tirto.id - Tak ada atlet seperti Lalu Muhammad Zohri dalam sejarah atletik Indonesia. Ia masih sangat muda, muncul dari antah berantah, tapi terus-terusan bikin prestasi mengesankan.
Dalam final lari 100 meter Kejuaraan Dunia IAAF U-20 2018 lalu, Zohri start dari lane terluar (jalur kedelapan). Karena lane itu biasanya ditempati oleh pelari yang tidak diunggulkan, komentator pertandingan menilai bahwa ia hanyalah “satu lagi pelari lain” yang ikut laga final. Menurutnya, Zohri tak akan menang. Penilaian sang komentator pun didukung oleh sejarah: dalam kejuaraan dunia lari 100 meter, belum ada satu pun sprinter Indonesia yang berhasil finis di posisi paling depan.
Namun, Zohri, yang saat itu masih berusia 18 tahun, ternyata mampu berlari luar biasa cepat. Di luar dugaan kecepatan Zohri bahkan menembus batas-batas prediksi sekaligus menorehkan catatan sejarah. Dua sprinter unggulan asal Amerika, Anthony Shwartz dan Eric Harrison, tak mampu mengejarnya. Ia pun finis di posisi paling depan.
Sesaat setelah ZohrI mencapai garis finis, seakan tak percaya, komentator pertandingan pun berteriak, “Dari sisi luar, dalam sejarah final Kejuaraan Dunia, Zohri menciptakan cerita besar untuk Indonesia. 10.19 detik. Zohri menjadi juara dunia!”
Sekitar satu tahun berselang, dalam final lari 100 meter Golden Grand Prix Osaka 2019, Zohri kembali bikin sensasi. Dalam kejuaraan yang juga menjadi ajang kualifikasi Olimpiade 2020 itu, ia memang hanya mampu finis di urutan ketiga, di bawah Justlin Gatlin (10 detik) serta Kiryu Yoshihide (10,1 detik). Namun, sekali lagi, catatan waktu Zohri ternyata kelewat dahsyat: ia menembus waktu 10,03 detik.
Catatan waktu Zohri itu tentu mengandung banyak arti. Karenanya ia mampu lolos ke Olimpiade Tokyo 2020 yang batas minimum kecepatannya mencapai 10,05 detik. Sebab itu pula ia juga dinobatkan sebagai sprinter paling kencang di Asia Tenggara. Saat melihat tren bagus Zohri belakangan ini, satu pertanyaan penting lantas muncul: apakah Zohri akan menjadi sprinter Indonesia pertama yang mampu menembus waktu kurang dari 10 detik dalam kejuaraan lari 100 meter?
Ciri Sprinter Kelas Dunia
Menurut analisis Jim Caple dalam “The Perfect 100” yang dimuat di ESPN, kecepatan ternyata bukan satu-satunya penyebab seorang sprinter bisa memenangkan lomba lari 100 meter. Ada faktor-faktor lain yang juga patut diperhatikan, seperti bagaimana para sprinter memulai start, tindakan yang sebaiknya diambil dalam 10 meter pertama, hingga bagaimana reaksi para sprinter saat berada di 30 meter terakhir menjelang finis.
“Dengarkan suara tembakan,” kata English Gardner, sprinter perempuan andalan Amerika, soal hal terpenting dalam start. “Tidak ada hal lain yang lebih penting daripada itu. Anda tak akan bisa berbuat apa-apa sebelum pistol berbunyi.”
Tentang 10 meter pertama, Justin Gatlin mengatakan, “Jika Anda berpikir, ‘Apakah jarak tanganku terlalu lebar? Atau, apakah tanganku terlalu berdekatan?’ Anda akan langsung kalah. Anda harus percaya dengan insting Anda. Seperti saat Anda berkedip atau sedang bernapas.”
Caple menambahkan bahwa di antara tahap-tahap tersebut, salah satu tahap yang paling krusial adalah ketika sprinter mencapai jarak 50 meter. Dalam jarak tersebut, para sprinter biasanya sudah mencapai gigi empat, bersiap meledakkan kecepatan mereka hingga 10-20 meter ke depan, sebelum mulai mengalami penurunan kecepatan pada jarak 30 meter menjelang finis.
Pada tahap itu, kecepatan lagi-lagi bukan satu-satunya faktor penentu; ia harus diimbangi dengan jangkauan kaki yang panjang.
Menurut Alan Nevill, seorang profesor dari Universitas Wolverhampton yang pernah meneliti perkembangan tubuh para sprinter, seorang sprinter dengan jangkauan kaki yang lebih panjang setidaknya memiliki dua keuntungan. Pertama, ia bisa mempertahankan kecepatannya lebih lama. Kedua, dibandingkan dengan para sprinter dengan jangkauan kaki yang lebih pendek, mereka juga mengalami penurunan kecepatan lebih lama.
Setidaknya apa yang dilakukan sprinter asal Jamaika Usain Bolt saat memenangi nomor lari 100 meter dalam Kejuaran Dunia Atletik Berlin 2009 bisa memperkuat teori Nevill. Kala itu, hingga 40 meter pertama, Bolt yang jangkauan kakinya hampir mencapai 2,5 meter masih berjarak amat dekat dengan Tyson Gay, sprinter asal Amerika Serikat. Namun setelah pertengahan lomba, karena jangkauan kaki yang lebih panjang, Bolt kemudian menjauh. Akhirnya ia pun mampu menjadi pemenang sekaligus mencatatkan rekor dunia lari 100 meter: ia finis dalam waktu 9,58 detik.
Karena biasanya mempunyai jangkauan kaki yang lebih pendek, sprinter-sprinter Asia lantas kesulitan menembus jajaran elite dunia. Hal ini dapat dilihat dari para sprinter yang mampu menembus waktu di bawah 10 detik. Dari 1968 hingga 2014 lalu ada 94 sprinter yang mampu mencatatkan rekor tersebut, tapi tak ada satu pun yang lahir Asia.
Walhasil, banyak sprinter Asia yang percaya stereotip yang bermunculan dalam jagat lari 100 meter, bahwa lari 100 meter adalah milik “orang-orang Afrika Barat” atau “orang-orang Jamaika”. Namun, pada tahun 2015 lalu, Su Bingtian, sprinter asal Cina, berhasil membawa angin segar untuk para sprinter Asia. Dalam kejuaraan lari 100 meter di Oregon, Amerika, ia mampu finis dalam waktu 9,99 detik.
Kok bisa?
Belajar dari Su Bingtian
Su Bungtian mulai mencuri perhatian ketika ia berhasil memecahkan rekor lari 100 meter di Cina pada 2011 lalu. Kala itu ia mampu menembus waktu 10,16 detik. Namun, setelah mengalami kegagalan dalam Olimpiade 2012 di mana ia hanya mampu menembus waktu 10,19 detik, ia lantas berpikir ada yang salah dengan teknik larinya.
“Aku sadar dapat berlari sangat cepat dalam 60 meter pertama tapi tidak mampu mempertahankan kecepatan itu hingga akhir,” tutur Su. “Jadi aku mencari cara agar dapat berlari cepat dalam waktu yang lama. Aku lantas berpikir bahwa aku harus mengubah langkah kakiku.”
Su dan pelatih kemudian menjajal idenya itu. Jika semula terbiasa memulai berlari dengan kaki kanan, kini ia menggantinya dengan kaki kiri. Alasannya, menurut mereka, perubahan itu bisa memaksimalkan kecepatannya dalam 60 meter pertama, sehingga tak begitu keteteran pada akhir lomba.
Semula perubahan itu memang tampak sulit untuk dilakukan. Bahkan saat mencobanya dalam kejuaraan lari 60 meter sekitar tiga tahun setelahnya, Su merasa bahwa idenya itu justru akan membuatnya mengalami kegagalan. Dalam kejuaraan itu, Su hanya mampu menembus waktu 6,71 detik, sementara rekor terbaiknya bisa mencapai 6,55 detik.
“Aku ngeri,” kata Su. “Aku sampai meragukan keputusanku, juga meragukan diriku sendiri.”
Meski demikian, Su tak patah semangat. Su terus mencoba memperbaiki teknik barunya itu hingga akhirnya mampu menembus waktu 9,99 detik dalam lomba lari 100 meter di Oregon. Setelah itu, kecepatan Su ternyata semakin menjadi-jadi: saat ia menang dalam kejuaran lari 100 meter di Madrid, Spanyol, tahun 2018 lalu, Su mampu menembus waktu 9,91 detik. Hal itu menjadikannya pelari tercepat di Asia.
Dari sana Zohri jelas dapat belajar dari Su. Seperti Su, ia barangkali kalah jangkauan kaki dari para sprinter dari benua lain. Tapi bukan tak mungkin ia memiliki kelebihan yang dapat dimaksimalkan. Terlebih lagi, untuk masuk kategori sprinter kelas dunia, Zohri hanya tinggal berjarak 0,5 detik. Dan ada satu hal penting yang harus diingat: Zohri saat ini belum genap berusia 19 tahun. Ketika mampu masuk jajaran elit dunia pada tahun 2015 lalu, Su sudah berusia 24 tahun.
Editor: Windu Jusuf