tirto.id - Duduk dengan menyelonjorkan kaki, Martina Bala (53), tengah menenun di depan rumahnya, Minggu (4/5/2025) siang. Dia menenun kain lipa khas Sikka di depan rumahnya yang sudah tampak miring, nyaris ambruk.
Dalam kondisi hidup serba kekurangan, Mama Martina, seorang janda yang tinggal di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus berjuang membesarkan anak-anaknya. Mereka tinggal di sebuah rumah yang lebih serupa pondok, berdinding pelupu bambu dan beralaskan tanah. Rumah itu hanya disanggah dua batang kayu pohon gamal untuk menopang agar rumah miring ini bisa tetap bertahan.
Suami Mama Martina telah meninggalkan keluarga sejak anak-anaknya masih kecil. Sejak itu, beban sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga harus dipikul sendiri olehnya.
Dalam bangunan yang serba pas-pasan berukuran 2,5 x 4 meter, Mama Martina tinggal bersama empat orang anaknya; Elenterius Ronald (24), Avila Triyanti (20), Oktavia Mikaela (14), dan Marianus Jenoario (13).

Tanah tempat rumah reyot itu berdiri sebenarnya cukup luas, berukuran 10 x 20 meter. Tanah tersebut dibeli oleh anak kedua, Heriyanto Seno (27), yang merantau ke Kalimantan untuk menjadi buruh perkebunan sawit.
Sementara anak sulungnya Gabril Nong Gebi (32) sudah berkeluarga dan tinggal di Kelurahan Wolomarang. Ia bekerja serabutan sebagai penjaga toko dan mencetak batu merah.
Di rumah itu hanya ada satu kamar. Ruangan itu keluarga ini fungsikan sebagai tempat penyimpanan pakaian pada kardus-kardus bekas. Jika malam telah datang, hanya sebuah lampu yang mereka andalkan sebagai sumber penerangan. Sumber listriknya pun menumpang dari rumah Ketua RT setempat.
Di ruang yang sangat terbatas itu, mereka juga masih harus berbagi lagi. Pada malam hari, dua ekor ayam peliharaan juga dibawa masuk ke dalam rumah. Tak ada kandang khusus yang bisa mereka siapkan bagi unggas ternak itu.

Rumah ini juga bertahan dengan memaksimalkan material yang seadanya. Seng bekas menjadi atap sekaligus pintu. Di bagian belakang rumah terdapat dapur sederhana tanpa dinding, menghadap ke arah kali kering.
Sementara untuk mandi dan buang air, keluarga ini harus menumpang ke kamar mandi milik tetangga terdekat. "Tetangga langsung tahu kalau kami keluar di malam hari untuk ke WC karena pintu pakai seng, bunyi besar kalau mau dibuka saat malam," cerita Mama Martina sambil tertawa.

Menenun kain lipa menjadi salah satu sumber pemasukan Mama Martina dan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selembar kain bisa mereka jual seharga Rp120 ribu-Rp 300 ribu. Dalam sebulan, mereka mampu menghasilkan sekitar empat lembar. Hasil penjualan digunakan untuk membeli benang, pewarna kain, dan juga untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, kopi dan gula.
Artinya, jika mendapat nilai maksimal saja, mereka mengumpulkan Rp1,2 juta untuk pemenuhan kebutuhan lima orang. Tentu jauh dari cukup.
“Kami sehari masak satu kali saja sampai malam. Kalau ada beras kami bisa makan nasi, kalau tidak makan jagung goreng dengan daun ubi. Yang penting kami bisa makan,” ujar Mama Martina.
Untuk menambal kebutuhan harian, Mama Martina dan anak-anaknya juga bekerja serabutan di kebun milik tetangga dengan menanam jagung dan ubi. Anak tertua yang tinggal di rumah itu, Elenterius Ronald, juga sering membantu tetangga dengan mengiris pohon lontar untuk nira pembuatan moke.
Ronald harus putus sekolah di SMP Kelas VIII demi membantu ekonomi keluarganya. Adik Ronald, Oktavia Mikaela juga sempat bersekolah kelas VIII di SMP Negeri 01 Waigete. Namun, dia terpaksa berhenti karena keterbatasan ekonomi meski, mendapatkan bantuan beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP).
Mama Martina menuturkan, meski keluarganya telah terdata sebagai calon penerima bantuan rumah pada Oktober 2023 lalu, hingga kini belum ada bantuan apa pun dari Pemerintah Desa Hoder.
“Mereka dari kantor desa sudah datang dan foto rumah, katanya akan ada bantuan. Tapi sampai sekarang belum ada bantuan apa-apa,” terang Mama Martina. Ia hanya berharap bantuan rumah benar-benar diberikan kepada keluarga yang membutuhkan, bukan justru kepada warga yang lebih mampu.

Potret Kemiskinan di NTT
Kondisi keluarga Mama Martina hanya satu contoh dari banyaknya kasus kemiskinan di NTT, secara khusus Kabupaten Sikka. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) garis kemiskinan Kabupaten Sikka berada di batas Rp434.074 per kapita. Dalam kasus keluarga Mama Martina, pendapatan dari menjual kain tenun lipa, jika dibagi per orang hanya sekitar Rp240 ribu. Kondisi ini menempatkan tiap anggota keluarga itu masuk kategori penduduk miskin
Data BPS, pada tahun 2024 juga mencatat ada 38,73 ribu penduduk miskin di Kabupaten Sikka. Jumlah ini setara dengan 11,89 persen populasi. Kabar baiknya, angka ini sendiri menunjukkan tren penurunan, sejak tahun 2016, tren penduduk miskin di Kabupaten Sikka terus mengalami penurunan secara konstan.
Jika melihat ke skala yang lebih luas, tingkat kemiskinan di Kabupaten Sikka juga cenderung rendah dibanding daerah lain di NTT. Dari 21 kabupaten dan kota di NTT, rata-rata penduduk miskinnya tercatat 19,48 persen pada tahun 2024. Kabupaten Sikka berada jauh di bawah angka itu. Masalah kemiskinan di NTT juga perlu mendapat sorotan lebih. Sebab dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, NTT menempati peringkat kelima provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi.
Hidup Serba Pas-pasan Sejak Tahun 2019
Menurut cerita Mama Martina, hidup dengan kondisi serba kekurangan ini, telah mereka jalani sejak 2019. Sebelumnya mereka sempat tinggal di tanah milik seorang dermawan dan relawan kemanusiaan asal Belgia Mama Belgi.
Mamam Martina bekerja sebagai pengasuh anak di panti asuhan milik Mamam Belgi antara tahun 2000 - 2004. Antara tahun 2005 - 2010 dia pindah menjadi pengasuh anak di Panti Asuhan Stella Maris Nangahure.
Kemudian antara 2010-2016 Mama Martina dan keluarga pindah ke tanah kebun milik Mama Belgi, yang berada di sebelah Jembatan Magesayang. Setelah tanah milik Mama Belgi itu dijual ke pihak lain, Mama Martina dan anak-anaknya pindah lagi. Antara tahun 2016-pertengahan 2018 mereka tinggal di tanah kebun milik keluarga mereka.
Tidak bertahan lama, dikarenakan bertengkar dengan keluarga tersebut, Mama Martina dan keempat anaknya pindah tinggal. Mereka sempat tinggal di salah satu rumah kosong milik salah seorang warga di Kampung Magesayang sampai September 2019.
Sejak itu sampai sekarang, mereka tinggal di rumah seadanya, di tanah yang dibeli oleh anak kedua Mama Martina.

Ketua RT 009, tempat keluarga Mama Martina tinggal, Fransiskus Nong Efendi, membenarkan kondisi mengenaskan keluarga itu. Ia mengaku sudah menyampaikan laporan kepada pihak desa, namun belum ada realisasi.
“Semoga ada perhatian dari Pemkab Sikka. Kami sebagai tetangga hanya bisa membantu sebisanya. Kasihan mereka tidur berdesakan dalam rumah yang nyaris roboh,” ucapnya penuh harap.
Kondisi mengenaskan keluarga Mama Martina juga telah mendapat perhatian dari komunitas gereja. Sekretaris DPP Kuasi Paroki Wairita, Klemens Keri, mengatakan informasi mengenai kondisi keluarga tersebut baru diketahui pihaknya pada Jumat (2/5/2025).
Usai Misa Pembukaan Bulan Maria di Kuasi Paroki St. Arnoldus Janssen Wairita, Pastor Paroki menerima laporan bahwa rumah yang ditempati keluarga Mama Martina dalam keadaan rusak berat dan membahayakan keselamatan penghuninya.

Klemens bersama dua orang utusan lain dari perwakilan umat kemudian melakukan pemantauan lokasi langsung. Hasil pantauan lapangan membenarkan bahwa rumah tersebut nyaris roboh. Atap dan dinding sudah lapuk, sebagian besar struktur bangunan sudah tidak lagi kokoh.
"Rumah Mama Martina Bala sudah tidak bisa disebut layak huni. Apalagi jika ada kejadian angin kencang di wilayah ini. sedikit saja, rumah tersebut akan roboh," ungkap Klemens.
Melihat kondisi ini, Pastor Paroki sudah menyerukan aksi solidaritas umat paroki sebagai wujud nyata Paskah dan peringatan Bulan Maria. Gereja mengajak umat memberikan bantuan dalam bentuk barang seperti seng, paku, kayu, pasir, batu, pelupuh bambu, serta dalam bentuk uang dan tenaga.
“Kami juga berharap ada dukungan dari Pemkab Sikka maupun pihak-pihak yang peduli, agar keluarga Mama Martina bisa punya rumah yang layak huni,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dengan adanya dukungan dari Pemkab Sikka maupun pihak-pihak yang peduli, mimpi keluarga ini untuk dapat tinggal di rumah yang layak dapat terpenuhi.
Penulis: Mario Wihelmus PS
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































