tirto.id - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY), Budi Masturi menyebutkan, tindakan pengosongan lahan pembangunan bandara di Kulon Progo mengarah pada dugaan maladministrasi. Hal tersebut berdasarkan investigasi yang dilakukan ORI sejak akhir November 2017.
"Dari keterangan saksi, dokumen, dan beberapa fakta mengenai kejadian pembongkaran, kekerasan itu bisa terkonfirmasi di lapangan. Lalu ada keterangan dari saksi ahli yang semakin memperkuat adanya dugaan maladministrasi," kata Budi di kantor ORI DIY, Kamis (11/1/2018).
Laporan awal yang masuk ke ORI DIY, ada dugaan penyimpangan aturan saat pengosongan lahan. Tak hanya itu, PT Angkasa Pura I (AP I) dan aparat kepolisian juga diduga melakukan tindakan sewenang-wenang dan melakukan kekerasan terhadap warga.
"Hasil pemeriksaan lengkapnya kami sampaikan minggu depan, tapi temuan kami mengarah pada maladministrasi," tandas Budi.
Hasil investigasi ORI DIY itu, lanjut Budi, akan disampaikan pada minggu kedua Januari kepada sejumlah pihak, yaitu PT AP I, kepolisian, PT PLN, dan Pemkab Kulon Progo.
Sejauh ini, ORI DIY sudah melakukan delapan langkah untuk menindaklanjuti laporan warga terkait dugaan maladministrasi pengosongan lahan bandara. Langkah tersebut termasuk melayangkan surat imbauan untuk AP I agar menunda pengosongan lahan dan pembongkaran bangunan milik warga pelapor.
Terkait hal ini, Budi mengatakan sudah menegur AP I yang tetap melakukan pengosongan pada Senin (8/1/2017) kemarin. Namun menurut keterangan Budi, AP I berdalih tidak membongkar rumah pelapor, hanya lahan dan pohon saja.
Pengosongan lahan kemarin sempat disertai kericuhan antara aparat dengan warga. Tiga aktivis dan seorang warga pun melaporkan kekerasan yang dialami saat pembebasan lahan ini ke Polda DIY.
"Kami sifatnya memantau karena kan masalah pokoknya sudah dilaporkan sebelumnya. Kami beri kesempatan kepolisian untuk menindaklanjuti, namun apabila warga kecewa pada kepolisian, warga punya hak melaporkan itu ke Ombudsman," kata Budi.
Soal rekomendasi dari hasil investigasi perkara ini masih dipertimbangkan. Pasalnya, rekomendasi akan diberikan jika pihak terlapor tidak memperbaiki diri usai menerima hasil pemeriksaan.
"Hasil akhir pemeriksaan ini untuk memberikan kesempatan melakukan perbaikan tanpa perlu ada rekomendasi. Kalau pihak terlapor tidak berkenan melaksanakan, baru dinaikkan ke [Ombudsman] Jakarta, untuk diberi rekomendasi," tutur Budi.
Menurutnya, rekomendasi ini sifatnya wajib dan berlandaskan konstitusi hukum. "Kalau tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi. Misalnya, kalau kepala daerah bisa diskors tiga bulan, dikirim ke pelatihan di Kemendagri dengan status nonaktif. Ada itu di UU Pemda yang baru."
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maya Saputri