tirto.id - Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menggugat PT Tempo Inti Media Tbk. atau Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nilai gugatan Rp200 miliar. Dalam persidangan perdana yang dilaksanakan pada Senin (15/9/2025), terungkap bahwa Amran mempermasalahkan judul salah satu berita Tempo edisi 16 Mei 2025 yang berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”.
Dalam persidangan tersebut, kuasa hukum Amran, Chandra Muliawan, menyatakan bahwa kliennya merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut. Dia menuding Tempo melakukan perbuatan melawan hukum yang berdampak langsung terhadap nama baik dan posisi Amran sebagai pejabat negara.
“Bahwa oleh karena tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada penggugat, maka penggugat mengalami kerugian baik materil maupun immateril,” kata Chandra dalam sidang perdana, Senin (15/9/2025).
Kasus ini bermula ketika Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mempersoalkan sebuah poster berita yang diunggah Tempo terkait kebijakan pengelolaan beras oleh kementerian yang ia pimpin. Poster itu menampilkan judul laporan investigasi Tempo, “Poles-Poles Beras Busuk”, yang dinilai bermasalah karena dianggap dapat mengganggu kredibilitas kementerian.
Menurut Mustafa Layong, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) yang mendampingi Tempo, keberatan tersebut awalnya disampaikan melalui mekanisme di Dewan Pers. Lembaga itu kemudian mengeluarkan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) sebagai bagian dari penyelesaian etik.

Merespons rekomendasi tersebut, kedua belah pihak sempat menjalani proses mediasi. Namun, upaya itu gagal mencapai kesepakatan. Meski demikian, Tempo tetap menjalankan tanggung jawabnya dengan memenuhi lima poin yang direkomendasikan oleh Dewan Pers.
Dikutip dari Tempo.co, poin-poin rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pers antara lain: mengganti judul pada poster yang diunggah di akun Instagram Tempo, menyatakan permintaan maaf secara terbuka, serta melakukan moderasi konten yang dianggap bermasalah.
Selain itu, Tempo juga diminta untuk melapor kembali ke Dewan Pers sebagai bentuk konfirmasi bahwa seluruh rekomendasi telah dilaksanakan.
Namun, menurut Mustafa, Mentan Amran justru melanjutkan langkah hukum dengan mengajukan gugatan perdata terhadap Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Juli 2025. Gugatan tersebut diajukan karena Amran menilai Tempo gagal memenuhi rekomendasi Dewan Pers dan menuntut ganti rugi.
“Hari ini agenda persidangan pembacaan gugatan pascagagalnya proses mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jadi, sebelumnya, sejak tanggal 7 mediasi pertama terhadap gugatan ini," kata Mustafa.
Meski mediasi gagal dan persidangan telah dimulai, Mustafa berharap majelis hakim menolak seluruh amar gugatan yang diajukan Andi Amran. Mustafa bersikeras bahwa hanya Dewan Pers yang bisa menjadi penentu putusan atas gugatan pers di Indonesia.
"Harusnya kemudian para pihak kembali melakukan proses mediasi di Dewan Pers karena memang proses atau mekanisme upaya penyelesaian sengketa itu merupakan bagian daripada kewenangan Dewan Pers," tegasnya.
Poster “Poles-poles Beras Busuk” merupakan pengantar dari artikel “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah”. Artikel tersebut mengulas kebijakan Perum Bulog dalam menyerap gabah petani tanpa seleksi kualitas atau sistem any quality dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram.
Kebijakan ini berhasil meningkatkan stok beras Bulog hingga mencapai 4 juta ton, angka tertinggi dalam sejarah. Namun, kebijakan ini juga mendorong sebagian petani mencampurkan gabah berkualitas baik dan buruk sebelum menjualnya ke Bulog.
Di beberapa daerah, ditemukan praktik mencampur gabah dengan air guna menambah berat timbangan. Akibatnya, sebagian beras yang disimpan di gudang Bulog menjadi rusak.
Menurut Mustafa, kata “busuk” dalam judul tersebut sesuai dengan makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti rusak dan berbau tidak sedap. Artikel tersebut juga mengutip pernyataan Menteri Amran yang mengakui ada beras rusak.
Gugatan Amran Menciptakan Ketidakpastian Hukum
Peneliti Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Saleh, menilai gugatan Mentan Andi Amran terhadap Tempo memiliki setidaknya tiga persoalan mendasar dari sisi hukum dan logika bernegara. Pertama, dia menyoroti fakta bahwa proses penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers sebenarnya sudah dijalankan.
Dalam sistem hukum pers di Indonesia, mekanisme Dewan Pers dirancang sebagai forum etik yang wajib dihormati oleh semua pihak yang bersengketa. Tempo pun telah menjalankan seluruh rekomendasi yang diberikan, termasuk koreksi konten dan permintaan maaf terbuka.
Saleh menilai ketika rekomendasi Dewan Pers sudah dijalankan tetapi kemudian masih ada upaya hukum tambahan berupa gugatan perdata, hal ini bukan hanya mencederai prinsip penyelesaian etik, tetapi juga membingungkan dan menciptakan ketidakpastian hukum.
“Kalau mekanisme Dewan Pers tidak dihormati, lalu buat apa kita punya Undang-Undang Pers dan membentuk Dewan Pers? Ada mekanisme yang sudah jelas disediakan oleh undang-undang, oleh peraturan, tapi mekanisme itu justru tidak diapresiasi, tidak dihargai karena dilakukan upaya hukum lain. Ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum di dunia jurnalisme,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (16/9/2025).
Kedua, Saleh mempertanyakan kedudukan hukum dari penggugat, yakni Menteri Pertanian sebagai pejabat publik. Dia menilai bahwa tindakan Amran bukanlah sebagai individu pribadi, melainkan sebagai pejabat negara. Sebab, objek pemberitaan Tempo adalah kebijakan publik yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertanian, bukan sebagai individu.
“Mentan menyampaikan ada kerugian material dan immaterial yang ditimbulkan, kemudian meminta ganti kerugian. Kerugian atas apa? Dia bukan perseorangan. Jadi, Tempo dalam hal ini memberitakan tindakan dia sebagai pejabat publik. Negara tidak selayaknya mengajukan permintaan ganti kerugian kepada sebuah platform berita karena alasan perbedaan informasi,” ujarnya.

Saleh menegaskan bahwa gugatan perdata adalah mekanisme antarpribadi (private to private), bukan forum untuk memperkarakan pemberitaan tentang kebijakan publik. Dalam kasus ini, jika benar ada misinformasi dalam pemberitaan, dia mengatakan mekanisme Dewan Pers adalah jalur yang tepat dan itu sudah dilakukan serta dipenuhi oleh Tempo.
“Problem yang cukup serius itu adalah Mentan gagal paham dan tidak bisa membedakan antara dia sebagai entitas pribadi dan dia sebagai entitas publik. Pemberitaan Tempo itu kan produk kebijakan dan kemudian itu juga sudah dikoreksi. Jadi, tidak bisa, tidak llayak dan tidak patuh jika ada gugatan keperdataan dengan mengklaim ada kerugian material dan imaterial berupa uang,” ujarnya.
Saleh juga mempertanyakan klaim kerugian senilai Rp200 miliar yang diajukan dalam gugatan. Menurutnya, jika pun gugatan ini dikabulkan, akan timbul persoalan baru: apakah uang tersebut akan masuk ke kas negara atau rekening pribadi?
“Mau dimasukkan ke kas negara atau masuk pribadi? Kan ini juga rancu kan. Padahal, yang menjadi masalah ini adalah kebijakan. Dan tidak mungkin uang itu dialihkan ke kas negara,” ujarnya.
Ketiga, ia menekankan pentingnya pengadilan negeri memahami kompetensinya sebagai pengadilan. Dalam kasus ini, kata dia, majelis hakim seharusnya menyadari bahwa sengketa sudah selesai melalui mekanisme etik yang sah dan diakui hukum, yakni Dewan Pers. Karena itu, menurut Saleh, seharusnya gugatan ini tidak diterima atau ditolak sejak awal.
“Sehingga, diputusannya harusnya perkara ini tidak dilanjutkan, tidak diterima, ditolak oleh pengadilan karena alasan perkara ini sudah diselesaikan melalui jalur mekanisme Dewan Pers,” ujarnya.
Tak Semestinya Melalui Jalur Perdata
Senada dengan Saleh, pakar kebijakan digital dan Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menilai Menteri Amran seharusnya tak menempuh jalur hukum perdata terhadap Tempo. Pasalnya, sengketa yang dipersoalkan menyangkut konten jurnalistik. Selama pemberitaan memenuhi kaidah jurnalistik sesuai Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, penyelesaiannya seharusnya dilakukan melalui Dewan Pers.
“Sehingga, kemudian tidak semestinya menggunakan instrumen mekanisme pidana atau bahkan perdata untuk mempersoalkan isi dari suatu pemberitaan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (16/9/2025).
Lebih lanjut, Wahyudi juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terkait pencemaran nama baik, meskipun dalam konteks pidana, sudah menegaskan bahwa perlindungan hukum semacam itu diperuntukkan bagi individu, bukan untuk lembaga, institusi, atau pejabat publik.
Maka dalam konteks gugatan perdata sekalipun, pendekatan hukum tidak semestinya dipakai untuk melindungi posisi pejabat negara atau institusi kementerian dari kritik atau pemberitaan.
“Mestinya itu juga menjadi konsiderasi dalam konteks keperdataan juga. Dalam artian bahwa instrumen yang berkaitan dengan pencemaran nama, penyebaran kebencian, dan berita bohong itu hanya digunakan untuk melindungi individu, bukan dimaksudkan untuk melindungi lembaga atau pejabat negara,” ujarnya.
Menurut Wahyudi, apa yang dilakukan oleh Menteri Amran justru berpotensi mengaburkan batas antara ekspresi sah dan pelanggaran hukum. Dia menyebut bahwa ekspresi yang disampaikan melalui produk jurnalistik merupakan bentuk ekspresi yang sah (legitimate expression) dan harus dilindungi oleh hukum.
Preseden Buruk Kebebasan Pers dan Demokrasi
Wahyudi menyebut bahwa bila gugatan seperti ini terus diproses oleh pengadilan, hal itu dapat menjadi preseden buruk yang memperkuat tren ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi secara umum. Dia menyebut adanya chilling effect (efek jeri) yang bisa muncul di kalangan media.
Jurnalis bisa jadi menjadi lebih khawatir atau bahkan takut untuk melakukan liputan investigatif terhadap pejabat atau institusi negara.
“Kebebasan pers, kebebasan berekspresi itu kunci atau inti dari demokrasi. Jadi, kalau gugatan ini terus bergulir akan semakin menggerus dan menekan kebebasan pers,” ujar Wahyudi.
Senada, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menilai langkah Menteri Amran menggugat Tempo mencerminkan sikap pejabat negara yang tidak taat hukum sekaligus menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
“Tindakan ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka jalan bagi kriminalisasi media, padahal UU Pers sudah memberikan mekanisme penyelesaian yang jelas,” ujar Nany saat dihubungi Tirto, Selasa (16/9/2025).

AJI Indonesia lantas mendesak Amran untuk menarik gugatannya, serta mengingatkan seluruh pejabat publik agar menjunjung tinggi kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Menurut Nany, kerja-kerja jurnalistik makin hari makin mendapat tekanan, seiring banyaknya gugatan atas produk jurnalistik yang kerap juga dipermasalahkan pejabat negara.
“Makin banyak kekerasan pada jurnalis dan gugatan pada media, itu tandanya memang banyak masalah saat ini di Indonesia. Itulah sebabnya AJI meminta semua jurnalis dan media untuk tetap profesional dan menulis berita berdasar fakta yang akurat dan sahih sehingga tidak memberikan ruang untuk kriminalisasi,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Tirto, gugatan yang dilakukan Amran terhadap Tempo baru-baru ini bukanlah yang pertama. Pada 2019 lalu, Amran yang juga menjabat sebagai Mentan menggugat majalah berita mingguan Tempo, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penyebabnya, Amran tak terima atas hasil investigasi Majalah Tempo edisi 9-15 September 2019 yang bertajuk “Swasembada Gula Cara Amran dan Isam”. Melalui pengacaranya yang bernama Sabarman Saragih, Amran minta majalah Tempo membayar denda. Rinciannya berupa kerugian immateriil Rp100 miliar dan materiil Rp22 juta.
"Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum," demikian isi petitum yang diajukan Amran dalam perkara bernomor 901/Pdt.G/2019/PN JKT.SEL.
Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, menyebut gugatan pada 2019 itu tidak berlanjut karena Amran tidak lagi menjabat sebagai Mentan. Gugatan itu dilakukan dua hari sebelum jabatan Amran dicopot Presiden Joko Widodo, tepatnya Jumat (18/10/2019).
“Gugatan 2019 tidak lanjut karena Amran tidak lagi jadi menteri pertanian,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (16/9/2025).
Menurut Bagja, gugatan baru yang dilayangkan Amran menunjukkan bahwa sang menteri tidak memiliki iktikad baik dalam menyelesaikan sengketa pers. Hal ini terlihat dari sikap Amran yang tidak pernah hadir dalam proses mediasi, menuding Tempo tidak menjalankan rekomendasi Dewan Pers, serta mengajukan gugatan dengan nilai yang dianggap tidak proporsional, yakni sebesar Rp200 miliar.
“Sebagai pejabat publik, Amran tak memahami fungsi pers sebagai kontrol sosial dan kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dan menjadi amanat UU Pers dalam iklim demokratis. Jika ia merasa tidak puas dengan berita, pertama-tama ia meminta hak koreksi dan hak jawab,” ujar Bagja.
Respons Kementan
Kementan menjelaskan bahwa gugatan ini bukan sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan pers, melainkan dorongan agar media menjalankan fungsinya secara profesional, akurat, dan berimbang. Instansi itu menyebut bahwa kemerdekaan pers harus dijaga, tapi juga harus disertai dengan tanggung jawab dan kepatuhan terhadap etika jurnalistik.
“Kementan tidak antikritik dan justru membutuhkan kontrol dan kritik profesional dan konstruktif dari pers. Oleh sebab itu, dalam petitum gugatan, Kementan tidak menuntut sita jaminan atas aset Tempo karena Kementan tidak menginginkan proses kegiatan jurnalistik Tempo terganggu,” ujar Kepala Biro Kementan, Indra Zakaria Rayusman, melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (16/9/2025).
Indra menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari unggahan poster editorial bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” di media sosial Tempo pada 16 Mei 2025. Konten visual ini mempromosikan artikel “Risiko Bulog setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah” yang dianggap tidak memuat informasi fakta yang mendukung pernyataan negatif dalam judul poster.
“Artikel tersebut berada di balik paywall sehingga pengakses yang bukan pelanggan tempo.co, tidak dapat melakukan verifikasi isi poster/motion graphic yang berada di balik paywall dan dinilai tidak memuat fakta yang mendukung pernyataan dalam judul poster. Akibatnya, muncul komentar negatif hingga ujaran kebencian terhadap Kementan dan Menteri Pertanian di kolom komentar, tanpa moderasi dari pihak Tempo,” terang Indra.
Kementan lalu mengadukan hal tersebut ke Dewan Pers. Kementan menyebut Dewan Pers dalam PPR Nomor 3/PPR-DP/VI/2025 telah memutuskan Tempo dinyatakan melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 karena tidak akurat dan melebih-lebihkan dan Pasal 3 karena mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi sehingga Dewan Pers memberikan rekomendasi kepada media tersebut.
Karena menilai tidak ada iktikad baik dari Tempo, Kementan melanjutkan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kementan menegaskan bahwa langkah ini bukan bentuk kriminalisasi atau upaya membungkam pers, melainkan upaya meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran etik yang telah dinyatakan oleh Dewan Pers.
“Sebagai tambahan, setidaknya Kementan selama ini juga telah melakukan monitoring secara intens terhadap pemberitaan Tempo terhadap Kementerian Pertanian dan Mentan, dan diperoleh data bahwa 79 persen berita Tempo memiliki tone negatif dan merugikan citra Kementerian,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































