tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya akan terus memantau isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif di industri garmen tekstil. Pemerintah juga akan melihat dampaknya terhadap perekonomian.
"Kita akan monitor fenomena PHK tersebut secara spesifik bersama K/L yang lain," kata Menkeu Sri Mulyani dikutip Antara, Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Sri Mulyani mengatakan, pantauan terhadap isu tersebut akan dilakukan karena sebetulnya sektor tekstil masih menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, bahkan memberikan kontribusi terhadap kinerja ekspor.
Menurut dia, ekspor pakaian jadi dan aksesoris dengan kode HS61 masih tumbuh pada September 2022 sebesar 19,4 persen, diikuti ekspor pakaian jadi dan aksesoris non-rajutan dengan kode HS62 yang juga tumbuh 37,5 persen.
Selain itu ekspor produk tekstil lainnya seperti alas kaki dengan kode HS64 juga masih tumbuh 41,1 persen pada periode sama, yang menandakan produksi di sektor garmen tekstil tidak mengalami gangguan berarti.
"Kita juga terus mendorong LPEI sebagai SMV Kemenkeu untuk mendorong diversifikasi destinasi ekspor. Di sisi lain kita juga terus melihat kemampuan kita untuk menjaga risiko dari perlambatan ekonomi negara maju," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani bahkan menduga yang terjadi adalah perusahaan melakukan realokasi pabrik seiring dengan membaiknya kondisi infrastruktur di tempat lain di Indonesia atau karena pengusaha ingin mencari kawasan dengan upah buruh yang lebih baik.
"Dengan infrastruktur yang makin baik dan terhubung, maka terjadi realokasi pabrik untuk mencari kondisi yang relatif kondusif dari upah. Kita akan perhatikan detail fenomena realokasi posisi manufaktur Indonesia, dari daerah yang upahnya tinggi ke rendah," katanya.
Sebelumnya Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPPTJB) menyatakan bahwa akan terjadi dampak negatif dari konflik geopolitik di Ukraina, salah satunya adalah PHK yang masif dan penutupan pabrik garmen tekstil.
PPPTJB mencatat dari 124 perusahaan di Jawa Barat, terdapat 64.165 pekerja yang sudah menjadi korban PHK, serta 18 perusahaan terpaksa ditutup karena tidak mampu lagi bertahan di tengah situasi sulit tersebut.