tirto.id - Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan rasa duka terdalam atas meninggalnya siswi SMP berinisial DR di Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. DR mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tanaman lantaran putus cinta.
Retno mengatakan memang tidak mudah mengurus remaja yang memasuki masa pubertas. Sebab itu perlu ekstra kepekaan bagi orang dewasa yang berada di sekelilingnya.
"Alasan seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri bisa begitu rumit yang sekaligus pada sisi lain mungkin bukan suatu hal yang dianggap berat bagi orang dewasa pada umumnya. Oleh karena itu, jangan langsung menghakimi remaja yang sedang dirundung masalah," ujarnya kepada Tirto, Selasa (29/1/2019).
Retno juga mengimbau untuk para guru agar lebih bersahabat dan terbuka dengan para murid. Sehingga tercipta kondisi yang harmonis di antara keduanya.
"Guru dan orang tua seharusnya bisa menjadi teman berbagi untuk anak anaknya. Cobalah untuk bertukar perasaan dengan anak dan pastikan dia tahu kondisi yang dialaminya normal. Tiap orang pernah mengalami masa-masa terpuruk dan pada akhirnya semua akan baik-baik saja," ujar Retno.
Retno menambahkan, jangan pernah mengabaikan tanda-tanda perilaku remaja yang berniat bunuh diri. Dengarkan semua yang dia ingin sampaikan dan selalu pantau tindakannya.
"Jangan mengabaikan ancaman bunuh dirinya dan justru melabelinya sebagai individu yang suka bersikap berlebihan," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, DR siswi SMP kelas tiga nekat mengakhiri nyawanya sendiri dengan meminum racun tanaman setelah putus cinta.
DR sempat dilarikan ke RSUD Sekadau untuk menjalani perawatan namun nyawanya tidak terselamatkan pada Selasa (22/1).
Kapolres Sekadau AKBP Anggon Salazar Tarmizi mengungkapkan, korban melakukan aksi nekatnya pada Senin (21/1/2019) di dapur rumahnya.
Menurut Anggon korban mengaku telah meminum dua teguk racun rumput akibat rasa frustasi korban karena putus cinta.
Sementara itu, menurut Benny Prawira Siauw, ahli kajian bunuh diri (suicidolog), tren depresi di kalangan muda—rentang usia mahasiswa—sudah terbaca di banyak negara. Kepala Koordinator Into the Light—komunitas pemerhati pencegahan bunuh diri yang terbentuk pada 2013—ini mencontohkan Inggris, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia sebagai negara dengan angka bunuh diri yang tinggi.
Setidaknya ada 95 mahasiswa di kampus Inggris yang memilih bunuh diri sepanjang 2016-2017. Di Jepang, ada 250 anak dan remaja yang tewas sepanjang rentang tahun yang sama.
Di Indonesia, sejak Mei 2016 sampai Desember 2018 saja, riset Tirto dari beragam pemberitaan online mencatat ada 20 kasus bunuh diri mahasiswa. Sebagian besar diduga karena tugas dan skripsi.
Temuan Benny, dalam riset tesisnya, 34,5 persen mahasiswa Jakarta punya suicidal thought. Ia mengambil 284 responden dari beberapa universitas swasta dan negeri di Jakarta. Hasilnya, 1 dari 3 responden riset Benny punya kecenderungan pemikiran bunuh diri.
Penelitian yang sama pernah dikerjakan oleh Karl Peltzer, Supa Pengpid, dan Siyan Yi pada 2017 yang dirilis Journal of Psychiarty. Survei ini dilakukan pada 4.675 mahasiswa S1 dari Kamboja, Malaysia, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Indonesia, dengan rentang umur responden 18-23 tahun. Sebanyak 231 respondennya adalah mahasiswa Yogyakarta. Hasilnya, 6,9 persen mahasiswa Yogyakarta punya pemikiran bunuh diri, salah satu terkecil di kawasan ASEAN.
Menurut penelitian ini, pemikiran bunuh diri sering kali terkait dengan pengalaman dilecehkan secara seksual saat masih anak-anak; gejala-gejala depresi; terlibat perkelahian fisik; performa akademis yang buruk; dan faktor sosial-lingkungan termasuk hidup dengan orangtua atau wali, dan keterlibatan yang rendah dalam kegiatan religius.
Menurut Benny, perlu ada kajian lebih dalam tentang faktor risiko apa yang menyebabkan tingginya angka tersebut. Pengaruh peer (kelompok terdekat), keluarga, dan lingkungan sosial, menurutnya, sangat bersinggungan dengan perkembangan mental seseorang.
“Stressor-nya bisa datang dari mana saja, bisa saja faktor akademis, bullying, atau malah dari keluarga. Tapi yang jelas, faktor penyebab bunuh diri itu enggak pernah tunggal,” tambahnya. “Perlu investigasi yang dalam sekali untuk tahu.”
Sering kali diagnosis yang dangkal pada pelaku bunuh diri justru berdampak buruk pada keluarga yang ditinggalkan. “Itu sebabnya, media harus benar-benar hati-hati ketika menuliskan berita bunuh diri,” jelas Benny.
---
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari