tirto.id - Afghanistan menutup perjalanan kompetisi Piala Asia Kriket 2018 yang diselenggarakan di UEA September silam dengan baik. Kendati tak mampu lolos ke babak selanjutnya, mereka tampil dengan tekad yang luar biasa dan meninggalkan jejak yang membanggakan para pendukungnya.
Seperti diwartakan India Today, Afghanistan menjadi tim terakhir yang tersingkir usai kalah melawan Bangladesh. Sebelumnya, mereka sempat menduduki klasemen Grup A. Namun, dalam dua pertandingan pamungkas, Afghanistan mesti menyerah kepada Pakistan dan Bangladesh.
Bagi tim yang dipimpin Asghar Afghan ini, pencapaian di Piala Asia 2018 bisa dikata mengesankan. Pasalnya, mereka bukan nama besar dalam olahraga kriket dan debut pertandingan internasional mereka baru terjadi pada 2009.
Mekar di Antara Taliban
“Sekarang ini [kriket] sangat populer. Anak-anak muda menyukainya dan mendukung tim nasional,” kata Mohammad Nabi Eisakhil, salah seorang pemain kriket, kepada CNN pada 2013. “Ketika kami masih anak-anak, kriket bukan apa-apa. Saat ini, di Afghanistan, kriket didukung. Semua orang suka dengan pemain kriket kami.”
Masyarakat Afghanistan memang sedang demam kriket.
Dalam laporan berjudul “How Afghanistan Fell in Love with Cricket” yang diterbitkan Al Jazeera (2018), Shereena Qazi menjelaskan bahwa kriket tergolong jenis olahraga baru di Afghanistan. Permainan ini dibawa para pengungsi yang pernah tinggal di Pakistan pada dekade 1990an saat terjadi invasi Uni Soviet. Setelah perang reda, mereka pun pulang dan membawa kriket.
Namun, kriket—dan olahraga lain seperti sepakbola—sempat dilarang sejak Taliban berkuasa pada 1996. Alasannya: kriket dinilai mengganggu pengajaran agama. Pada 2000, Taliban mencabut larangan kriket dan menjadikannya satu-satunya olahraga yang boleh dimainkan.
Kriket makin berkembang tatkala Taliban berhasil digulingkan oleh pasukan AS pada 2001. Tak lama setelahnya, tim nasional kriket Afghanistan dibentuk. Di tahun yang sama, Dewan Kriket Internasional (ICC)—badan global yang mengatur kriket—memberikan status “afiliasi” kepada Dewan Kriket Afghanistan.
Olahraga ini sangat populer di kawasan timur Afghanistan, yang masyarakatnya, catat Qazi, “menikmati kriket dengan antusiasme tiada tara.” Anak-anak muda yang tumbuh di sekitar Peshawar pun gandrung kriket. Pembinaan berjalan maju, bibit unggul bermunculan, dan klub profesional perlahan lahir.
Dalam “Cricket in Afghanistan” yang dipublikasikan The Diplomat (2015), Grant Wyeth mengatakan bahwa pesatnya perkembangan kriket di Afghanistan bisa dilihat dari banyaknya pemain dari berbagai daerah yang masuk tim nasional. Mulanya, timnas kriket Afghanistan hanya diisi orang-orang asal kamp pengungsi di Pakistan. Setelah kejatuhan Taliban, pemain dari Tajik, Uzbek, Hazara, Pashai, dan Nuristani satu per satu mulai masuk.
Di level usia muda, timnas kriket Afghanistan punya daya tarung yang militan. Pada Piala Dunia Kriket U-19 2014, misalnya, timnas kriket junior Afghanistan sukses duduk di peringkat 7. Mereka bikin kejutan dengan mengalahkan tim raksasa macam Australia.
Pemandangan tak jauh beda juga bisa dilihat dari timnas senior. Mereka hanya butuh waktu satu dekade untuk naik tingkat, dari Divisi 5 struktur kriket dunia (2008) ke status sebagai anggota tetap di Dewan Kriket Internasional (2017). Afghanistan juga rencananya bakal menyelenggarakan kompetisi profesionalnya sendiri pada Oktober ini di Sharjah Cricket Stadium.
Segala prestasi itu tak bisa dilepaskan dari andil pemerintah yang konsisten mempopulerkan kriket ke khalayak ramai, dengan cara mendatangi sekolah-sekolah, membikin kurikulum kriket, memperbaiki fasilitas, hingga mendorong pembinaan calon atlet.
“Salah satu alasan utama mengapa timnas kami mulai bisa bertanding dengan baik adalah karena pemerintah Afghanistan serius menangani kriket,” kata Adro Gul Stanikzai, mantan pelatih kriket di Nangarhar Cricket Academy kepada Al Jazeera. “Tim itu kemudian didorong oleh cinta dan dukungan yang mereka dapatkan dari warga Afghanistan. Di seantero negeri, ketika Afghanistan bermain, semua orang berdoa agar mereka menang.”
Meski begitu, bukan berarti perkembangan kriket senantiasa mulus. Kendala utamanya adalah jejak Taliban yang masih terasa di sekitar Afghanistan. Mei silam, serangkaian ledakan bom menyasar pertandingan kriket di stadion Spinghar yang berlokasi di Provinsi Nangarhar. Akibatnya delapan orang tewas. Pelaku teror diduga kuat berafiliasi dengan Taliban. Namun, Taliban, mengutip Al Jazeera, segera mengirim klarifikasi yang menyatakan bahwa mereka “tidak terlibat dalam serangan itu.”
Pemerintah Afghanistan juga mesti berupaya keras untuk menghilangkan pengaruh Taliban di Jalalabad, sebuah daerah yang punya peran penting sebagai sentra pembinaan atlet muda kriket. Apabila pemerintah tak punya solusi untuk mengatasi pengaruh Taliban di sana, para atlet muda ini dikhawatirkan justru bergabung dengan Taliban dan sempalan-sempalannya.
“Tentu tidak mudah. Kami harus berjuang melalui banyak tantangan, terutama karena perang yang bertahun-tahun berlangsung di negara kami,” ujar Sarfaraz, atlet kriket muda dari Kunar.
Tak mudah, memang. Tapi, bagi seluruh masyarakat Afghanistan, kriket tetap menjaga harapan itu.
Di Asia Selatan, Kriket adalah Optimisme
Kehadiran kriket di Asia, khususnya kawasan selatan, tak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Olahraga ini dibawa masuk Inggris ke Asia melalui India. Sejarah mencatat, pertandingan kriket pertama di Asia terjadi antara tentara Kerajaan Inggris melawan pasukan sepoy pada Maret 1845. Popularitas kriket meroket ketika Bombay Quadrangle, turnamen yang mempertemukan orang-orang Bombay, Hindu, Muslim, dan Parsi, diselenggarakan pada abad ke-20.
Pada 1932, kriket makin punya pamor lebih dari sekadar olahraga. Saat itu, tim kriket India diundang bertanding di Inggris. Pertandingan antara “tuan” dan “yang dijajah” ini ditunggu-tunggu masyarakat setempat.
Benar saja. Sekitar 24 ribu orang, termasuk Raja Inggris, turut hadir di lapangan. Antusiasme tersebut ditangkap oleh koran London Evening Standard. Mereka menulis: “Tidak ada politik, tidak ada kasta, hanya kriket. Belum pernah ada tim seperti India ketika 18 pemain di dalamnya berbicara dengan 10 bahasa dan dipisahkan oleh lima kasta berbeda.”
Banyak sejarawan mengakui bahwa pertandingan hari itu berdampak besar terhadap perjuangan kemerdekaan di India dan mendorong semangat kebangsaan di wilayah koloni. Tak hanya itu, kriket juga dipandang mampu mengatasi hambatan sosial seperti perbedaan identitas dan etnis di Asia Selatan.
Peran itu terus berlanjut usai kolonialisme berakhir. Roshni Chakraborty dalam “Cricket, Diplomacy and Nationalism in South Asia” yang diterbitkan Harvard International Review (2013) menjelaskan, di Sri Lanka, kriket digunakan sebagai pelumas sosial di tengah konflik Perang Sipil yang berlangsung lebih dari dua dekade.
Pada Piala Dunia Kriket 2011, misalnya, seluruh masyarakat Sri Lanka—tak peduli apa latar belakangnya—mendukung timnas mereka bertanding di laga final melawan India. Sejenak, mereka menyingkirkan rasa takut dan mengunggah slogan-slogan pemompa semangat di media sosial.
Empat tahun sebelumnya, kelompok militan Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE) mengumumkan gencatan senjata dengan pemerintah Sri Lanka selama hajatan Piala Dunia Kriket. Gencatan senjata ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk duduk di sofa keluarga dan menyaksikan timnas kebanggaannya bertanding.
Di Nepal, kriket jadi obat pelipur lara ketika gempa berkekuatan 7,8 SR menewaskan sedikitnya 9 ribu orang, melukai 23 ribu lainnya, dan meratakan petak luas negara Himalaya pada 2011 lalu. Lolosnya tim Nepal dalam babak kualifikasi Piala Dunia Kriket turut mengembalikan optimisme warga Nepal waktu itu.
Kriket juga berperan sebagai alat diplomasi ketika hubungan India dan Pakistan mendidih. Tercatat, dua pimpinan negara beberapa kali menghadiri pertandingan kriket India-Pakistan guna meredam tensi yang menyelimuti India dan Pakistan. Contohnya saat Pervez Musharraf, Perdana Menteri Pakistan, mengunjungi India untuk sebuah pertandingan persahabatan pada 2005.
Kriket memang memeluk siapapun yang mencintainya.
Editor: Windu Jusuf