tirto.id - Presiden Joko Widodo baru saja melonggarkan aturan memakai masker di ruang terbuka. Meski terdengar melegakan karena artinya Indonesia sudah mampu menekan laju infeksi COVID-19, sebagian masyarakat justru terlanjur “nyaman” bermasker di tempat umum.
Relasi manusia dengan masker saat ini bisa dibilang “benci-benci cinta”. Penyesuaian bermasker di awal pandemi sungguh sulit bukan main karena orang-orang merasa sesak jika harus memakai masker berjam-jam. Yang lain mengeluh sering berjerawat dan jadi lebih sulit berkomunikasi akibat terhalang masker.
Namun, dua tahun pandemi rasanya lebih dari cukup untuk membuat orang-orang ini jadi terbiasa dengan masker. Sekarang, masker bagi sebagian orang malah jadi keharusan. Rasanya aneh, ada yang kurang, atau tak nyaman jika harus mengekspose seluruh bagian muka.
Guyonan yang berkembang justru menampilkan superioritas masker ketika disandingkan dengan gawai yang telah menjadi candu manusia.
“Lebih baik lupa bawa handphone dibanding lupa memakai masker.”
Padahal sebelum pandemi Covid-19 menyerang dunia, penggunaan masker secara umum tidaklah populer. Kecuali bagi orang-orang tertentu seperti tenaga kesehatan, selebritas yang sedang menyamar, atau pasien dalam masa perawatan khusus.
Memakai masker sebelum pandemi justru membuat orang terlihat tidak menarik. Studi Miyazaki dan Kawahara bertajuk “The Sanitary-Mask Effect on Perceived Facial Attractiveness” (2016) mengungkap bahwa masker dipersepsikan dekat dengan “penyakit” sehingga pemakainya dianggap tidak sehat.
“Daya tarik wajah akan berkurang saat mengenakan masker dan kembali meningkat (jika dibandingkan) ketika objek penelitian menutup wajah dengan buku atau kartu,” tulis studi tersebut.
Namun, lebih dari dua tahun pandemi COVID-19 sudah mampu mengubah persepsi buruk masker. Benda ini sekarang punya arti lebih dari sekadar alat perlindungan dari penyakit. Masker bahkan telah mengubah citra pemakainya menjadi lebih menarik—kontradiktif dengan penelitian prapandemi.
“Wajah yang ditutupi masker bedah sekali pakai cenderung dianggap paling menarik dibanding masker kain atau menutup wajah dengan buku,” kata studi garapan peneliti Universitas Cardiff.
Ancaman Virus Lain Semakin Nyata
Para peneliti dalam studi tersebut menduga faktor perubahan persepsi masker dipengaruhi oleh pandemi. Masa-masa rentan telah membuat manusia terbiasa berhadapan dengan petugas kesehatan yang bermasker hingga pada akhirnya masker berubah kesan menjadi “aman” dan penggunanya dianggap memiliki nilai yang lebih positif.
Studi ini dilakukan pada Februari 2021 ketika penduduk Inggris telah terbiasa memakai masker. Untuk mengukur nilai daya tarik, sebanyak 43 perempuan diminta menilai foto pria tanpa masker, memakai masker kain polos, masker medis berwarna biru, dan buku hitam polos yang menutup area masker.
Para peserta mengatakan gambar dengan masker kain lebih menarik dibanding tidak memakai masker atau wajah yang sebagian tertutup buku. Namun, masker medis punya daya tarik paling tinggi diantara yang lain. Selain karena adaptasi terhadap pandemi, peneliti menduga bahwa perubahan persepsi ini juga disebabkan faktor sentralisasi visual pada otak.
“Masker membuat otak memfokuskan perhatian ke mata. Otak punya mekanisme mengisi celah yang hilang dan menonjolkan bagian yang terekspose,” demikian kata Michael B. Lewis, salah satu peneliti.
Masker bertransformasi menjadi bagian dari fesyen. Fungsinya mengalami ameliorasi, bahkan sebagian orang menjadikan benda ini penyempurna penampilan saat keluar rumah. Masker membikin sebagian perempuan tak perlu merias diri saat keluar rumah. Ia sangat praktis, juga menghemat waktu dan alat rias tentunya.
Masker juga mampu menyembunyikan air muka galak dari para pemilik resting bitch face (RBF). Atau menjadi alat “bersembunyi” bagi para introvert yang sungkan menyapa orang. Namun terlepas dari bagian fesyen atau peningkatan daya tarik, saya punya seribu alasan lain mengapa Anda tetap perlu memakai masker. Salah satunya ancaman penyakit yang makin menggila belakangan ini.
Setelah COVID-9, beberapa ancaman penyakit lain muncul ke permukaan, baik yang baru seperti hepatitis akut, penyakit lama yang kembali mewabah layaknya cacar monyet dan flu singapura, atau penyakit lama yang masih jadi ancaman seperti tuberkulosis.
Saat ini, lantaran perubahan lingkungan besar-besaran, manusia memang tengah menghadapi ancaman mutasi virus yang lebih besar.
Para ahli kesehatan dunia telah menemukan ancaman lain berupa virus purba yang bisa saja muncul akibat perubahan iklim.Pada 1992, misalnya, sekelompok peneliti pernah mengumpulkan sampel inti es dari gletser di dataran tinggi Guliya, Tibet Barat. Kemudian pada 2015, tim berbeda dari Amerika dan China mengambil sampel es yang sama. Mereka memprediksi sampel tersebut berumur sekitar 520-15 ribu tahun.
Para ilmuwan mengambil sampel dua inti es itu dengan cara mengebor gletser hingga kedalaman 50 meter. Agar sampel es tidak terkontaminasi, mereka memotong beberapa lapisan luar setiap sampel kemudian mencucinya dengan etanol agar lapisan es mencair sekitar 0,2 inci. Setelah itu lapisan es yang tersisa masih dicuci ulang menggunakan air steril guna mencairkan 0,2 inci es.
“Mulanya, peneliti hanya ingin mencari petunjuk tentang iklim masa lalu. Namun, kami justru menemukan jendela evolusi mikroba (virus),” ungkap studi yang dipublikasikan dalam server preprint bioRxiv.
Para peneliti itu menemukan sekira 33 spesies virus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 28 virus berasal dari genus yang belum teridentifikasi. Dari hasil temuan ini pula, tim peneliti menduga perubahan lingkungan yang membikin es bumi mencair dapat membebaskan perangkap es yang membekukan mikroba dan virus purba.
Skenario terburuk: suatu hari nanti, patogen tersebut mungkin saja dapat kembali ke lingkungan dan menyebabkanpandemi penyakit baru. Makamanusia harus bersiap menghadapi ancaman tersebut. Salah satu caranya tentu dengan menghindari kontak langsung antar orang dengan tetap menggunakan masker.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi