tirto.id - Untuk pertama kali dalam sejarah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akan dibangun jalan tol yang terbagi menjadi 6 seksi, yaitu: Seksi 1 Yogyakarta-Banyurejo sepanjang 8,25 Km, Seksi 2 Banyurejo- Borobudur sepanjang 15,26 Km, Seksi 3 Borobudur-Magelang sepanjang 8,08 Km, Seksi 4 Magelang- Temanggung sepanjang 16,46 Km, Seksi 5 Temanggung-Ambarawa sepanjang 22,56 Km dan Seksi 6 Ambarawa-Bawen sepanjang 5,21 Km.
Jalan Tol Yogyakarta-Bawen memiliki total panjang 75,82 Km dengan periode konsesi selama 40 tahun dan nilai investasi sebesar Rp14,26 triliun. Jalan tol ini akan melintasi Provinsi Jawa Tengah sepanjang 68,17 Km dan DIY sepanjang 7,65 Km.
Peristiwa bersejarah tersebut ditandai dengan proses peletakan batu pertama atau groundbreaking di Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, Rabu, 30 Maret 2022.
Proses pembangunan tol di Yogyakarta sendiri terbilang unik, karena akan melewati sejumlah lokasi dan benda cagar budaya seperti Selokan Mataram dan juga tanah milik Kesultanan Yogyakarta atau yang dikenal dengan Sultan Ground.
Oleh karena itu, PT Jasamarga Jogja Bawen yang mengelola jalan tersebut melakukan proyek pembangunan secara hati-hati, terutama yang berkaitan dengan cagar budaya Yogyakarta.
“Menindaklanjuti arahan Menteri PUPR terkait aspek menjaga kelestarian lingkungan hidup, maka pada Seksi 5, kami membangun konstruksi tunnel/terowongan yang menembus wilayah perbukitan, berlokasi di STA 20+300 s.d STA 20+800. Tidak hanya itu, kami juga membangun konstruksi elevated sepanjang 4,4 Km di atas Selokan Mataram yang merupakan cagar budaya Yogyakarta,” kata Direktur Utama PT Jasamarga Jogja Bawen, Oemi Vierta Moerdika.
Selain berhati-hati karena adanya cagar budaya yang harus dihadapi dalam proses pembangunan jalan tol, nantinya ada sejumlah tanah yang merupakan hak milik Keraton Yogyakarta.
Meski mengizinkan untuk dibangun jalan tol, yang akan melewati Yogyakarta-Bawen, dan Solo-Yogyakarta-Yogyakarta International Airport (YIA) Kulon Progo, namun Keraton Yogyakarta tidak memperkenankan tanahnya untuk dibebaskan oleh pemerintah.
Pernyataan tersebut pertama disampaikan Penghageng Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi. “Yang pasti kami enggak mau ada pelepasan,” ujar GKR Mangkubumi kepada awak media di Komplek Kepatihan, Kamis (14/4/2022).
Walau tidak membuka pintu pembebasan bagi lahan Sultan Ground, tapi GKR Mangkubumi mengizinkan pemerintah pusat untuk membuka jalan tol secara cuma-cuma dengan status hak pakai tanpa sewa alias tanpa ada pungutan biaya.
“Gratis ya boleh kok, hak pakai. Pakai saja, yang penting tanah kami tidak hilang,” kata GKR Mangkubumi.
GKR Mangkubumi menyebut sudah ada pembicaraan antara Keraton Yogyakarta dan Kementerian PUPR dalam pembangunan jalan tol di atas lahan Sultan Ground. Namun dirinya enggan merincikan percakapan tersebut serta tidak menyebut lahan mana saja yang terkena imbas dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu.
“Monggo [silakan] saja kalau mau sistem itu, monggo. Kalau enggak, kita enggak perlu jalan tol," tegasnya.
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menguatkan pernyataan putri sulungnya. Ia menegaskan tidak diperkenankannya lahan Sultan Ground dibebaskan alias dibeli oleh pemerintah untuk proyek jalan tol. Alasannya, khawatir akan hilangnya muruah dari kedaulatan Kraton dan Pakualaman di Yogyakarta.
“Dan kalau saya kira, salah satu dasar kesitimewaan DIY adalah Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Kalau habis, maka istimewanya apa lagi?" kata Sri Sultan saat dikonfirmasi awak media pada Selasa (19/4/2022).
Sultan menjelaskan selama tanah Sultan Ground masih diperuntukkan untuk kepentingan publik, maka boleh digunakan dan tanpa dipungut biaya.
“Selama mau dipakai silakan, dan seperti UGM dan lainnya masih dipakai silakan saja,” kata Sultan mencontohkan.
Jalan Tol dan Kedaulatan Kesitimewaan Yogyakarta
Wacana pembangunan jalan tol di Yogyakarta sejatinya sudah berlangsung lama. Bersamaan dengan dibangunnya Bandara Interasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport di Kabupaten Kulon Progo.
Namun dalam proses menuju kesepakatan sempat alot antara pemerintah pusat dengan Sri Sultan. Ia enggan ada jalan tol yang terhubung dengan Bandara YIA, karena khawatir mematikan aspek ekonomi yang berada di Kabupaten Kulon Progo.
“Adanya bandara itu untuk pertumbuhan ekonomi Yogyakarta. Kalau turun dari airport diterima tol, Yogyakarta dapat apa? Kita tidak dapat apa-apa, makan saja tidak," kata Sultan HB X dilansir Antara saat ia menghadiri acara syawalan di Kulon Progo pada 19 Juni 2019.
Saat itu, Sultan HB X skeptis dengan fungsi serta keberadaan jalan tol. Apakah bermanfaat atau tidak pada masyarakat?
“Kalau tol bermanfaat, mari kita bicara, kalau masyarakat Kulon Progo tidak dapat apa-apa, untuk apa dibangun tol. Apa juga dibangun bandara," imbuhnya.
Ekspresi penolakan Sultan pada jalan tol saat itu dan kini berubah menjadi penolakan atas pembebasan lahan Sultan Ground, tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya Sultan memiliki kedaulatan atas keistimewaan di Yogyakarta sebagai daerah yang dia pimpin.
Hal itu diperkuat dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang memberikan kewenangan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom untuk mengurus tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur; kelembagaan pemerintah DIY; kebudayaan; pertanahan, dan tata ruang.
Secara spesifik kewenangan atas tanah juga diatur dalam Pasal 32 dan 33 yang memberikan kewenangan pada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualaman untuk menyelenggarakan kewenangan pertanahan dinyatakan sebagai badan hukum yang merupakan subjek hak milik atas tanah Kasultanan dan Kadipaten.
Dalam jurnal yang ditulis Rangga Alfiandri dengan judul “Politik Hukum Pengaturan Sultan Ground Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 Tentang Keistimewaan Yogyakarta Dan Hukum Tanah” yang diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, menyebut pengaturan terkait pertanahan sudah diatur sejak sebelum kemerdekaan.
Hal itu tertuang pada Rijksblad Kasultanan No.16 Tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman No.18 Tahun 1918 yang menyatakan: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun.”
Artinya: bahwasanya semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan oleh orang melalui hak eigendom (milik), maka tanah tersebut menjadi millik kerajaanku.
Merespons aturan tersebut, peneliti di Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati mengungkapkan bahwa proyek nasional yang berlangsung di atas Sultan Ground berada dalam kendali dari Sultan HB X.
“Kalau mengacu pada Undang-undang No. 13 Tahun 2012, pertanahanan itu merupakan kewenangan dari keistimewaan dan terlebih lagi dalam Pasal 32 disebutkan ‘Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan.’ Maka saya pikir akan ada pengeculian proyek nasional di mana itu menggunakan SG (Sultan Ground) atau PG (Pakualaman Ground)" kata Wasisto saat dihubungi Tirto, Selasa (26/4/2022).
Oleh karenanya, bagi Wasisto penolakan dari Keraton Yogyakarta terhadap pembebasan lahan Sultan Ground merupakan hal yang wajar sebagai bentuk penjagaan atas keistimewaannya.
“Penolakan Sultan tersebut memang bagian dari upaya untuk menghindari komersialisasi agraria lebih mahal di DIY. Selain itu, penolakan itu juga didasari adanya upaya pemagaran aset kasultananan agar tidak terkonversi statusnya," kata Wasisto.
Meski proses pembangunan tol berujung pada penolakan pembebasan lahan, Wasisto memperkirakan tidak akan ada konflik agraria di atas lahan Sultan Ground.
“Potensi konflik sebenarnya minim karena sebenarnya SG maupun PG hampir seluruhnya sudah tersertifikasi. Sedangkan konflik agraria biasanya lebih pada alih fungsi hak guna pakai atau hak guna bangunan SG yang tidak tercantum pada kekancingan antara warga dengan pihak kasultanan,” kata dia.
Ketidakadilan Hukum Agraria di Atas Sultan Ground
Melihat gigihnya Keraton Yogyakarta berusaha membela lahan Sultan Ground dari proses pembebasan jalan tol, mengingatkan kembali pada pembebasan lahan warga di Bandara YIA yang terjadi pada kurun 2018.
Saat itu banyak warga di Desa Glagah, Temon, Kluon Progo yang harus melepaskan tanah Sultan dan Pakualaman Ground demi pembangunan Bandara YIA. Namun para warga tak mendapat kompensasi atas tanah yang selama ini mereka rawat meski tanpa sertifikat.
Saat itu para raja baik dari Kasultanan maupun Pakualaman membisu, tak ada upaya membela atau mempertahankan seperti saat ini. Hingga hanya berujung pada dana tali asih yang membuat para penghuni dan pengguna tanah Sultan dan Pakualaman Ground harus angkat kaki.
Kenangan itu juga kembali diingat Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Ia menyebut keberadaan Sultan Ground menyalahi undang-undang. Menurutnya segala tanah keistimewaan di Yogyakarta sudah terpatahkan oleh Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan UU Pokok Agraria di Yogyakarta.
Dalam Keppres itu diatur bahwa sejak 1984, UU Pokok Agraria 1960 berlaku sepenuhnya di Yogyakarta. Keppres ini pun dikuatkan lewat Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang pemberlakukan UU Pokok Agraria di Yogyakarta. Pasal 3 Perda itu berbunyi, “Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.”
"Seharusnya sejak ada UU Pokok Agraria segala tanah swapraja termasuk Sultan Ground sudah terhapus secara sendirinya," kata Dewi saat dihubungi reporter Tirto.
Menurut Dewi, Sultan Ground adalah salah satu bentuk diskriminasi hukum yang masih terjadi di Indonesia. Apabila tidak diselesaikan, maka akan rawan menimbulkan masalah, tidak hanya berkaitan dengan proyesk strategis nasional, tapi juga dari masyarakat yang kerap menggunakan Sultan Ground dalam mata pencaharian.
“Saat ini semua tanah swaparaja sudah dihapuskan di Indonesia, dan klaim tanah pembebasan juga sudah tidak boleh menggunakan hak sewa dan hak pinjam, kalau menggunakan UU Pokok Agraria maka akan terhapus dengan sendirinya," terangnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz