tirto.id - Pengosongan paksa lahan Bandara Kulon Progo, atau New Yogyakarta International Airport (NYIA), kembali disertai aksi kekerasan aparat pada Senin (8/1/2018).
Kekerasan itu dipicu kericuhan yang terjadi di tengah rombongan ekskavator dan tim PT Angkasa Pura I, yang dikawal ratusan aparat gabungan kepolisian, TNI dan Satpol PP, melakukan pengosongan lahan pada hari ini, sejak Senin pagi hingga menjelang sore.
Kericuhan terjadi antara aparat dengan sejumlah warga yang masih menolak menyerahkan lahannya untuk lokasi bandara. Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP).
“Pemicunya (kericuhan) karena ekskavator merusak ladang cabe milik warga yang belum menyerahkan lahannya untuk bandara,” kata Teguh Purnomo, kuasa hukum PWPP-KP, yang menyaksikan proses pengosongan paksa lahan itu pada hari ini.
Ladang cabe itu milik imam masjid Al-Hidayah, Ustaz Sofyan. Masjid al-Hidayah selama ini menjadi markas para aktivis yang bersolidaritas melakukan advokasi dan pendampingan kepada para warga di Desa Palihan dan Glagah, Kecamatan Temon, yang menolak menyerahkan lahannya. Sofyan juga salah satu warga Desa Palihan, Kecamatan Temon yang selama ini getol menolak pembangunan bandara Kulon Progo.
“Lokasi ladang cabe beberapa ratus meter di selatan masjid al-Hidayah,” kata Teguh.
Menurut Teguh, perusakan ladang cabe siap panen itu memicu protes warga. Tapi ketika mereka hendak menghentikan perusakan ladang cabe, sejumlah aparat kepolisian membentuk barikade dan terlibat aksi saling dorong dan cekcok dengan warga. Menurut Teguh, para warga sebenarnya berupaya meyakinkan tim pengosongan lahan bandara bahwa ladang cabe itu belum dilepas oleh pemiliknya.
Teguh mencatat, setidaknya ada 5 warga yang menjadi sasaran pukulan aparat saat kericuhan terjadi. Dua warga sempat dilarikan ke salah satu rumah sakit di kawasan Temon, tapi sudah pulang pada hari ini.
“Satu warga terluka dan berdarah mulutnya karena kena tonjok, satu lagi sakit di bagian telinga,” kata Teguh.
Warga yang terluka dan berdarah di bagian mulutnya ialah Suyadi (39). Ia sempat terkapar usai terkena pukulan. “Dia sempat juga terinjak-injak, karena situasinya ramai dan ricuh,” kata Teguh.
Teguh mendesak kepolisian mengusut keterlibatan anggotanya dalam insiden kericuhan hari ini. “Kalau perlu diberi sanksi,” kata dia.
Kericuhan yang disertai aksi kekerasan aparat saat proses pengosongan paksa lahan Bandara Kulon Progo kali ini bukan yang pertama. Insiden serupa juga telah terjadi pada awal Desember 2017. Sebelum itu, kericuhan serupa juga terjadi pada pertengahan November 2017, saat meteran listrik di rumah milik para warga penolak Bandara Kulon Progo dicopoti oleh PT PLN.
Kini masih terdapat 87 kepala keluarga yang menolak menyerahkan lahannya. Mereka menempati 37 rumah di Desan Palihan dan Glagah, Kecamatan Temon. Total jumlah anggota 87 keluarga itu sekitar 300-jiwa. Para warga yang tergabung dalam PWPP-KP memiliki sejumlah bidang lahan pekarangan, rumah dan ladang.
Polisi: 'Pengosongan Lahan, Bukan Penggusuran'
Saat dimintai konfirmasi oleh reporter Tirto melalui sambungan telepon, Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai mengklaim belum menerima laporan mengenai insiden kericuhan saat pengosongan paksa lahan bandara Kulon Progo pada hari ini.
Ia hanya mengatakan, "Ini land clearing, ya. Jadi bukan penggusuran. Jangan dipelintir."
Irfan menyatakan demikian sebab mengklaim semua lahan yang dikosongkan pada hari ini sudah menjadi milik PT Angkasa Pura I dan akan digunakan untuk lokasi Bandara NYIA.
Manajer Pembangunan Bandara Kulon Progo (NYIA) PT Angkasa Pura 1, Sujiastono, juga menyatakan tidak ada kericuhan terjadi saat pengosongan lahan bandara di Temon, pada hari ini.
"Gak ada yang ricuh," ujar dia melalui pesan Whatsapp. "Saya belum ada (menerima) laporan (soal kericuhan)."
Sujiastono menambahkan, "Setahu saya tidak ada yang ricuh. Kalau dorong-dorongan dikit, memang ada, karena mahasiswa menghadang alat kerja. Kan bahaya kalau alat berat dihadang."
Saat dimintai tanggapan soal laporan kericuhan dari kuasa hukum PWPP-KP, Sujiastono menjawab, "Kalau kata PWPP-KP... itu, kan, kata mereka. Kami melanjutkan landclearing terhadap bidang yang sudah dikonsinyasi."
Baca juga:
- Polemik Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya
- PN Wates Sebut Ada 222 Perkara Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo
Konsinyasi ini memicu perdebatan juga. Berkebalikan dengan sikap PT Angkasa Pura I, para warga anggota PWPP-KP berpendapat bahwa pembebasan tanah lokasi bandara melalui mekanisme konsinyasi tidak sah selama mereka belum menyetujui pelepasan lahan miliknya.
9 Januari 2018 pagi, pihak Angkasa Pura I mengirimkan pernyataan mengenai insiden tersebut. Mereka mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan instruksi kepada tim pengamanan untuk menjalankan pengamanan dengan baik tanpa ada tindak kekerasan. Angkasa Pura I juga mengklaim bahwa ekskavator hanya bergerak ke rumah yang sudah tidak berpenghuni dan tanaman yang sudah di konsinyasikan ke Pengadilan Negeri Wates.
Angkasa Pura I tidak menyangkal terjadinya aksi saling dorong antara warga dengan aparat keamanan yang menimbulkan "seorang warga jatuh di dalam kerumunan ... yang menyebabkan luka". Namun Angkasa Pura 1 mengklaim warga yang terjatuh dan terluka itu "dapat berdiri kembali".
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom