tirto.id - Marodi Yahya Kasani (55), Jumat, pukul 8 pagi sudah bersiap-siap ke Masjidil Haram untuk menunaikan rukun islam ke lima. Ia bersama sang istri Sri Wahyuningsih menggunakan bis untuk sampai ke tujuan yang berjarak sekitar 10 km dari lokasi penginapan.
Setiba di sana, Yahya berpisah dengan sang istri karena lokasi salat berbeda. Sang istri di sebelah kiri makam Ibrahim, sedangkan Yahya di sebelah kanan. "Kami berjanji setelah salat Isya bertemu kembali di tiang 17 untuk pulang bersama ke penginapan," katanya.
Sayangnya, janji tersebut tak terpenuhi. Usai salat Ashar, cuaca di Masjidil Haram memburuk. Badai dan hujan deras melanda lokasi tersebut. Air hujan sampai masuk ke dalam masjid yang dikelilingi alat berat proyek.
Menjelang persiapan salat Magrib, Yahya sempat melihat crane akan jatuh dan menimpa jemaah lainnya. "Saya pikir [lokasinya] jauh. Pikiran saat itu, 'Ya Allah, bagaimana orang di bawah itu?' Begitu jatuh, ada suara [seperti] petir menggelegar luar biasa dan semua jemaah jatuh, termasuk saya," kata Yahya saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (28/2/2017).
Akibat tertimpa crane, kaki kanan jemaah haji kloter 1 Magetan itu patah. "Mengeluarkan darah segar seperti air mancur," katanya.
Kaki kirinya retak dan luka sobek. Saat itu, suasana masjid terasa suram, banyak suara tangisan jemaah meminta pertolongan.
Menurut Yahya, tim medis bergerak lamban dalam mengevakuasi korban. Ia dibopong oleh jemaah lainnya ke tepi masjid dan menunggu tim medis selama satu jam sebelum dibawa menggunakan tandu ke rumah sakit kecil Arab Saudi (semacam puskesmas pembantu). Kemudian, ia dibawa ke Rumah Sakit Al Noor tanpa ditemani sang istri.
Istri Yahya tak tahu bahwa suaminya menjadi salah satu korban crane jatuh. Ia menunggu sang suami sampai Masjidil Haram sepi. Setelah pulang ke penginapan sendirian, Sri baru mengetahui bahwa suaminya berada di Rumah Sakit Al Noor.
"Jam 12 malam saya langsung dioperasi," kata Yahya. Selama 12 hari di rumah sakit, ia sudah melaksanakan dua kali operasi.
Lain Yahya, lain pula Saharmi Umar Passire, jemaah haji kloter 02 Ujung Pandang. Pria 58 tahun itu sedang beritikaf bersama temannya Fahrudin. Ia mengakui tak mengetahui crane tersebut mengenai tempatnya beritikaf.
Akibat kejadian itu, mata sebelah kirinya tak bisa lagi melihat. Menurut dokter di Rumah Sakit Al Noor, Arab Saudi, kornea dan saraf-saraf matanya pecah.
"Mata kiri pecah, bagian kaki sebelah kiri luka berat, di tangan kiri luka-luka," kata Umar.
Zulfitri Zaini, jemaah kloter 03 asal Padang, juga mengalami cacat akibat insiden ini. Kaki kanannya harus diamputasi. Selain itu, pergelangan tangan kiri dan pangkal lengan sebelah kiri mengalami luka sobek cukup dalam, dan pendengarannya pun berkurang.
Zulfitri (58 tahun), pergi menunaikan ibadah haji bertiga dengan rekan sesama guru pada 20 Agustus 2015. Saat kecelakaan, ia sedang menunaikan ibadah salat Ashar bersama temannya di lantai 3 Masjidil Haram. Selain Zulkifli, ada juga Trimurtiali, perempuan asal Solok yang lebih tua darinya juga menjadi korban jatuhnya crane. Jari tangannya harus diamputasi.
Asuransi Jamaah Haji 2015
Pada 2015, seluruh jamaah haji dan petugas haji Indonesia tahun 2015 dilindungi asuransi jiwa lewat PT. Asuransi Jiwa Megalife. Ada 168.800 orang jemaah haji dan 3.194 petugas haji yang dilindungi asuransi ini. Tujuannya adalah memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Umar baru mengetahui ada asuransi bagi korban jatuhnya crane dari Yahya, korban crane asal Magetan, bukan dari Kementerian Agama Kabupaten Sidrap. Ia pun bahkan tak tahu besaran santunan yang seharusnya ia terima.
Pria kelahiran Lautang Salo, 31 Februari 1958 berkisah, mengurus pencairan asuransi itu di kantor Megalife. Ia harus membawa persyaratan yang sudah ditetapkan seperti rekening tabungan haji, KTP, foto terluka, paspor, dll. Setelah persyaratan lengkap, barulah klaim asuransi dicairkan sebesar Rp5,5 juta.
Jika merujuk pada kesepakatan PT. Asuransi Jiwa Megalife dengan pemerintah, ada 36 poin besaran persentase manfaat asuransi haji 2015. Jemaah yang cacat permanen atau cacat sebagian, maksimal mendapatkan Rp18,5 juta. Jemaah yang wafat karena kecelakaan mendapat Rp37 juta, sedangkan jemaah yang meninggal (bukan kecelakaan) mendapatkan Rp18,5 juta.
Dalam poin 16, cacat sebagian karena kecelakaan yang berakibat hilangnya fungsi satu mata diberi 30 persen dari nilai manfaat Rp18,5 juta. Ketentuan ini berarti berlaku bagi Umar yang matanya buta akibat kecelakaan crane. Namun, untuk mendapatkan sejumlah uang itupun tak mudah.
Hal senada juga diungkapkan Era Purnama Sari, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang sekaligus kuasa hukum Zulfitri, korban crane.
Ia mengatakan kliennya mengurus pencairan asuransi ke Kementerian Agama Kabupaten Solok. Sesampai di kantor itu, bukannya dipermudah, Zulfitri diberi persyaratan yang tak mudah: keterangan dari rumah sakit, tempatnya dirawat selama 21 hari.
Syarat itu membuat Zulfitri bingung, sebab jemaah haji yang kembali ke tanah air pada 2 Oktober 2015 ini tak memegang surat dari Rumah Sakit Al Noor, Arab Saudi. Bahkan rekam medisnya saja tak diterima korban.
Guru SMA 1 Talang, Solok ini tak putus asa meskipun dipersulit pihak kementerian. Ia mendatangi Kementerian Agama Kabupaten Solok untuk kedua kalinya. Ia menjelaskan bahwa urusan surat itu ada di tangan Kedutaan Besar Republik Indonesia, bukan korban. Akhirnya, ia pun mendapatkan dana asuransi sebesar Rp7,4 juta.
Besaran manfaat asuransi yang diterima Zulfitri lebih kecil daripada ketentuan. Dalam poin 17, cacat tetap sebagian karena kecelakaan mengakibatkan hilang fungsi satu kaki diberikan 50 persen dari nilai manfaat Rp 18,5 juta. Artinya, Zulfitri berhak mendapat Rp9,25 juta. Itu belum termasuk dengan gangguan pendengarannya.
"Ada teman-temannya [Zulfitri] yang mendapat Rp5 juta, jadi besarnya tidak sama. Intinya, enggak semua dapat segitu. Kalau dengar cerita Zulfitri, belum tentu juga semua dapat," kata Era.
Yang dialami Umar dan Zulfitri tidak dialami Ariadi Putra, anak kedua dari Nurhayati Rasad Usman, jemaah haji asal Padang yang tewas tertimpa crane. Ariadi mendapatkan manfaat penuh asuransi sebesar Rp37 juta setelah menunggu waktu selama 3 bulan. Pria 35 tahun tersebut mengetahui orang tuanya meninggal dari pemimpin haji kloter 04 Padang.
Kepala Seksi Kerjasama Kesehatan dan Perlindungan Jamaah Haji Kementerian Agama, Arian Oktaviansyah membenarkan nilai manfaat yang diterima korban berbeda-beda.
“Ada tolok ukur untuk mendapatkan besaran nilai manfaat. Dalam kontrak dapat sekian persen untuk tangan misalnya, jadi pemberian nilai manfaat tidak sama,” kata Arian saat ditemui wartawan Tirto di Kemenag.
Mengapa uang yang didapat korban amat kecil? Menurut Arian, nilai manfaat kecil karena premi yang disetor ke pihak asuransi hanya Rp50 ribu per jamaah. Jika jamaah haji Indonesia 168.800 orang, maka total dana yang disetor ke pihak asuransi sebesar Rp8,4 miliar.
Sayangnya pada 2015, Arian mendaku Kemenag juga tak tahu jumlah jamaah haji yang mengklaim asuransi ke Megalife.
Oktaviansyah beralasan pihak Megalife belum melaporkan jumlah ahli waris yang mengklaim, juga ahli waris yang menerima klaim dan belum menerima klaim. Padahal, insiden terjadi lebih dari setahun lalu, tapi tidak ada tindak lanjut dari pihak asuransi. Karena itu, pihak Kemenag melayangkan surat kepada asuransi Simas Jiwa di Tanah Abang. Simas Jiwa adalah nama baru dari Asuransi Jiwa Megalife setelah sahamnya dibeli oleh PT. Asuransi Sinarmas sebanyak 50 persen pada Oktober 2015.
“Pejabat Kemenag sudah pernah mendatangi kantor [asuransi], tapi tidak direspons. Dua Minggu lalu, kami layangkan surat pertama sejak saya menjabat 2016, tapi responsnya belum ada sampai sekarang. Kami akan kirim lagi surat, jika tidak ada respons juga, akan kami laporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan,” katanya.
Menagih Janji Raja Salman
Kedatangan Raja Salman Bin Abdul Aziz pada 1-9 Maret ke Indonesia memunculkan banyak harapan, terutama bagi korban jatuhnya crane di Masjidil Haram dua tahun silam. Pada saat itu, Raja Salman berjanji memberikan kompensasi bagi para korban musibah crane sebesar 1 juta riyal atau setara Rp3,5 miliar untuk korban meninggal atau cacat permanen. Korban luka akan diberi 500 riyal atau sekitar Rp1,75 miliar.
Raja Salman juga mengumumkan akan memfasilitasi para korban crane yang belum sempat menunaikan ibadah haji pada tahun 2015 untuk menunaikannya di tahun 2017 atas undangan Kerajaan Arab Saudi.
"Saya minta tolong melalui Kemenag untuk menyampaikan kepada Raja Salman, ingat yang telah dijanjikan kepada korban supaya direalisasikan dan dibuktikan. Saya juga berharap diberangkatkan [ke Arab Saudi] kembali untuk kesempurnaan ibadah haji," kata Umar.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan pemerintah Arab Saudi menyatakan akan segera mencairkan kompensasi bagi korban kecelakaan crane asal Indoensia.
“KBRI Riyadh telah menyampaikan nota tertulis pada tanggal 9 Februari 2017, yang pada intinya menyampaikan bahwa proses verifikasi korban WNI telah selesai dilakukan. Saat ini tinggal menunggu penerbitan cek oleh Kementerian Keuangan,” katanya, Sabtu (4/3/2017).
Menurut Muhammad, pemerintah Arab Saudi telah membentuk tim khusus untuk mempercepat penghitungan jumlah korban kecelakaan crane dari semua negara. Mereka berencana menyerahkan kompensasi itu ke para ahli waris, korban meninggal dunia di Riyadh secara bersamaan.
Harapan korban crane mendapat santunan bukan tanpa alasan. Selama ini, mereka menggunakan dana pribadi untuk biaya perawatan.
“Sampai detik ini belum ada santunan satu sen pun dari pemerintah Arab Saudi. Setelah di Indonesia, biaya perawatan saja menggunakan uang pribadi sebesar Rp10 juta,” kata Umar.
Suami Darmawati Bin Sahibu, korban crane lain, mengatakan ia harus menempuh jarak 180 km dari Kabupaten Sidrap ke Kota Makassar. Hal itu dia lakukan sampai sekarang tanpa santunan dari pemerintah maupun dari pemerintah Arab Saudi.
Hal senada juga diungkapkan Yahya. Ia mengatakan harus membiayai perawatan kakinya yang patah secara rutin selama tujuh bulan. Tak ada keringanan dari pemerintah untuk membantu korban. Untuk biaya operasi pengangkatan pen saja, di Rumah Sakit Madiun, ia harus merogoh kocek Rp20 juta. Belum termasuk biaya obat Rp1,5 juta per Minggu.
Biaya perawatan yang besar juga ditanggung oleh Zulfitri. Setidaknya, selama 2016, korban telah melakukan dua kali operasi. Pertama, operasi pengeluaran pen yang di pasang pada pergelangan tangan kiri korban dan operasi akibat tumbuhnya benjolan di pada bekas luka di bagian lengan korban.
Untuk biaya operasi dan membeli kaki palsu, Zulfitri meminjam dana koperasi SMP Negeri 1 Talang sebanyak Rp30 juta. Ia harus membayar angsuran tersebut Rp1,3 juta per bulan selama 30 bulan. Dengan kondisi seperti itu, sudah seharusnya pemerintah Indonesia mendesak pemerintahan Arab Saudi untuk memenuhi janji dan tanggungjawab pemerintah Arab Saudi.
Era, sebagai pengacara Zulfitri, menuntut pemerintah Indonesia untuk aktif mendesak Pemerintahan Arab Saudi memberikan santunan, asuransi dan ganti kerugian terhadap korban sesegera mungkin demi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban.
"Ini merupakan tanggungjawab Pemerintah Indonesia terhadap warga negaranya, apalagi Pemerintah Indonesia dalam melakukan pengelolaan ibadah haji berkewajiban melayani, melindungi dan memastikan keamanan jemaah haji," katanya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Maulida Sri Handayani