Menuju konten utama

Studi Ungkap Ada Kandungan Plastik di Telur Burung Camar Antartika

“Ini benar-benar tragis. Si burung sudah memiliki kontaminan sejak dalam tahap perkembangannya.”

Studi Ungkap Ada Kandungan Plastik di Telur Burung Camar Antartika
Fulmarus glacialis. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Studi terbaru menunjukkan telur burung camar (Fulmarus glacialis) di laut antartika mengandung senyawa aditif dari plastik. Telur tersebut positif mengandung phthalates yang dapat mengganggu kestabilan hormon. Phthalates atau ftalat adalah zat kimia aditif yang digunakan dalam pembuatan plastik.

Dikutip The Guardian, Jennifer Provencher dari Canadian Wildlife Service mengatakan khawatir dengan penemuan kontaminan dalam burung camar yang hidup di daerah terpencil ini. Burung camar seharusnya tinggal di tempat yang mengandung kandungan limbah plastik yang lebih rendah.

“Ini benar-benar tragis. Si burung sudah memiliki kontaminan sejak dalam tahap perkembangannya,” ucap Provenceher pada pertemuan American Association for the Advancement of Science seperti dikutip Guardian.

Provencher menemukan kuning telur dan albumin dari lima burung camar dari pulau Prince Leopold dan satu telur positif mengandung ftalat.

Zat aditif ini diperkirakan terurai dari limbah plastik yang dicerna burung camar saat berburu ikan, cumi-cumi, dan udang di Lancaster Sound di pintu masuk Northwest Passage.

Burung camar ini memiliki cairan minyak di perut mereka yang mengancam sarang mereka. Para ilmuwan percaya ftalat masuk ke burung melalui cairan, masuk ke aliran darah, dan ke telur yang dihasilkan dari betina.

Burung camar lebih banyak menghabiskan hidupnya di lautan untuk berburu makanan dan kembali ke sarang hanya untuk berkembang biak.

Burung camar jenis ini berukuran besar terbang di atas ombak untuk mencari makanan lalu berkembang biak di sarang mereka. Spesies ini sebagian besar dapat ditemukan di sepanjang gari pastai Skotlandia. Burung ini juga mampu hidup selama 40 tahun sehingga berpengaruh terhadap generasi-generasi setelahnya.

Namun, Provencher juga mengatakan butuh studi lebih lanjut untuk mengkonfirmasi pengaruh kerusakan kontaminan berbahaya ini pada burung.

Penelitian serupa juga menemukan kandungan SDPAs dan BZT-Uvs pada telur burung kittiwake kaki hitam. SDPAs dan BZT-Uvs merupakan zat aditif yang ditambahkan dalam plastik untuk menjaganya terdegradasi dan menjaga warna dari sinar matahari.

“Kita perlu melihat apakah para burung-burung itu juga mengandung zat kimia yang sama atau malah kadar yang lebih tinggi. Penemuan kontaminan dalam telur ini menimbulkan pertanyaan tentang area yang mengandung kandunga limbah plastik tertinggi,” ucap Provencher.

Alex Bond, ahli biologi dari Naturan History Museum di London, mengatakan bahwa studi ini menunjukkan dampak lain plastik terhadap margasatwa. “Ini mungkin tidak berdampak secara langsung kepada kematian, tetapi tetap saja bukan hal yang positif dan menjadi ancaman bagi satwa burung-burung di dunia,” ucapnya seperti dikutip Guardian.

Menurut Chris Wilcox dan Britta Denise Hardesty dari Commenwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) serta dosen Oseanografi dan Perubahan Iklim Imperial College London Erik van Sebille, 80 dari 135 atau hampir 60 persen spesies burung laut telah menelan plastik berdasarkan literatur yang dikaji dari tahun 1962 hingga 2012. Apabila data distandardisasi menurut waktu dan spesies yang belum diteliti pada tahun 2015, maka angka tadi meningkat menjadi 90 persen.

Mereka mengatakan temuan burung laut dengan plastik yang ada dalam perut jumlahnya kurang dari lima persen tahun 1960. Pada tahun 2010, angka tersebut berubah menjadi 80 persen. Wilcox, Hardesty, dan van Sebille menjelaskan bahwa anggota tim riset mereka pernah menemukan 200 buah sampah plastik di tubuh seekor burung laut. Ketiganya lantas memprediksi 99 persen burung laut akan memakan plastik pada tahun 2050 apabila persoalan ini tak diselesaikan.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Nurcholis Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nurcholis Maarif
Editor: Yulaika Ramadhani