tirto.id - Puluhan pekerja proyek pembangunan Jalan Trans Papua di Distrik Yall, Kabupaten Nduga, Papua, dikabarkan tewas dibunuh, Ahad (2/12/2018). Mereka diduga menjadi korban kelompok bersenjata.
Para pekerja itu berasal dari PT Istaka Karya, perusahaan BUMN yang sedang mengerjakan proyek pembangunan jembatan. Keterangan itu disampaikan Sekretaris PT Istaka Karya Yudi Kristianto.
“Betul kabar itu,” kata Yudi kepada reporter Tirto, Selasa (4/12/2018).
Sejauh ini, Yudi mengaku belum bisa dipastikan berapa jumlah pekerja yang menjadi korban.
“Sedang kami pastikan. Kami juga berkoordinasi dengan Polri dan TNI,” tuturnya.
Kabar tewasnya para pekerja itu ramai diberitakan media yang berbasis di Jakarta, Senin malam, (3/12/2018). Media Jakarta menuliskan, 31 orang menjadi korban.
Sumber informasi media-media berbasis di Jakarta, berasal dari keterangan pers yang disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes A.M. Kamal. Kamal menyebutkan kelompok bersenjata sudah, “membantai 31 orang pekerja dari PT Istaka Karya yang sedang membangun jembatan”.
Namun dalam laporan yang ditulis Victor Mambor, jurnalis senior Tabloid Jubi, korban berjumlah 24 orang. Informasi soal ke-24 korban itu didapat Mambor dari Wakil Ketua DPRD Nduga Alimin Gwijange.
Masih dalam laporan yang sama, Mambor menuliskan hingga laporan dirilis belum diketahui apakah ke-24 korban ditembak atau dibunuh dengan senjata tajam atau barang lainnya. Korban berada di satu tempat yang hanya bisa dijangkau melalui jalur darat dan komunikasinya hanya menggunakan radio single sideband (SSB).
Informasi soal pembunuhan pekerja PT Istaka ini pertama kali disampaikan Pendeta Wilhelmus Kogoya (tokoh gereja distrik Yigi) melalui radio SSB, Senin (3/12/2018), sekitar pukul 15.30 waktu setempat.
Dalam laporan terpisah, Tabloid Jubi merilis laporan tidak ada saksi mata dalam kasus tersebut. Jurnalis Islamis Adisubrata dari Tabloid Jubi, menuliskan Polres Jayawijaya sudah mempersiapkan hal terburuk terkait evakuasi korban.
Meski sudah menyiapkan ambulans dan mobil jenazah di Habema, Wakapolres Jayawijaya Kompol Andreas Tampubolon menyampaikan, polisi mempersiapkan kemungkinan terburuk karena informasi yang sesungguhnya belum diketahui pasti.
“Saya sampaikan secara normatif, kami ambil yang terburuknya. Karena saksi mata yang melihat langsung itu belum ada,” kata Andreas seperti dilaporkan Tabloid Jubi.
Presiden Minta Klarifikasi
Saat kabar masih simpang siur, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu malah memberi komentar reaktif.
Ryamizard mengatakan tak akan ada negosiasi dalam penanganan kasus pembunuhan ini. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu bahkan menuding pelaku adalah pemberontak.
“Bagi saya tidak ada negosiasi. Menyerah atau diselesaikan. Itu saja. Kenapa saya bilang pemberontak? Ya kan mau memisahkan diri, Papua dari Indonesia,” kata Ryamizard di Kompleks Parlemen, Selasa (4/12/2018).
Sikap Ryamizard berbeda dengan Presiden Joko Widodo. Saat ditemui di sela-sela Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Bidakara, Jokowi meminta informasi tersebut diklarifikasi terlebih dahulu.
Permintaan Jokowi ini berkaitan dengan kondisi telekomunikasi di kawasan Nduga yang belum terjangkau sinyal telepon.
“Tadi pagi saya perintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk klarifikasi dulu. Di Nduga itu enggak bisa loh yang namanya sinyal itu enggak ada. Jadi ini mesti dikonfirmasi dulu ke sana, apakah betul memang kejadiannya seperti itu,” kata Jokowi.
Secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono mengatakan, Kementeriannya menghentikan sementara proyek pembangunan Jalan Trans Papua segmen 5 di Papua.
Basoeki juga menuturkan, dirinya dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan berangkat ke Wamena, Papua, untuk meninjau lokasi pembunuhan, di salah satu daerah yang dilintasi Jalan Trans Papua segmen 5, tepatnya antara Kali Aorak (km 102+525) dan Kali Yigi (km 103+975).
Segmen 5 itu merupakan jalan Trans Papua yang digarap oleh PT. Istaka Karya (14 jembatan) dan PT. Brantas Abipraya (21 jembatan). Segmen 5 meliputi wilayah Wamena, Habema, Kenyam, dan Mamugu sepanjang 278 km.
“Nanti malam Panglima TNI ke Wamena. Saya juga ikut. Korban evakuasi kalau bisa dibawa ke Wamena,” kata Basuki saat konferensi pers, Selasa siang.
Kejahatan HAM Berumur Panjang di Papua
Peristiwa pembunuhan ini terjadi selang sehari setelah peringatan Hari Kemerdekaan Papua, Sabtu (1/12/2018). Sebanyak 539 demonstran ditangkap kepolisian, baik sebelum, saat, dan usai menggelar aksi damai. Ini berdasarkan data yang dihimpun The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Jumlah mereka yang ditangkap di luar Papua: 18 orang di Kupang, 99 orang di Ternate, 43 orang di Ambon, 27 orang di Manado, 24 orang di Makassar, dan 233 orang di Surabaya.
Sedangkan di Papua, 95 orang ditangkap ketika berencana menggelar aksi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, dan Kabupaten Asmat.
“[Sebanyak] 41 orang di Sentani sudah di bebaskan jam 17.00 WIT [kemarin], sekarang kami masih menunggu perkembangan 44 orang yang [ditangkap] di Polresta dan KP3 Laut,” kata Gustav Kawer, kuasa hukum perkumpulan pengacara HAM untuk Papua saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (1/12/2018).
Rentetan penangkapan itu, kata Gustav, selalu terjadi dari tahun ke tahun dengan dalih yang sama: makar.
Pelecehan HAM di Papua berumur panjang. Sejak 1961 saat orang Papua berupaya membangun legitimasi dan otonomi atas kemerdekaannya, Indonesia melakukan operasi militer guna mengikis tuntutan rakyat Papua. Operasi ini dibangun dengan tiga tahap: infiltrasi, serangan terbuka, dan konsolidasi.
Organisasi Papua Merdeka, kelompok gerilyawan yang terpencar dan berkekuatan minim hingga sekarang, terbentuk guna menuntut kemerdekaan Bangsa Papua Barat.
Pada 1967, Freeport mendapatkan tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia. Pada 1970-an, OPM terbentuk di Timika, bersamaan dengan operasi tambang salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia itu berjalan.
Sepanjang 1963 hingga sekarang, ada banyak warga sipil yang terbunuh dan mengungsi. Beberapa pemuka Papua yang terbunuh termasuk musikus grup Mambesak dan antropolog Arnold Ap pada awal 1980-an, serta Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001.
Pada 20 Desember 2012 lalu, Organisasi hak asasi manusia ELSHAM, menegaskan pembunuhan dan intimidasi akan makin massif seiring diteruskannya operasi gabungan TNI-Polri di Papua. Tindakan pelanggaran HAM tak kunjung usai.
Juru bicara ELSHAM waktu itu, Paul Mambrasar mengatakan, "Orang Papua masih dibunuh dan diintimidasi dan pasukan keamanan melakukan banyak hal untuk menyebarkan ketakutan di antara orang-orang."
Mambrasar menjelaskan, pada Operasi Aman Matoa 1 pada tahun 2011 misalnya. Misinya memerangi kelompok kriminal bersenjata di Puncak Jaya. Namun selama operasi ini, 2 orang Papua tewas, 4 orang terluka, 78 rumah dibakar oleh Satgas Ops, 8 sekolah dasar dan 2 sekolah menengah pertama tidak dapat berfungsi.
Selain itu sejumlah gereja tidak dapat menyelenggarakan kebaktian keagamaan. Kemudian akibat dari orang yang melarikan diri, 37 orang meninggal termasuk 13 bayi, 7 anak, dan 17 orang dewasa.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih