tirto.id - Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) membeberkan beberapa hal yang menjadi alasan kuat menurut ajaran Islam untuk menolak rencana pembangunan bandara New Yogyakarta Internatioal Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinator Komite Nasional FNKSDA, Muhammad Al-Fayyadl menyatakan bahwa yang terjadi saat ini di lokasi terdampak rencana bandara adalah “ghosob”, yaitu pemerkosaan hak-hak orang lain melalui cara yang zalim lantaran akad jual beli yang dilakukan warga dan PT Angkasa Pura I (AP I) tidak sah atau “fasid”.
Sistem konsinyasi yang dilakukan AP I dinilai aneh dan tidak sesuai dengan prinsip akad jual beli yang sah, yaitu prinsip kesukarelaan kedua belah pihak (’an taraadlin) sebagaimana dinyatakan dalam Kitab-kitab Fiqh.
Para ulama mendefinisikan “ghosob” sebagai “penguasaan atas hak milik orang lain dengan cara yang menimbulkan permusuhan, artinya dengan membuat orang memusuhinya atau dengan memaksanya dengan jalan tidak benar”, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaily, Juz V: 709.
"Tindakan 'ghosob' ini juga dilakukan oleh PT Angkasa Pura I dengan terjadinya perusakan atas sejumlah pepohonan dan tanaman milik warga, perusakan pekarangan, serta pada tanggal 27 November 2017 pemutusan listrik secara paksa dari rumah-rumah warga yang bertahan," kata Al-Fayyadl dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Jumat (8/12/2017).
Dengan demikian, pelepasan lahan yang terjadi di lokasi tersebut selama ini tidak sah. Perusakan ini adalah suatu “itlaaf", artinya merusak harta sah orang lain, merupakan suatu tindak pidana dan kejahatan dalam hukum Islam.
Selanjutnya, FNKSDA menilai, alih fungsi lahan pertanian produktif secara besar-besaran di lokasi terdampak bandara akan menghancurkan ekosistem dan budaya agraris di daerah Kulon Progo yang terkenal dengan produk-produk pertaniannya.
Pada Muktamar ke-33 di Jombang (2015), Nahdlatul Ulama (NU) telah memfatwakan: “Mengalihfungsikan lahan produktif seperti lahan pertanian atau ladang menjadi perumahan, perkantoran atau pabrik yang diyakini berdampak madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) pada perekonomian, hukumnya haram”.
Yang terjadi di Kulon Progo saat ini dianggap sebagai suatu madharrah ‘ammah (mudarat yang nyata) berupa penghancuran desa-desa, budaya dan ekosistem agraris, dan penghancuran kaum petani dan lapisan rakyat lainnya.
Dampak paling jelas dari adanya alih fungsi besar-besaran ini menurut FNKSDA adalah pemiskinan rakyat, terusirnya mereka dari kampung halaman, alih profesi petani, serta meningkatnya pengangguran dan fakir-lahan.
Atas pertimbangan ini, maka santri Nahdliyin mendesak pemerintah untuk segera menghentikan rencana pembangunan NYIA. Aparat juga diminta untuk tidak mengintimidasi warga dan mengembalikan hak-hak warga yang telah dirusak selama proses pengosongan lahan.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra