tirto.id - Anak putus sekolah masih menjadi masalah laten pendidikan di Indonesia. Setiap tahun, masih banyak anak yang tak mampu menyelesaikan sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah pertama, sampai menengah atas. Padahal, Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, persisnya Pasal 6, telah mengamanahkan pendidikan dasar 12 tahun.
Realitas itu ditangkap oleh Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang sempat berkontestasi pada Pilpres 2024 lalu. Dia menyoroti masifnya jumlah anak putus sekolah di jenjang sekolah menengah atas. Setidaknya ada hampir dua juta anak putus sekolah setiap tahunnya di jenjang pendidikan tersebut.
“Masuk SD ada 5,6 juta anak, tapi yang lulus SMA hanya 3,6 juta. Artinya 1,8 juta anak per angkatan hilang di jalan. Kalau didiamkan, setiap tahun akan terus ada 1,8 juta orang tersingkir,” kata Anies dalam acara dialog kebangsaan di Semarang, Rabu (8/10/2025).

Bagi Anies, realitas anak putus sekolah menggambarkan ada yang tidak beres dalam tata kelola pendidikan. Sepatutnya, negara menjamin hak dasar setiap warganya akan akses pendidikan. Dia menekankan lemahnya tata kelola kebijakan berujung pada tersingkirnya jutaan rakyat, yang didominasi golongan ekonomi bawah.
Dari tak terpenuhi hak pendidikan dasar, Anies mewanti-wanti siklus kehidupan anak putus sekolah bakal terjebak dalam lingkar kemiskinan dari generasi ke generasi. “Angka kemiskinan memang menurun, menurun ke anaknya, dan ke anak dari anaknya. (Mereka) mau daftar jadi office boy saja tidak bisa karena tidak punya ijazah SMA,” ujar Anies.
Menukil pangkalan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), angka putus sekolah jenjang SMA/MA/Sederajat tembus 401.745 anak. Ratusan ribu anak ini sempat masuk SMA dan sederajat, tapi tidak sampai lulus. Jumlah itu akumulasi dari periode 2021 sampai 2024. Paling terbanyak pada 2024, yakni 371.942 anak.
Penyebab Utama Putus Sekolah
Pada Juli 2025, Kemendikdasmen mengungkap angka anak putus sekolah di level sekolah menengah kejuruan atau SMK mencapai 9.391 orang. Kementerian membeberkan ada tiga anak-anak putus sekolah: ekonomi, ketersediaan sarana dan prasarana, serta pernikahan dini.
Di depan rapat dengar pendapat Komisi X DPR pada Mei lalu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, mengatakan faktor ekonomi merupakan penyebab utama anak-anak putus sekolah.
Tatang menjabarkan faktor utama putus sekolah tersebut terjadi pada usia yang semakin tinggi. Katanya, semakin tinggi usia anak, maka kemungkinan untuk tidak bersekolah juga menjadi lebih tinggi.
Menurut catatan Kemendikdasmen, faktor penyebab anak tidak sekolah adalah tidak ada biaya (25,55 persen), mencari nafkah atau bekerja (21,64 persen), menikah atau mengurus rumah tangga (14,56 persen), merasa pendidikan sudah cukup (9,77 persen), disabilitas (3,64 persen), sekolah jauh (2,61 persen), dan mengalami perundungan (0,48 persen).
Dari temuan angka putus sekolah, Tatang menyoroti ada kesenjangan ekonomi cukup berarti di level sekolah menengah atas. Sebaliknya, kesenjangan ekonomi di jenjang sekolah dasar dan menengah pertama tidak begitu tajam. “Masih menonjol antara termiskin dan terkaya di tingkat sekolah menengah atas,” ujar dia.

Di masa pemerintahan Prabowo Subianto, program Sekolah Rakyat, yang mulai digulirkan sejak pertengahan Juli 2025, digadang-gadang menjadi solusi menekan tingkat anak putus sekolah. Kementerian Sosial sebagai leading sector program ini mengklaim bahwa sampai awal Oktober ini sudah berdiri 165 Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia.
Sekjen Kemensos Robben Rico mengatakan bahwa program Sekolah Rakyat lahir dari kesadaran atas lambatnya penurunan angka kemiskinan dan tingginya jumlah Anak Tidak Sekolah atau ATS. Dari data yang dihimpun Kemensos, di Jawa Timur saja ada lebih dari 400 ribu anak usia SMA yang tidak menamatkan pendidikan.
“Sebagian besar putus sekolah karena alasan ekonomi. Program Sekolah Rakyat diharapkan menjawab persoalan tersebut melalui pendidikan gratis berasrama yang komprehensif,” kata dia dalam sebuah forum, Rabu (8/10/2025).

Kelanjutan Sekolah Rakyat disebut Presiden Prabowo Subianto bakal diseriuskan lagi dengan membangun 500 sekolah dalam beberapa tahun ke depan. Rencananya, akan dibangun 100 unit sekolah setiap tahunnya. Targetnya, Sekolah Rakyat berdiri di kawasan yang ekonomi masyarakatnya lemah.
Prabowo berambisi bahwa perluasan akses pendidikan bagi masyarakat kalangan ekonomi bawah bakal berdampak pada perubahan status sosial. Dia meyakini pendidikan menjadi kunci seseorang keluar dari kemiskinan. Sehingga, perluasan akses pendidikan tidak sebatas desil 1 dan 2, tapi bakal meluas untuk desil 2 sampai 5.
“Anak-anak yang tadinya mungkin merasa rendah diri karena orang tuanya sangat susah hidupnya kita tarik keluar, kita beri lingkungan yang sebaik-baiknya supaya dia percaya diri dan dia dapat pendidikan yang terbaik yang bisa kita berikan,” kata Prabowo saat mengunjungi Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) Margaguna, Jakarta Selatan, pada Kamis, (11/9/2025).

Sekolah Rakyat Masih Perlu Diuji
Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan klaim solusi Sekolah Rakyat dapat mengentaskan masalah anak putus sekolah termasuk di jenjang menengah atas perlu diuji secara proporsional.
Sebab, pembangunan 100 sekolah setiap tahun dinilai tidak bakal mampu mereduksi berlebih angka putus sekolah. Apalagi, pembangunan sekolah bercampur, tidak hanya berfokus pada level SMA.
Dalam perhitungannya, hanya ada 100.000 siswa setiap tahun yang bercampur jenjang pendidikannya, jika melihat target pemerintah membangun 100 sekolah per tahun. Sehingga masih ada jarak yang cukup jauh untuk memenuhi target pengentasan angka putus sekolah di jenjang SMA yang diklaim Anies tembus 1,8 juta setiap tahunnya.
“Apakah bisa Sekolah Rakyat mengurangi anak putus sekolah, saya bilang bisa, tapi tidak signifikan. Berarti Sekolah Rakyat itu bukan untuk mengatasi anak putus sekolah. Artinya lagi bahwa pemerintah belum punya program khusus mengentaskan masalah anak putus sekolah,” ujar Iman kepada Tirto, Kamis (9/10/2025).

Iman berpendapat bahwa sekolah reguler atau sekolah negeri bisa dimanfaatkan secara betul untuk menekan angka putus sekolah. Sebab, faktor ekonomi yang menjadi masalah anak putus sekolah juga berpangkal dari tata kelola sekolah negeri yang belum komprehensif. Selama ini sekolah negeri belum bisa dikatakan gratis 100 persen bagi siswa dan orang tuanya.
Setiap hari ada ongkos yang mesti ditanggung, seragam yang harus dibeli sampai buku tambahan yang merogoh kocek tidak sedikit. Belum lagi, kata Iman, ada semacam praktik pungutan tidak seharusnya terjadi di lingkungan sekolah negeri seperti dana komite sekolah.
Sehingga, katanya, perbaikan sistem sembari mengalokasikan anggaran yang adil patut dilakoni pemerintah demi menjadikan sekolah negeri sebagai tempat utama anak bangsa mengenyam pendidikan. Perbaikan gedung sekolah pun menjadi vital perannya, termasuk memastikan penambahan kuantitas atau daya tampung sekolah.

Iman mewanti-wanti jangan sampai isu kuantitas sekolah negeri yang sedikit memunculkan persaingan masuk. Akibatnya, anak yang harusnya bisa mendapat hak akses pendidikan gratis, justru terpaksa mengalihkan ke sekolah berbayar dengan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan.
“Artinya mereka terpaksa harus membayar di sekolah swasta sehingga hak mereka tercerabut untuk mendapatkan akses pendidikan yang seharusnya disediakan negara. Ini jadi dosa negara,” ujar Iman.
Sudah saatnya, kata Iman, perlu ada politik anggaran yang berpihak pada perbaikan tata kelola sekolah negeri. Sampai sekarang, dia belum melihat ada kebijakan holistik yang mampu menekan angka anak putus sekolah, terlebih di level SMA. Dia menyoroti anggaran pendidikan justru terserap berlebih untuk program di luar teknis pendidikan, seperti Makan Bergizi Gratis atau MBG.
Adapun dalam postur APBN 2026, alokasi anggaran untuk pendidikan menjadi Rp769,1 triliun dari yang sebelumnya sekitar Rp757,8 triliun. Secara garis besar, jumlah anggaran pendidikan dipangkas sampai Rp223 triliun demi program MBG. Rincian ini merujuk Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yang telah diketok DPR pada September lalu.
“Jadi tambah-tambah tidak ada itikad baik pemerintah untuk menurunkan biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat. Dan angka putus sekolah yang jutaan itu (merujuk pernyataan Anies) kan sebelum anggaran pendidikan dialihkan untuk MBG. Otomatis anak putus sekolah akan meningkat tajam ke depan,” ucapnya.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, juga sepakat bahwa pemerintah perlu memperbaiki tata kelola dan jumlah daya tampung sekolah negeri. Sekolah Rakyat yang jumlahnya kini masih terbatas hanya bisa menjadi opsi alternatif dibanding sekolah negeri yang jumlah dan persebarannya jauh lebih masif.
Apalagi, kata dia, Sekolah Rakyat dibangun di pusat-pusat kota dan kabupaten, alih-alih di daerah-daerah yang tidak ada sekolah atau daerah kekurangan daya tampung sekolah. Oleh karena itu, memunculkan tidak sinkronnya antara kebutuhan anak untuk sekolah dengan kebijakan yang diambil negara.
Ubaid mengingatkan, pemerintah mesti melakoni optimasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN sesuai amanah UUD 1945. Seturut itu, anggaran dipakai demi mengentaskan masalah laten keterbatasan kursi di sekolah negeri seperti jenjang SMA. Pun, sistem jalur masuk sekolah mulai jalur prestasi sampai domisili yang tertuang dalam Permendikdasmen nomor 3/2025 patut ditinjau ulang.
Menurut data BPS, per 2024, jumlah SMA negeri di Indonesia ada 7.113 unit. Sementara itu, jumlah murid SMP baik dari sekolah negeri maupun swasta mencapai 10.103.503 anak di tahun yang sama. Sedangkan, Sekolah Rakyat jenjang SMA saat awal pembukaan pada Juli diklaim telah menampung 3.225 siswa.
Sebagai gambaran, daya tampung SMA negeri di Jawa Barat, misalnya, hanya mampu menyediakan kuota 310.856 bangku untuk 764.138 lulusan SMP dan MTs pada penerimaan siswa baru tahun 2024.
“Sekolah menengah atas jumlah sekolahnya sedikit dan otomatis daya tampung ya juga sempit. Lokasinya ada di pusat kota dan kabupaten. Dan masih banyak kecamatan-kecamatan yang tidak ada sama sekali sekolah. Akibatnya sistem PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) kita menggunakan model seleksi. Jadi ada yang lulus kebagian bangku, dan tidak sedikit pula mereka yang tidak lulus lalu putus sekolah,” kata Ubaid kepada Tirto, Kamis (9/10/2025).
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































