Menuju konten utama
Tentang Nostalgia

Sisi Lain dari Merindu Masa Lalu

Nostalgia dapat memicu emosi positif dalam dirimu, namun di sisi lain juga bisa menjerumuskanmu ke dalam siklus kesedihan.

Sisi Lain dari Merindu Masa Lalu
Header Diajeng Nostalgia. tirto.id/Quita

tirto.id - Baca juga artikel pertama dari seri "Tentang Nostalgia": Nostalgia, Rasa Rindu yang Pernah Diasosiasikan dengan Penyakit

Sedari kecil, Kristina (18) mengoleksi boneka Barbie dan rajin mengikuti serial animasinya.

“Waktu kecil saya suka nonton film Barbie karena color palette film-film Barbie bagus. Senang menemukan hal-hal di film itu yang jarang saya jumpai dalam kehidupan nyata. Jalan ceritanya sering nggak make sense tapi bagus. Something outside the world. Hal lainnya karena soundtrack filmnya bagus.”

Ketika film live action Barbie (2023) rilis musim panas kemarin, mahasiswi yang tinggal di Tangerang Selatan ini memutuskan untuk menontonnya karena alasan yang mirip di atas, dan tentu saja, untuk mengobati rasa rindunya pada jenama boneka berusia 64 tahun itu.

Lewat tayangan film dan musik yang aksesnya semakin mudah di era digital sekarang, kita disapu oleh gelombang nostalgia. Dan menurut pakar, hal itu berbuah positif.

“Mengonsumsi segala jenis media nostalgia memberi kita cara berpikir tentang siapa diri kita, dan membantu kita memahami tujuan hidup kita,” ujar Krystine Batcho, PhD dikutip dari National Geographic.

Dosen psikologi di Lemoyne College, New York ini sudah menggencarkan riset tentang nostalgia sejak 1990-an. Ia juga mengembangkan Nostalgia Inventory, semacam daftar pertanyaan untuk mengukur seberapa sering atau rentannya kita merasakan nostalgia.

Studi tentang nostalgia di jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience (2022) juga menjelaskan, saat mengalami nostalgia, kita dapat merasakan kehangatan, kesukaan, dan rasa memiliki, bahkan mengalami semacam perjalanan waktu secara mental. Pengalaman demikian juga dapat sangat menenangkan di masa-masa sulit, baik yang sifatnya pribadi maupun mengglobal.

Masih menurut jurnal tersebut, area otak yang aktif selama pengalaman nostalgia adalah area yang berkaitan dengan refleksi diri, ingatan autobiografis, pengaturan emosi, dan pemrosesan penguatan. Artinya, nostalgia bukan sekadar untuk mengingat kenangan manis, melainkan juga ikut terlibat dalam pengaturan aktivitas otak.

Nah, siapa sangka, pengaruh kuat nostalgia terhadap emosi kita juga dimanfaatkan oleh dunia pemasaran untuk mencari keuntungan.

Selain contoh paling jelas dari pemutaran film Barbie, nostalgia dalam konteks pemasaran sangat mudah kita temui sehari-hari.

Beberapa waktu lalu, aku menemukan toko di dalam mal yang menjual aneka jajanan masa kecil.

Salah satunya sagon—bubuk sagu rasa gurih manis yang dibungkus kertas. Yang kuingat dulu, kalau aku makan sagon sambil bicara, otomatis sagon itu akan menyembur dari mulut.

Di toko itu ada juga kue kering bertabur salut gula warna coklat rasa kopi, permen rokok, manisan asam bulat.

Selain itu, ada timbangan manual dengan beberapa anak timbangan mulai dari satu ons sampai dua kilogram—dalam ukuran mini nan imut—serta setrika arang dari besi.

Toko itu seakan-akan mengirimku mundur ke masa lalu. Seru dan lucu! Masa kecilku pun berkelindan dalam benak.

Kuakui, hebat betul pemilik toko ini “menjual” nostalgia. Aku sendiri merasakan dorongan yang sangat kuat untuk membeli dagangannya. Tak butuh waktu lama, toko nostalgia itu sukses merogoh isi dompetku!

Header Diajeng Nostalgia

Header Diajeng Nostalgia. foto/istockphoto

Sudah banyak riset yang meneliti kuatnya daya tarik kuat nostalgia.

Salah satu penjelasannya, dilansir dari Creatopy, berkaitan dengan nostalgia sebagai salah satu cara kita untuk menciptakan komunitas, merasakan empati, memahami masa lalu, dan menjadi dekat satu sama lain.

Karena itulah, dunia marketing memanfaatkan ingatan untuk membangkitkan respons emosional yang kuat dari calon pembeli.

Meskipun nostalgia bisa memunculkan perasaan senang atau sedih, ahli pemasaran mampu membingkai nostalgia agar memunculkan dua perasaan itu sekaligus. Segala cara ditempuh; menggunakan font, jingle, atau color palette dari masa lalu melalui iklan dan produk-produknya.

Strategi nostalgia pernah dipakai oleh Pepsi tahun lalu. Mereka mengadakan sayembara bagi pengguna akun Twitter untuk mengunggah foto mereka pada era 1990-an dengan tagar #ShowUsYour90. Sebanyak 300 orang terpilih mendapatkan Crystal Pepsi—minuman soda bening yang hanya dipasarkan pada 1992-94.

Pada 2021 silam, waralaba Pizza Hut mengadakan kampanye “Newstalgia” untuk memopulerkan kembali produk lama “secara modern dan relevan”. Termasuk programnya adalah penjualan piza berpinggiran tipis The Edge (rilis pertama 1997) sampai kotak piza bergambar papan permainan arkade PAC-MAN (pernah dipopulerkan pada 1980-an).

Nostalgia juga dapat dikemas dalam layanan wisata, termasuk “kereta api nostalgia”, yang berkembang pesat setelah 1950-an. Wisata dengan lokomotif uap di rute bertabur pemandangan bukit, gunung, atau pesisir ini disebut-sebut sebagai jalur bepergian orang-orang di masa lalu. Kamu dapat menjajalnya di Turki, jalur kereta trans-Siberia, Jepang, sampai pegunungan Rocky, Canada.

Sampai di sini, mungkin kita menganggap nostalgia berasosiasi dengan hal baik-baik. Ah, tapi, apakah mengingat kembali kenangan masa lalu selalu mendatangkan kedamaian dan ketenangan?

Header Diajeng Nostalgia

Header Diajeng Nostalgia. foto/IStocphoto

Dikutip dari situs Healthline, bagai dua mata uang, nostalgia dapat memicu emosi positif; merasa bermakna, menemukan tujuan hidup, membantu membangun relasi dengan orang lain, dan membangun optimisme. Di sisi lain, ya, ada juga yang perlu kita waspadai.

Dalam penelitian di Inggris tahun 2012, sebanyak 200 orang partisipan diminta menjabarkan kondisi mood (termasuk terkait kegelisahan atau depresi), kecenderungan diri untuk khawatir, dan memori nostalgia melalui gambaran visual dan indera lain. Hasilnya, peserta yang cenderung mudah khawatir dilaporkan memiliki perasaan lebih kuat untuk mengalami depresi dan gelisah setelah membicarakan masa lalunya.

Masih dilansir dari Healthline, merindu masa lalu dan mengingat hal-hal yang tidak dapat kita peroleh di masa lalu dapat memicu rasa tidak puas terhadap masa kini. Bisa jadi, kita malah menyalahkan diri sendiri dan lingkungan yang dulu dianggap tidak mendukung kita.

Selain itu, menurut studi pada 2020 yang melibatkan catatan buku harian, nostalgia dapat melahirkan “siklus kesedihan”.

Misalnya, kamu mungkin saja tiba-tiba bernostalgia tentang sesuatu sebelum memulai aktivitas pagi hari—biasanya dipicu kejadian tidak menyenangkan seperti pertengkaran dengan pasangan atau masalah pekerjaan. Akibatnya, pikiranmu jadi berfokus di hal-hal negatif yang membikin sedih atau malah depresi—dan akhirnya, kamu bisa jadi semakin terdorong untuk kembali bernostalgia.

Alih-alih ‘lari’ atau terbuai dengan sisi sendu dari nostalgia, kita dapat terbantu mengatasi masalah emosi justru dengan menjaga kewaspadaan dan menjaga segala sesuatu dalam perspektif kita.

Sebaliknya, kalau kita fokus pada kenangan indah dan membahagiakan di masa lalu, hal itu justru membangun suasana hati dan memotivasi kita untuk membangun hidup lebih baik. Setuju, kan?

Baca juga artikel terkait NOSTALGIA atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih