meningkatkan pertumbuhan ekonomi selama pandemi masih belum dapat teratasi. Pembukaan sentra-sentra ekonomi tak lantas dapat langsung memperbaiki kondisi perekonomian. “Selama COVID-19 belum dikendalikan, selama itu juga ekonomi tidak akan pulih.”

Baca juga artikel terkait PENANGANAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino