tirto.id - Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto saat debat perdana yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selasan, 17 Januari menyatakan akan menaikkan tax ratio Indonesia yang saat ini berada di angka 11,5 persen menjadi 16 persen. Prabowo melakukannya untuk menggenjot penerimaan negara sehingga ia dapat menaikkan gaji Aparat Sipil Negara (ASN).
Ide tersebut dilontarkan Prabowo saat menjawab pertanyaan Ira Koesno tentang mewujudkan birokrasi yang bebas dari korupsi dalam debat yang mengulas tema soal hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Saat itu, Ira Koesno, moderator debat pilpres menjelaskan untuk menduduki jabatan publik, seringkali dibutuhkan biaya yang tinggi. Kondisi ini yang bisa memicu perilaku korupsi oleh penyelenggara negara.
Solusi yang ditawarkan Prabowo adalah dengan meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan aparat melalui kenaikan tax ratio. Dalam debat, ia menjelaskan secara rinci target kenaikan tax ratio itu.
“Berkali-kali saya sampaikan di ruang publik. Akar masalahnya adalah penghasilan pegawai negeri dan birokrat itu kurang. Tidak realistis. Kalau memimpin pemerintahan, saya akan perbaiki kualitas hidup dengan realistis. Uangnya dari mana? Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang di [angka] 10 persen,” kata Prabowo.
Pernyataan Prabowo tentu ada benarnya. Sebab, tax ratio di angka 16 persen bukanlah hal baru lantaran telah lama direkomendasikan oleh lembaga internasional, seperti World Bank dan IMF.
Apalagi kinerja tax ratio selama ini dalam tren terus menurun, setidaknya sejak 2012. Dari sebelumnya 11,36 persen turun menjadi 10,75 persen pada 2015. Lalu, turun lagi menjadi 10,36 persen, dan naik tipis ke 10,8 persen pada 2017.
Berdasarkan data Bank Dunia, kinerja rasio pajak Indonesia juga menjadi salah satu yang terendah di dunia. Angkanya bahkan paling rendah jika dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 15-16 persen dari PDB.
Misalnya, rasio pajak Malaysia pada 2016 sebesar 13,8 persen, Thailand 15,5 persen, dan Filipina 13,7 persen. Gara-gara rasio pajak Indonesia yang rendah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sempat malu. Sebab, standar rasio pajak di suatu negara yang pantas adalah 15 persen.
Karena itu, Kementerian Keuangan pun menetapkan target 15 persen rasio pajak untuk dicapai pada tahun 2020. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan kenaikan tarif pajak secara gradual tanpa mengejutkan masyarakat.
Mungkinkah Tax Ratio Naik Jadi 16 Persen?
Ekonom cum Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo mengatakan jika peningkatan rasio pajak sebesar 16 persen seperti yang ditawarkan Prabowo merupakan pekerjaan yang berat.
Namun, agar tidak mengulangi kesalahan petahana, Dradjad mengatakan hal itu akan dilakukan dengan terlebih dahulu membenahi basis pajak Indonesia, terutama dalam hal kesadaran dan ketaatan wajib pajak yang rendah.
Strateginya, kata politikus PAN ini, pasangan Prabowo-Sandi akan melakukan pengurangan tarif pajak.
Drajad merujuk pada konsep Kurva Laffer dari observasi Ibnu Khaldun yang menyatakan penerimaan perpajakkan besar karena tarif rendah dan sebaliknya. Namun, Drajad lebih suka menyebutnya sebagai tarif pajak yang kompetitif dari perhitungan tarif optimal.
Alasan ini, kata Drajad, juga menjelaskan mengapa konsep Sandiaga Uno untuk menurunkan tarif pajak bagi pribadi hingga UMKM tidak bertentangan dengan kepentingan meningkatkan tax ratio.
“Kalau tarif pajak rendah, mereka akan malu kok masih ngemplang pajak. Buat apa menyogok lagi? Kalau tarif pajak kompetitif, perusahaan yang memindahkan keuntungan ke luar negeri akan rugi,” kata Drajad saat dihubungi reporter Tirto.
Sebaliknya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN( Jokowi-Ma'ruf, Jhony G Plate menampik bila tax ratio pemerintah saat ini disebut rendah. Ia mengatakan penerimaan pajak dari 2014 ke 2018 telah meningkat sebanyak 20 persen.
Menurut Jhony rendahnay rasio pajak lebih disebabkan karena kenaikan penerimaan pajak yang lebih rendah dibanding kenaikan PDB. Sebab, kata anggota Komisi XI DPR RI ini, tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB.
“Jadi jangan seenaknya ngomong tax ratio 16 persen. Kami juga senang kalau bisa menaikkan ke angka itu. Tapi harus rasional. Kami akan mengusahakan peningkatan PDB seimbang dengan penerimaan pajak,” kata politikus Nasdem ini.
Lagi pula, kata Jhony, saat ini penerimaan pajak pemerintah sudah semakin baik. Sebab, hal itu didukung reformasi pajak melalui kehadiran tax amnesty dan Automatic Exchange of Information (AEOI). Ia mengklaim kedua program itu telah berhasil meningkatkan basis pajak saat ini.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai sistem perpajakan Indonesia tidak dapat disederhanakan dengan konsep perhitungan tarif optimal.
Sebab, kata Yustinus, setiap orang menerima pengurangan dan insentif yang telah ditetapkan pemerintah sehingga tarifnya pun berbeda-beda.
Selain itu, Yustinus menilai tarif pajak Indonesia dibanding negara lain tergolong masuk akal. Belum lagi, penurunan tarif tidak selalu diikuti dengan kenaikan tax ratio.
“Secara empirik tidak bisa dicari korelasi apakah tarif pajak turun, akan ada kenaikan pajak. Di Indonesia juga perlu diuji. Waktu 2009 kita turunkan tarif PPh, malah tax ratio-nya turun,” kata Yustinus.
Yustinus juga membenarkan bila kue penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi hasil PDB. Namun, ia menyoroti hal itu sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah menggenjot perekonomian yang tengah stagnan.
“Pemeirntah, kan, obral insentif supaya ekonomi maju. Jadi tidak heran mengorbankan pajak juga,” kata Yustinus.
Terkait reformasi perpajakan, Yustinus mengatakan bila tingkat kepatuhan pajak mengalami peningkatan lantaran membaiknya kesadaran masyarakat dan administrasi.
Namun, Yustinus menganggap kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak dapat diklaim begitu saja sebagai keberhasilan.
“Jokowi dengan JK dan Ma’aruf itu beda. Apa yang sedang dilakukan harus terus dievaluasi dan dikritik, meskipun Jokowi pegang kekuasaan,” kata Yustinus.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz