Menuju konten utama

Tanah Air dan Semen

Pegunungan Kendeng Utara di Jawa Tengah membentang di lima kabupaten; Kudus, Pati, Rembang, Grobogan dan Blora. Pegunungan Karst ini menyediakan semua bahan utama yang dibutuhkan untuk industri semen dari batu gamping, gypsum, pasir kuarsa dan tanah liat. Kini ada empat industri semen yang memasuki tahap eksplorasi.

Tanah Air dan Semen
Gunretno (46) mengarahkan kamera telepon genggamnya ke wajah seorang pria yang menuntun sepeda tua. Pria itu sama sekali tak terganggu. Ia langsung terlibat obralan bersama Gun dan tiga orang lainnya. Lokasinya di tapal batas areal penambangan sebuah pabrik semen, di Desa Koro, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

“Dilarang Masuk Area Tambang PT Semen Indonesia Tanpa Izin,” tulis sebuah peringatan yang dipahat di tugu bersemen setinggi dua meter.

Siang itu, di akhir Januari 2015, Gunretno ditemani Joko Prianto (32) berkunjung ke Tuban. Gunretno adalah petani asal Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sedangkan Prin adalah petani asal Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Keduanya pernah dan dan sedang bersengketa dengan pabrik semen.

Mereka menempuh tiga jam perjalanan untuk sampai di Desa Koro, Tuban. Di sini, 20 tahun lalu, sebuah pabrik semen dari Gresik mulai beroperasi.

Penjaga portal areal tambang itu adalah seorang pria berusia 70-an tahunan yang digaji 750 ribu rupiah per bulan. Tahun 1984, ia mengaku telah melepas tanahnya seluas 1,5 hektar untuk penambangan semen.

“Waktu itu ya sebenarnya saya terpaksa, karena ditakut-takuti tidak akan dikasih jalan menuju lahan. Lha kalau tidak ada jalan, terus mau lewat mana. Ya, sudah akhirnya semua dijual,” katanya dalam bahasa Jawa, mengenang peristiwa 30 tahun silam.

Saat itu, tanahnya dihargai 600 rupiah per meter persegi.

Pria kedua adalah seorang pemuda lulusan SD yang baru selesai mengumpulkan daun jagung untuk pakan ternak.

“Dulu dijanjikan kerja, tapi nyatanya kami sekarang tidak bisa bekerja karena alasan ijazah. Zaman itu (Orde Baru) siapa yang berani bilang tidak, Mas,” tuturnya.

Gunretno dan Prin tekun menyimak. Kamera video di teleponnya tetap merekam.

Pria ketiga yang baru bergabung, memperkenalkan diri bernama Gunomat. Ia tak lebih muda dari pria pertama.

“Tanah saya sudah habis. Pelan-pelan dijual oleh sembilan anak saya. Sekarang sudah tidak punya apa-apa. Uangnya dibelikan sepeda motor. Barang seperti itu, ya cepat rusak. Sekarang tidak jadi apa-apa,” paparnya dalam Jawa.

Ketiga pria itu makin panjang bertutur. Termasuk dampak ledakan dinamit yang merusak genting dan lantai rumah warga.

“Janji mendapat pekerjaan tidak ditepati. Tanah pertanian sudah kadung dijual. Belum lagi polusi dan rumah-rumah yang retak akibat ledakan dan tidak mendapat kompensasi. Kami tidak ingin semua itu terjadi di Pati dan Rembang,” kata Gun menyimpulkan.

Sementara itu di Rembang, Prin didapuk berbicara di hadapan seratusan warga yang setiap Jumat malam melakukan pertemuan rutin selama proses persidangan di PTUN. Kaum pria dan perempuan membawa anak-anak mereka dalam pertemuan hingga larut malam.

“Kita harus saling menguatkan. Perjuangan ini sudah tinggal sejengkal lagi,” katanya.

Joko Prianto, lelaki 32 tahun itu sendiri mengaku sedang berpisah dengan istrinya karena mertuanya termasuk kelompok warga yang mendukung kehadiran semen, dan telah menjual tanah seluas 1,5 hektar.

Warung Pro Semen

Siang terik memanggang di pusat Desa Tegaldowo. Sebuah warung memajang spanduk besar bertuliskan: “Warung Makan Pro Semen”. Suara warga memang terbelah. Kami mendatangi warung itu untuk mendengarkan versi mereka. Tapi seorang perempuan pemilik warung enggan diwawancarai.

“Saya tidak tahu siapa memasang spanduk itu, Mas,” katanya dalam bahasa Jawa.

“Apakah ibu tahu siapa yang memasangnya, agar bisa kami temui?”

“Wah, saya tidak tahu,” pungkasnya.

Spanduk lain dengan tulisan yang sama juga kami temui di warung lain yang siang itu tutup.

Sementara di pintu pabrik, satu peleton polisi dan satpam siaga berjaga. Tak tampak tentara berpakaian dinas. Salah seorang personel keamanan mengaku sebagai pensiunan Brimob yang pernah ditempatkan di Kelapa Dua, Depok.

Mereka menolak kedatangan kami yang bermaksud meminta izin mengambil gambar dan melakukan wawancara kepada ibu-ibu yang sedang berada di tenda. Permintaan untuk bertemu pihak manajemen dan penanggung jawab lapangan, juga ditolak dengan alasan sedang sibuk dan belum membuat janji.

Meski sedang digugat di PTUN, pabrik berkapasitas 3 juta ton per tahun itu terus dibangun. Yang dipertaruhkan adalah investasi 3,7 triliun rupiah yang sebagian adalah kredit dari Bank Mandiri. Di depan tenda yang berisi selusin perempuan yang sedang protes itu, truk dan alat berat hilir mudik mengejar target operasi tahun 2016.

Dari 900 hektar areal penambangan yang direncanakan, sudah ada sekitar 200 hektar tanah yang berhasil dibebaskan. Dari sisa yang belum berhasil dibeli itu, ada setengah hektar tanah Joko Prianto yang kini sedang belajar dari komunitas Samin.
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah