Menuju konten utama

Siswa SD Belajar Coding Boleh Saja, Asal Kaji Dulu & Tak Memaksa

Menjadikan coding sebagai mata pelajaran siswa SD harus dilakukan secara bertahap.

Siswa SD Belajar Coding Boleh Saja, Asal Kaji Dulu & Tak Memaksa
Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka (kedua kanan) menyapa siswa saat meninjau uji coba pelaksanaan program makan bergizi gratis di SDN Sentul 03, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/7/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/rwa.

tirto.id - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusulkan materi pelajaran coding sudah dapat diterapkan di jenjang pendidikan dasar. Gibran menyatakan penambahan pelajaran coding dari tingkat SD, merupakan sebagai bentuk menyesuaikan tantangan teknologi saat ini.

Hal ini ia sampaikan ketika membuka Rakor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Usulan ini pun sudah Gibran sampaikan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti.

Ia berharap mata pelajaran coding yang diberikan sejak SD dapat mencetak banyak ahli teknologi di masa depan. Mulai dari ahli coding, ahli AI, ahli machine learning, dan lainnya. Selain itu, Gibran menyebut mata pelajaran coding di negara lain memang ada yang dimulai sejak SD.

Utamakan Dulu Paradigma Berpikir Komputasional

Coding sendiri secara sederhana merupakan tindakan menginstruksikan komputer melalui kode bahasa pemrograman. Umumnya berkaitan dengan pembelajaran atau pun pekerjaan bidang teknologi informasi (IT). Salah satu konsep dasar coding ialah memasukan bahasa pemrograman untuk menjalankan sejumlah perintah ke komputer.

Kendati demikian, usulan Wapres Gibran memantik pembicaraan di media sosial. Terutama polemik soal kesiapan pengetahuan guru dan fasilitas pendukung dari sekolah. Di sisi lain, ada kekhawatiran mata pelajaran coding dipukul rata agar diikuti oleh seluruh siswa.

Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, mengapresiasi usulan yang dilontarkan Gibran. Menurut Iman, Gibran tengah membangun relevansi antara aktivitas di pendidikan dasar dengan perkembangan pasar karir. Namun, ia menilai usulan untuk membuat mata pelajaran coding tidak sepenuhnya tepat dilakukan.

Iman menyatakan bahwa kebutuhan bagi siswa sekolah dasar bukan coding, tetapi melatih berpikir komputasional atau computational thinking (CT). Paradigma berpikir ini dinilai Iman justru merupakan fondasi bagi kegiatan coding. Selain itu, CT juga sangat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari siswa.

“Karena ini dasar dari coding, yakni cara berpikir komputasional yang sangat bermanfaat sehari-hari dalam memecahkan masalah,” kata Iman kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2024).

Iman menjelaskan cara berpikir komputasional berfokus pada pemecahan sebuah masalah. Di sisi lain, coding tentu akan menuntut kesiapan fasilitas sekolah dan kapasitas pengajar. Ia menilai paradigma CT akan lebih bermanfaat diterapkan dan dilatih kepada siswa SD.

“Kami tidak pesimistis, coding bisa saja kalau fasilitas sekolah mumpuni dan guru memadai. Namun, bagi kami yang terpenting mengajarkan computational thinking (CT),” ucap Iman.

Ketika berkunjung ke Korea Selatan, Iman sempat berdiskusi dengan guru-guru di sana. Ia mengakui memang siswa SD di negara ginseng itu sudah mulai belajar coding. Tetapi, justru Iman mendapat pembelajaran bahwa siswa-siswa di Korea Selatan sudah dibekali dengan paradigma berpikir komputasional sejak dini. Hasilnya, siswa tampak menyukai dan mampu mengikuti mata pelajaran coding.

Pemerintah diminta agar usulan mata pelajaran coding tidak menjadi beban baru bagi siswa. Maka perlu dilakukan kajian ilmiah yang mendalam agar kebijakan ini tidak menjadi masalah baru. Termasuk, kata dia, membekali guru dengan kemampuan berpikir komputasional.

“Jadi jangan melompat, anak SD harusnya diajari memahami cara berpikir komputasional atau komputasi. Jangan sampai salah alamat,” terang Iman.

Peneliti ilmu komputer, Jeannette Wing, memperkenalkan computational thinking pada 2006. Ia menjelaskan bahwa CT termasuk cara berpikir membenahi masalah, merancang sistem dan memahami perilaku manusia dengan meminjam konsep dasar dalam komputer sains.

Ia juga menyatakan bahwa CT adalah cara berpikir yang diperlukan dalam memformulasikan masalah dan solusinya. Agar solusi tersebut dapat menjadi agen pemroses informasi yang efektif dalam menyelesaikan masalah.

Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menyatakan usul membuat mata pelajaran coding di jenjang pendidikan dasar cukup masuk akal di tengah perkembangan teknologi informasi digital. Edi menilai otomasi sudah terjadi hampir di segala bidang. Termasuk hadirnya generatif AI dalam segala sektor.

Kendati begitu, Edi mengingatkan pentingnya untuk tetap mempertimbangkan minat siswa sebelum usulan ini diterapkan. Perlu ada kesiapan juga dari sekolah dan pengajar, terutama bagi sekolah-sekolah negeri.

“Hal ini perlu dipertimbangkan serius mengingat coding sebenarnya bukan essential skill, coding adalah skill lanjutan dengan orientasi praktis untuk pengembangan program digital tertentu,” ujar Edi.

Ia menilai sebaiknya mata pelajaran coding tidak diwajibkan atau menjadi pelajaran pilihan. Pengetahuan dan keterampilan seperti coding, generative AI, dan literasi serta etika digital, seharusnya cukup dipelajari secara proporsional bagi siswa SD.

Coding cukup menjadi mata pelajaran pilihan atau klub belajar di sekolah laiknya ekstrakurikuler yang bisa dipilih siswa yang memang berminat.

Coding ini hal baru dan tidak semua guru yang mengajar di jenjang SD mampu, termasuk SD juga tidak semua punya infrastrukturnya, maka sebaiknya bukan mata pelajaran wajib yang masuk kurikulum resmi,” ungkap Edi.

 anak belajar coding

anak belajar coding. foto/istockphoto

Perhatikan Hak Siswa

Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menyatakan secara teoritis, kemampuan anak terkait simbol akan menguat di usia 6-7 tahun. Anak usia SD (7-12 tahun) mengalami perkembangan kognitif di tahap operasional konkret. Menurut Jean Piaget, kata Retno, pada taraf ini anak mampu berpikir secara konkret dan dapat menggunakan logika.

“Artinya, di usia SD anak belajar coding tidak masalah dari segi kemampuan kognitif. Poin pentingnya adalah bagaimana pelajaran coding sesuai dengan taraf kemampuan anak,” kata Retno kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2024).

Artinya, pembelajaran coding tetap harus disesuaikan dengan taraf kemampuan siswa SD. Jika materi pembelajaran itu belum dikaji secara mendalam, memang ada potensi pelajaran coding hanya akan membebani siswa.

Retno menekankan pentingnya peran pengajar yang mampu memotivasi dan memahami psikologi anak. Usulan mata pelajaran coding ada baiknya diterapkan secara bertahap dan tetap menghormati hak siswa memilih minat bakatnya.

“Secara umum, jika anak mempersepsi coding pelajaran yang tidak menyenangkan, berat, maka dapat menjadi beban mental anak. Tetapi sebaliknya, jika merasa ini menantang, menarik, terus juga pengajarnya memotivasi, maka bisa jadi tidak berdampak negatif,” terang Retno.

Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, memandang pelajaran coding bisa saja diberikan sejak SD, namun tetap perlu untuk mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan dasar baca tulis dan berhitung siswa saat ini. Mengevaluasi pendidikan saat ini, kata Dewi, timbul keraguan apakah coding dapat dipelajari sejak SD.

Pasalnya, ia menilai pengetahuan yang dimiliki siswa pendidikan dasar dan menengah perlu dievaluasi. Dewi kerap mendapati siswa yang belum bisa membaca jam analog, matematika dasar, hingga tidak hafal Pancasila.

“Meskipun ini tidak dapat digeneralisir, namun temuan ini tentu menjadi pertanyaan atas pendidikan kita saat ini yang harus dibenahi,” terang Dewi kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2024).

Pemerintah diminta mengevaluasi secara keseluruhan hasil dari pembelajaran sekolah saat ini. Misalnya, apakah keterampilan dasar seperti baca tulis dan berhitung sudah dimiliki oleh anak di jenjang pendidikan dasar. Evaluasi menjadi penting sebagai bahan masukan bagi pemerintah menentukan kebijakan pendidikan dengan dasar kajian yang kuat, termasuk soal mata pelajaran coding di SD.

“Perhatikan juga potensi dampaknya ke kesehatan mental peserta didik, dan pihak terkait lainnya, termasuk guru dan orang tua murid,” ungkap Dewi.

Abdul Muti

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Diberitakan sebelumnya, Menteri Pendidikan Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, mengungkap bahwa pihaknya akan menerapkan mata pelajaran coding tersebut di tingkat SD. Namun, tidak bersifat wajib dan hanya menjadi pilihan bagi murid.

Mu'ti tidak memungkiri bahwa pelajaran itu harus diimbangi dengan alat-alat yang memadai. Oleh karenanya, penerapan mata pelajaran itu hanya diberlakukan di sekolah yang memiliki kelengkapan alat pendukung.

"Dalam rencana kami untuk pembaharuan kurikulum yang akan datang, akan menambahan mata pelajaran artificial intelligent dan coding sebagai mata pelajaran pilihan di sekolah-sekolah yang memang sudah mampu melaksanakan," kata Mu'ti.

Baca juga artikel terkait CODING atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto