Menuju konten utama

Sesalkan Kasus Robet, PSI Ingin Pasal Karet Pada UU ITE Dihapus

Menurut Sigit penangkapan tersebut sangat disayangkan apalagi hanya karena menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan aktivis Reformasi 1998.

Sesalkan Kasus Robet, PSI Ingin Pasal Karet Pada UU ITE Dihapus
Robertus Robet Menyanyikan Parodi Mars ABRI pada saat Aksi Kamisan ke-576 yang memprotes Dwi Fungsi ABRI. Parodi Lagu tersebut sempat populer pada Aksi Reformasi 1998. youtube/Jakartanicus

tirto.id -

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai perlu adanya kajian untuk melakukan kembali revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Revisi khususnya harus dilakukan pada pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat.

“Pasal 28 ayat 2 sering digunakan sebagai alasan untuk menangkap seseorang yang menyampaikan pendapat secara terbuka atau dalam suatu forum tertutup, kemudian kontennya menyebar melalui internet,” ujar juru bicara PSI bidang Teknologi Informasi, Sigit Widodo dalam keterangannya kepada Tirto, Minggu (10/3/2019).

Kasus terakhir yang mencuat adalah penangkapan aktivis HAM dan doses sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet yang menyanyikan plesetan Mars ABRI dan kemudian dijerat dengan Pasal 45 A ayat (2) jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Sesuai pasal tersebut Robet diduga telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Menurut Sigit penangkapan tersebut sangat disayangkan apalagi hanya karena menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan aktivis Reformasi 1998.

"Terutama usai Tragedi Trisakti 12 Mei, hampir setiap saat kami menyanyikan lagu itu. Mungkin menyanyikan plesetan Mars ABRI di tahun 2019 dalam konteks Indonesia yang demokratis agak sedikit lebay, tapi itu bukan alasan untuk menahan seseorang," jelasnya.

Revisi UU ITE sebenarnya sudah dilakukan pada 2016 dengan mengeluarkan UU nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kata Sigit salah satu semangat revisi pada saat itu adalah pengurangan ancaman pidana menjadi di bawah lima tahun agar tidak perlu dilakukan penahanan pada tersangka.

Sigit mengungkapkan, Undang-undang nomor 16 tahun 2016 mengurangi ancaman pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun dan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara dua belas tahun menjadi empat tahun.

“Sayangnya, khusus Pasal 28 ancaman pidananya masih dibiarkan enam tahun sehingga tersangka bisa ditahan,” kata Sigit.

Sigit menilai revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 silam hanya melakukan tambal sulam.

Untuk itulah, menurutnya perlu dilakukan revisi kembali agar undang-undang ini bukan merugikan masyarakat hanya karena menyampaikan ekspresinya.

PSI, lanjutnya siap melakukan revisi saat masuk ke parlemen setelah Pemilu 2019.

“UU ITE perlu dikaji lagi secara menyeluruh. Revisi perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di dalam masyarakat. PSI akan mendorong dilakukannya revisi pada UU ITE saat sudah masuk ke parlemen nanti,” pungkas Sigit.

Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI ABRI atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Nur Hidayah Perwitasari