tirto.id - Tak ada kemajuan apapun setelah dua tahun Joko Widodo bicara lantang soal perlunya pemerintah membongkar kasus pembunuhan Munir Said Thalib, yang diracun di udara dalam perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004.
Jokowi menyinggung itu pada 22 September 2016, di depan para pakar hukum seperti Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, Nursyahbani Katjasungkana, dan Chandra Hamzah. Pernyataan Jokowi cukup tegas kala itu, bahwa membongkar kasus Munir adalah salah satu pekerjaan rumah penuntasan kasus pelanggaran HAM.
"PR [pekerjaan rumah] kita adalah pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Munir. Ini juga perlu diselesaikan," kata Jokowi, di Istana Merdeka, dikutip dari Kompas.
Kelompok masyarakat sipil yang terus mendesak pemerintah mengungkap kejahatan HAM masa lalu, termasuk istri Munir, Suciwati, tentu merespons positif. Pengungkapan kasus tersebut tampak tinggal menunggu waktu. Yang bersalah bakal dihukum.
Namun, hanya berselang satu bulan setelah janji manis itu, masalah kembali muncul.
Menteri Sekretaris Negara periode 2009-2014, Sudi Silalahi, mengatakan dokumen asli hasil kerja Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir raib. "Naskah laporan asli sedang ditelusuri keberadaannya," katanya di rumah SBY di Cikeas.
Pada bulan yang sama, Jokowi langsung memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mencari dokumen itu. Namun hingga sekarang tidak jelas kelanjutannya. Meski begitu Jubir Presiden Johan Budi pernah mengonfirmasi kalau salinan dokumen itu telah diterima pihak Istana. Dokumen dikirim lewat kurir.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani, mengatakan faktor dokumen tak lagi relevan dijadikan alasan pengusutan kasus Munir terus-menerus ditunda.
"Kalau mau disebut ini [dokumen asli TPF] tidak ada dan tidak diketahui, itu sama dengan [mengakui kalau] memang ada unsur-unsur kesengajaan agar dokumen ini dianggap hilang," kata Yati di kantornya di Jakarta, Rabu (26/4) kemarin.
Pemerintah bersikeras kalau kasus ini dapat dilanjutkan ketika dokumen asli TPF telah ditemukan. Hal ini pernah dikatakan Menkum HAM Yasonna Laoly, Oktober 2016.
Ada tiga rekomendasi TPF untuk presiden. Pertama, agar presiden RI mengungkap kasus Munir secara tuntas hingga mencapai keadilan hukum. Pemerintah juga diminta untuk dapat menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan intelijen negara. Kedua, TPF juga merekomendasikan kepada presiden untuk memerintahkan Kapolri untuk mengaudit kinerja tim penyidik kasus Munir.
Terakhir, TPF juga merekomendasikan presiden untuk memerintahkan Kalpori agar menyelidiki kemungkinan keterlibatan beberapa elite, termasuk AM Hendropriyono--ketika pembunuhan Munir terjadi sedang menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). TPF menyimpulkan Munir meninggal karena permufakatan jahat antara BIN dan Garuda Indonesia, maskapai penerbangan terakhir yang dipakai Munir.
Tahun Penentuan
Yati menilai, kalau Jokowi masih mau maju jadi presiden, maka pada tahun terakhir kepemimpinannya ia harus buktikan bahwa memang serius menepati janji pada masa kampanye dulu. Mengumumkan hasil penyelidikan TPF ke publik adalah langkah pertama yang tepat.
"Ketika Jokowi tidak berani menyelesaikan kasus Munir karena ada banyak kepentingan para pihak yang ada di sekeliling kekuasaan dia, [maka] Jokowi tidak lebih hanya politisi yang hanya konsen pada upaya menjaga kekuasaan, tapi tindakan atau sikapnya jauh dari harapan keadilan yang diharapkan masyarakat," kata Yati.
Sementara Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, mengatakan kalau terus seperti ini, presiden sama saja turut berkontribusi membuat kejahatan terhadap Munir jadi sempurna--kejahatan yang tak pernah diketahui siapa aktor intelektual di baliknya.
Menurutnya kasus Munir penting diselesaikan bukan hanya agar keluarga mendapat keadilan. Tidak tuntasnya penyelesaian kasus Munir jadi tanda bahwa ada lubang besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Lubang itu yang membuat penyiram penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, tak juga ditemukan.
"Hari ini aktivis sumber daya alam paling rentan [kekerasan], kemudian jurnalis dan aktivis anti korupsi. Itu [kekerasan] buntut dari tidak pernah diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM terkait aktivis HAM," terang Alghif.
Mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan TPF Munir ke publik bisa jadi pintu masuk untuk melihat sejauh mana rekomendasi yang tertuang di dalamnya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.
"Jadi ketahuan celahnya," kata Alghif.
Membuka hasil penyelidikan TPF Munir sendiri memang kewajiban presiden. Hal itu tertulis dalam Penetapan Kesembilan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004 tentang pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Keppres ini bukan produk personal dari Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan institusi presiden.
"Jadi yang membuat presiden, yang mengumumkan presiden terlepas siapa pun presidennya, mau Fahhri Hamzah besok presidennya dia harus mengumumkan karena Keppres ini tidak pernah dicabut," kata Alghif.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu anggota TPF, Usman Hamid, yang kini menjabat direktur Amnesty International Indonesia. Menurutnya salah satu rekomendasi TPF memang laporan mereka harus dibuat terbuka agar dapat diketahui semua orang.
"Dan yang terpenting adalah rekomendasi-rekomendasinya dijalankan," kata Usman.
Jika kasus pembunuhan Munir dibiarkan tak selesai, maka, kata Usman, "sistem peradilan kita tidak akan pernah diperbaiki dan tidak akan mampu menghukum orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM seperti penyiksaan atau penghilangan paksa."
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani