Menuju konten utama

Situasi HAM Rohingya Dilaporkan Semakin Memburuk

Sejumlah 162.000 pengungsi Rohingya terancam tidak dapat kembali ke rumah mereka. Pengungsi juga terancam dipindahkan ke daerah-daerah terpencil.

Situasi HAM Rohingya Dilaporkan Semakin Memburuk
Pengungsi Rohingya berbaris untuk mnerima bantuan kemanusiaan di kamp pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, Jumat (20/10/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Zohra Bensemra

tirto.id - Pelapor khusus tentang situasi hak asasi manusia PBB di Myanmar Yanghee Lee menyebut situasi HAM Rohingya semakin memburuk disebabkan pemerintah sipil gagal melakukan reformasi demokratis dan penindasan telah dilanggengkan di bawah rezim militer.

Hal ini dinyatakan Lee saat melaporkan hasil kunjungannya ke pengungsi Rohingya di Thailand dan Bangladesh, sebagaimana diberitakan situs United Nations, Jumat (25/1/2019).

“Saya sangat prihatin lingkungan yang represif membuat orang tidak berani berbicara secara terbuka tentang pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan,” katanya.

Lee prihatin pengungsi Rohingya rentan kehilangan hak mereka atas tanah leluhur. Pemerintah lewat amandemennya baru-baru ini mengambil alih wilayah-wilayah etnis. Tempat yang menjadi sumber mata pencaharian, tradisi, dan budaya bagi masyarakat Rakhine, Kachin, Shan, dan negara bagian Kayin.

Lee mengungkapkan, sekitar 162 ribu pengungsi Rohingya terancam tidak dapat kembali ke rumah mereka. Pengungsi juga terancam dipindahkan ke daerah-daerah terpencil. Myanmar tidak menciptakan kondisi agar mereka bisa pulang. Malah sebaliknya melakukan kampanye kekerasan, intimidasi, dan pelecehan yang berkelanjutan.

Lee memberi kesaksian terhadap kunjungannya di kamp pengungsi Cox Bazar, Bangladesh, salah satu pengungsi Rohingya mengatakan ayahnya telah ditikam hingga mati oleh pasukan keamanan Myanmar. Seorang pengungsi lain melarikan diri bersama seluruh keluarganya setelah ibu dan saudara perempuannya diculik dan diperkosa.

Lee juga melihat video rumah-rumah yang terbakar di kota Muangdow. Menurut informasi timnya, pemukiman itu dibakar oleh pasukan keamanan Myanmar yang bekerja sama dengan para ekstremis Rakhine.

Dilansir AP News, Myanmar menolak tuduhan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang telah terjadi. Kebanyakan orang Myanmar tidak menerima bahwa Muslim Rohingya adalah bagian dari kelompok etnis mereka.

Rohingya disebut sebagai “orang Bengal” yang masuk dari Bangladesh berabad-abad lalu. Hampir semua ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982, serta akses pendidikan dan rumah sakit juga ditolak.

"Jelas bahwa pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat kembali ke Myanmar dalam waktu dekat," ucap Lee.

Lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Kembalinya seseorang ke tempat asalnya harus sesuai dengan standar keselamatan internasional, kesukarelaan, martabat, dan keberlanjutan.

Kondisi Pengungsi Rohingya di Arab Saudi

Kondisi para pengungsi Rohingya tak hanya memburuk di Thailand dan Bangladesh. Di Arab Saudi, sebanyak 250 pengungsi Rohingya akan dideportasi ke Bangladesh. Selama ini Arab Saudi menjadi rumah bagi hampir 300.000 pengungsi Rohingya, etnis minoritas di Myanmar.

Dilansir Al Jazeera, Nay San Lwin, koordinator kampanye Free Rohingya Coalition, mendesak pemerintah untuk menghentikan deportasi karena akan menambah jumlah pengungsi Rohingya yang dijebloskan ke penjara begitu tiba di Bangladesh.

“Mayoritas pengungsi Rohingya memiliki izin tinggal dan bisa menetap secara legal di Arab Saudi,” katanya dikutip Al Jazeera.

“Tapi para tahanan di pusat penahanan Shumaisi [di Jeddah], tidak diperlakukan seperti teman-teman Rohingya yang lain. Sebaliknya, mereka diperlakukan seperti kriminal,” lanjutnya.

Lebih lanjut Nay San Lwin menampilkan sebuah video yang memperlihatkan pengunsi Rohingya, yang siap berangkat ke bandara Internasional Jeddah untuk penerbangan langsung ke Dhaka.

Pengungsi Rohingya memasuki Arab Saudi setelah mendapatkan paspor Pakistan, Bangladesh, India, atau Nepal melalui penyelundupan via dokumen palsu. Arab Saudi mulai menghentikan izin tinggal bagi pengungsi Rohingya setelah tahun 2011.

Beberapa tahanan di Shumaisi, Jeddah berkata mereka telah hidup di Arab Saudi untuk waktu yang lama dan mendapatkan fasilitas yang baik sampai polisi menemukan mereka tidak memiliki kartu identitas.

Krisis Kebebasan Pers di Myanmar

Dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditangkap kepolisian Myanmar pada 12 Desember 2017 lalu usai diundang makan oleh polisi. Tuduhan terhadap keduanya adalah kepemilikan dokumen rahasia militer terkait kerusuhan di negara bagian Rakhine.

Mereka pun dijerat dengan Undang-Undang Rahasia Negara. Namun, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, merasa dijebak dan menganggap pihak kepolisian tidak senang atas laporan mereka atas penumpasan brutal terhadap etnis Rohingya di Rakhine.

Pengadilan Tinggi Myanmar telah menolak banding yang diajukan oleh dua wartawan Reuters itu pada Jumat (11/1/2019) waktu setempat. Hakim Pengadilan Tinggi Myanmar, Aung Naing, menyatakan, 7 tahun penjara adalah vonis yang masuk akal bagi dua jurnalis itu.

Penolakan banding ini mendapat reaksi dari Pemimpin Redaksi Reuters, Stephen Adler. “Putusan hari ini adalah salah satu ketidakadilan dari sekian yang menimpa Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Mereka tetap di balik jeruji besi karena satu alasan: penguasa berupaya membungkam kebenaran,” tukas Adler seperti dikutip APNews.

Adler menambahkan, kebebasan pers Myanmar berada di tingkatan rendah akibat kasus-kasus semacam ini. “Komitmen Myanmar terhadap supremasi hukum dan demokrasi masih diragukan,” sebutnya.

Meskipun demikian, kedua jurnalis Reuters tersebut masih bisa melakukan upaya hukum lanjutan, yakni mengajukan banding ke pengadilan tertinggi di Myanmar, Mahkamah Agung.

Sidang banding yang digelar Pengadilan Tinggi Myanmar juga dihadiri oleh Duta Besar Uni Eropa untuk negara itu, Kristian Schmidt. Ia berharap agar kedua jurnalis segera dibebaskan.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Isma Swastiningrum & Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Politik
Penulis: Isma Swastiningrum & Dipna Videlia Putsanra
Editor: Yulaika Ramadhani