tirto.id - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan wejangan terkait penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sebagai sebuah dosa besar dalam politik. Presiden RI ke-6 tersebut menyampaikan peringatan itu kepada ratusan kader partai dalam gelaran Kongres Ke-6 Partai Demokrat di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Senin (24/2/2025). SBY memperingatkan agar para kader Partai Demokrat agar tak melakukan hal tersebut.
SBY juga menyoroti pentingnya menjaga kedaulatan partai dari upaya intervensi pihak luar. SBY meminta para kader Partai Demokrat untuk tidak takut menghadapi siapapun, jika ada pihak yang mencoba merampas independensi partai.
“Dalam dunia politik, penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power adalah dosa terbesar, perbuatan tercela dan hakikatnya adalah pelanggaran terhadap amanah konstitusi,” ucap SBY.
Selain itu, SBY menegaskan, 10 tahun atau dua periode memimpin Indonesia, dirinya tidak pernah melakukan intervensi terhadap partai politik lain, baik yang beroposisi maupun yang berkoalisi dengan pemerintah. SBY menyinggung prinsip moral politik, nilai demokrasi, dan kepatuhan terhadap hukum yang harus tetap dipegang teguh. Ia meminta kader Partai Demokrat tetap menjunjung tinggi etika politik dan tidak tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
“Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, apalagi melakukan cawe-cawe dan intervensi buruk untuk merampas kedaulatan sebuah partai, terhadap parpol manapun, apapun posisinya,” tambah SBY.
Sepintas, ucapan yang dilontarkan SBY terlihat cuma pesan dari petinggi partai untuk para kader internal Demokrat. Namun, sejumlah pengamat politik menilai bahwa SBY berkali-kali menyampaikan pesan serupa dalam berbagai kesempatan. Dan di berbagai kesempatan itu pula, kritik SBY soal abuse of power selalu punya sasaran tembak: pemerintah.
Misalnya 2017 silam, usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto – saat ini menjabat Presiden RI – SBY menyepakati kerja sama dalam mengawasi kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pertemuan SBY dengan Prabowo tersebut dilangsungkan di Puri Cikeas, Kamis (27/7/2017). Usai persamuhan selama 1 jam itu, SBY menyampaikan bahwa pengawasan dilakukan karena pemerintah sudah melewati batas dan mulai melakukan abuse of power.
“Sekarang cross the line, sehingga masuk yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di dunia termasuk di negeri kita manakala kekuasaan melampaui batasnya, rakyat akan memberikan koreksi," kata SBY saat itu.
Saat itu, Jokowi menanggapi kritik SBY dengan menyatakan bahwa di Indonesia, tidak ada kekuasaan yang absolut, seperti dilansir Antara. Ia menegaskan, pihak yang menyebut ada praktik kekuasaan yang absolut sangat berlebihan. Pasalnya, kekuasaan diawasi oleh berbagai elemen di Indonesia seperti pers dan media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), DPR, dan rakyat secara langsung.
Topik serupa pernah disinggung SBY, ketika di tahun 2023, dia merilis buku bertajuk Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi. Buku setebal 27 halaman itu berisi pandangan SBY soal sikap Presiden Jokowi yang dinilai akan cawe-cawe dalam kontestasi pilpres 2024. Ia menyoroti soal etika politik dari perbuatan tersebut, juga salah atau benar cawe-cawe jika ditinjau dari sisi hukum dan undang-undang.
Buku ini berisi peringatan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam politik, dan menekankan bahwa tindakan melanggar hukum atau abuse of power harus dihindari. SBY menegaskan pentingnya kedaulatan hukum dalam menjaga integritas pemilihan umum dan mencegah terjadinya kontroversi. Namun, ditulis dalam buku itu, SBY mencoba tidak berburuk sangka atas sikap Jokowi tersebut.
Kala itu, Jokowi juga buka suara soal kritik dari SBY yang dikemas dalam buku itu. Jokowi menekankan bahwa pemerintah selalu mendukung penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan menjamin netralitas aparatur negara.
Dengan deretan jejak kritiknya terkait abuse of power pemerintah, sejumlah pengamat politik menilai ucapan SBY di Kongres Keenam Partai Demokrat awal pekan ini juga tidak datang dari ruang kosong. Mereka percaya SBY mencoba mengirimkan sinyal pesan dalam ucapan tersebut.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menilai, SBY sudah biasa menyampaikan pesan politik dalam ekspresi bersayap. Di satu sisi, pesan SBY soal bahaya abuse of power dan cawe-cawe kepada kader Partai Demokrat memang terlihat normatif. Namun, di sisi koin lain, Adi percaya SBY sedang berbicara soal dinamika politik Indonesia kiwari.
“Kan pernyataan serupa sebelumnya juga itu digunakan untuk mengkritik Jokowi dan PDIP secara bersamaan saat itu. Di mana dalam praktik kekuasaannya ada abuse of power seperti upaya tiga periode Jokowi,” ucap Adi kepada wartawan Tirto, Selasa (25/2/2025).
Namun, Adi menilai, saat ini SBY tidak bisa leluasa atau terbuka dengan menyebut langsung nama sasaran kritiknya seperti sebelumnya. Semisal kritik itu berbicara soal Jokowi secara eksplisit, hal itu akan menjadi bumerang bagi SBY karena sikap politik Partai Demokrat pada Pilpres 2024.
Pasalnya, Demokrat berbalik arah dan merapat ke barisan koalisi partai politik pendukung Prabowo-Gibran. Jokowi juga mengangkat anak SBY – Agus Harimurti Yudhoyono sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat – sebagai menteri dalam kabinetnya. Di pemerintahan saat ini AHY juga diangkat Presiden Prabowo sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
“Ini yang akan diungkit-ungkit oleh publik. Ini sesuatu yang paradoks. Tapi memang upaya abuse of power itu harus dihindari karena merusak demokrasi,” sambung Adi.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, merasa gaya komunikasi SBY memang harus diakui cerdas. SBY seolah-olah sedang memberikan pesan terhadap internal partai, namun sebetulnya sedang berbicara tentang fenomena nasional. Ia merasa SBY memang sedang memberikan kritik kepada pemerintah hari ini secara halus.
Pasalnya, mengingat posisi partai Demokrat yang memang ada dalam jajaran pemerintahan Prabowo-Gibran, membuat kritik itu harus disampaikan secara halus. Terlebih, Prabowo saat ini masih terlihat sangat menghormati dan rekat dengan Jokowi.
“SBY juga tampak sedang memberikan pesan moral kepada Prabowo agar punya komitmen terhadap demokrasi yang sudah mengangkatnya. Bahkan SBY sebelumnya bilang bahwa TNI aktif yang ada di jabatan sipil sebaiknya mundur atau pensiun dulu,” kata Kunto kepada wartawan Tirto, Selasa.
Soal adanya abuse of power dan konflik kepentingan penguasa, kata Kunto, memang umum diketahui terindikasi di era Jokowi. Terlebih, SBY tampak juga tengah menyinggung praktik cawe-cawe atau intervensi kekuasaan terhadap kedaulatan parpol.
Maka ucapan dari SBY sekaligus pengingat bagi para kader Partai Demokrat bahwa usaha kudeta di tubuh parpol itu akan menemui kegagalan. Seperti upaya ambil alih Partai Demokrat yang dilakukan kubu Moeldoko dan menemui jalan buntu.
“Paling tidak Demokrat ada track record menggagalkan upaya take over partai,” tutur Kunto.
Aroma Kekhawatiran SBY
Tirto sudah berupaya meminta komentar dari Partai Demokrat soal pernyataan SBY lewat Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, serta Sekjen Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya. Namun, permintaan wawancara tersebut tak direspons, meski pesan Tirto diberi tanda terkirim. Adapun Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, cuma membalas sapaan "selamat sore" dari Tirto, namun tidak memberikan komentar atau jawaban dari pernyataan yang diajukan.
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai SBY dikenal sebagai maverick militer atau seorang jenderal militer yang berkarakter strategis. Jadi, akan amat sulit membayangkan SBY mengeluarkan pernyataan tanpa makna simbolik. Apalagi, SBY sadar kalau pernyataannya akan ditangkap oleh media.
“Jadinya pasti pernyataan itu ditujukan sebagai komunikasi untuk masyarakat luas,” ucap Musfi kepada wartawan Tirto, Selasa.
Dalam komunikasi politik, ada strategi komunikasi yang dikenal dengan trial balloon. Dalam praktiknya, jelas Musfi, sering kali politisi berkomunikasi dengan memakai kode-kode melalui pernyataan terbuka di khalayak publik, misalnya melalui pidato. Namun, sasaran spesifik isi pidato itu adalah orang yang diharapkan akan membaca berita atas ucapan pemberi pidato.
Dengan status sebagai mantan presiden, pidato SBY pasti dibaca beritanya oleh para elite politik. Jika dikaitkan dengan histori ucapan serupa dari SBY, Musfi menilai, kemungkinan ia memang menyoroti drama politik belakangan ini. Terutama soal hubungan Jokowi dan PDIP.
“Misalnya ada ketegangan Jokowi dengan PDIP, ada isu Jokowi mengusik Prabowo, hingga berbagai kebijakan kontroversial pemerintahan Prabowo akhir-akhir ini,” sambung Musfi.
Musfi juga mencium aroma kekhawatiran dari SBY terhadap upaya mengganggu kedaulatan Partai Demokrat. Apalagi Demokrat pernah mengalami upaya pembegalan beberapa waktu lalu. Melihat psikologi SBY yang hati-hati dan kritis, bukan tidak mungkin ada kekhawatiran Demokrat punya masalah yang berujung seperti relasi antara PDIP dan Jokowi.
Kader Demokrat ditakutkan mengulang upaya Moeldoko, yakni upaya mendongkel posisi dari Ketua Umum partai terpilih. Apalagi kasus demikian belakangan ini sudah sering terjadi. Di PPP terjadi, di Golkar bahkan sukses ketika menjelang Pilkada 2024, di PKB juga sempat terjadi namun gagal. SBY dinilai mengkhawatirkan kejadian serupa menimpa Demokrat.
“Pidato SBY ini juga bisa dimaknai sebagai peringatan agar pihak eksternal, apalagi internal Demokrat tidak mengulang kasus Moeldoko ataupun kasus-kasus lainnya,” terang Musfi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty