Menuju konten utama

Tapak Kaki Baduy

Kulit telapak kaki itu menebal di hampir semua bagian. Berbeda dengan telapak kaki rata-rata manusia yang kerap memakai sandal atau sepatu. Bagian yang keras biasanya hanya di sekitar tumit dan di bawah jempol belakang.

Tapak Kaki Baduy
Di kampung Kanekes atau yang dikenal dengan Baduy, sedang musim durian. Aldi (25) dan Komong (8), warga Baduy Dalam, memulung durian yang jatuh di tepian jalan, sekitar hutan.

Adat Baduy Dalam atau Urang Tangtu memiliki konsep yang berbeda soal kepemilikan. Meski pohon durian tumbuh di halaman sendiri, namun bila buahnya jatuh, ia bisa menjadi milik siapa saja yang menemukan.

Pemilik lahan bahkan belum tentu pemilik pohon yang tumbuh di atasnya. Sebagai tanah adat, sepetak ladang atau huma di Baduy bisa dipindahtangankan ke orang lain, misalnya, bila pengelola sebelumnya meninggal dunia. Tanah itu tidak diwariskan kepada anaknya. Anak yang telah cukup dewasa, akan mendapatkan alokasi tanah lain yang diatur melalui musyawarah tetua adat.

Tapi pohon yang tumbuh di atas tanah itu, dapat diwariskan karena pengelola tanah sebelumnya lah yang menanam. “Saya diwarisi 40 pohon. Tapi tersebar di berbagai tempat,” kata Sapri (49), warga Baduy Dalam yang juga ayah Aldi dan Komong. Ia bercerita tentang konsep kepemilikan pohon dan lahan sembari menunjukkan sebatang pohon durian di tepi jalan setapak, namun termasuk jalur utama keluar masuk wilayah Baduy Dalam. “Semua orang sudah hafal di mana saja pohon-pohon mereka,” pungkasnya.

Aturan sejenis yang ditemukan tim Ekspedisi Indonesia Biru adalah di Desa Tenganan Pegringsingan, di Kabupaten Karangasem, Bali. Pemilik pohon, belum tentu pemilik buah yang jatuh secara alami namun ditemukan oleh orang lain. Konsep kepemilikan seperti ini menyiratkan pesan bahwa seseorang tidak perlu menumpuk banyak aset bila ia memang tidak mampu mengurus atau menjaganya. Ini adalah bagian dari prinsip mengambil secukupnya dari alam.

Namun belakangan, seiring banyaknya orang luar yang mencari durian jatuh di wilayah Baduy Dalam, buah-buah durian diikat di pohonnya, termasuk milik keluarga Sapri. Maklum pasangan Sapri dan Saenah adalah keluarga besar dengan delapan anak.

Pendidikan Baduy

Dari kedelapan anak Sapri, tak ada seorang pun yang mengenyam pendidikan formal karena pantangan adat. “Menurut nenek moyang kami, orang Baduy tidak perlu pinter. Kalau pinter cenderung memperdaya orang,” tuturnya.

Menurut catatan fotografer senior, Don Hasman, dalam bukunya “Urang Kanekes”, komunitas adat Baduy Dalam memiliki sistem pendidikan yang mengelompokkan anak-anak menjadi dua kategori. Kategori pertama berusia 7-16 tahun, dan kedua, usia 17 tahun ke atas. Mereka akan dikumpulkan secara rutin untuk menerima pelajaran tentang aturan-aturan adat tentang apa yang boleh dan menjadi pantangan sebagai warga Baduy Dalam.

“Kalau tidak bisa membaca dan menulis tidak apa-apa, tetapi kami ajarkan kepada anak-anak tentang berhitung,” tambah Sapri. Menurutnya, hal paling penting dalam sistem pendidikan Baduy adalah bagaimana agar anak-anak mereka mengerti sistem pertanian dan pengetahuan tentang tanam-tanaman, sehingga kelak dapat menghidupi dirinya sendiri.

Apalagi, mereka dapat membuktikan bahwa sekolah formal dan pendidikan tidak selalu sama. Maang yang baru berusia tiga tahun, telah dididik mengumpulkan sampah plastik yang oleh keluarga Sapri dianggap ancaman bagi tanah dan tanaman. Di rumah ladang mereka (saung huma), ada karung khusus sampah plastik.

Inilah konsep memilah sampah sejak di rumah tangga yang bahkan tidak terjadi di keluarga-keluarga kota besar.

Telapak Kaki

Pendidikan untuk mempertahankan adat seperti pantangan memakai alas kaki juga diwariskan. Tim Ekspedisi Indonesia Biru meminta izin menyentuh telapak kaki Aldi dan Sapri. Kulit telapak kaki itu menebal di hampir semua bagian. Berbeda dengan telapak kaki rata-rata manusia yang kerap memakai sandal atau sepatu. Bagian yang keras biasanya hanya di sekitar tumit dan di bawah jempol belakang.

“Ini kalau kena aspal bisa tipis juga,” kata Aldi berseloroh. Ia telah empat kali berjalan kaki ke Jakarta, melintasi aspal panas sepanjang 135 kilometer. Menyambut seloroh anaknya, Sapri yang telapak kakinya lebih lunak dimakan usia, tak mau ketinggalan, “Kalau ini kena paku, paling pakunya yang bengkok”. Sebab mereka kini tidak hanya melintasi jalanan tanah yang lembab juga kadang berjalan di atas aspal panas.

Usai panen, antara bulan Juli dan Agustus, warga Baduy Dalam kerap melakukan perjalanan selama tiga atau empat hari ke ibukota Negara untuk mengantarkan pesanan madu hutan. Madu-madu itu dipesan oleh orang-orang yang pernah singgah di kampung mereka melalui telepon genggang yang dititipkan di perkampungan Baduy Luar.

Begitu halnya dengan botol-botol madu yang dijual 100 ribu per buah. Selama perjalanan, botol-botol itu dititipkan kepada warga Baduy Luar yang bisa menggunakan alat transportasi.

Di Jakarta, mereka tetap berjalan dan tanpa alas kaki. Seperti siang itu di bulan Agustus 2015, Sapri bersama Aldi, Asep, dan seorang keponakannya, berjalan dari kawasan Jembatan Lima di Jakarta Barat dengan tujuan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur yang berjarak 20 kilometer. Jarak itu ditempuh selama empat jam.

Tim Ekspedisi Indonesia Biru sendiri tidak ikut memfilmkan perjalanan itu. Sebab dari Baduy di bulan Januari 2015, mereka melanjutkan perjalanan ke Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat.

Tempat di mana, swasembada pangan dicapai justru tanpa menggunakan metode dan teknik pertanian modern. (bersambung)
Baca juga artikel terkait VIDEO - TIRTO atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah