tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. SPDP ini keluar terkait dugaan pemalsuan surat pencegahan yang dikeluarkan KPK terhadap Ketua DPR Setya Novanto.
"Saya melihatnya lebih terkesan kepolisian seperti dimanfaatkan pihak Setya Novanto," kata Praktisi hukum Universitas Andalas Ferry Amsari saat dihubungi Tirto, Kamis (9/11/2017).
Ferry menjelaskan, kesan itu muncul karena pelapor dalam kasus dugaan pemalsuan ini adalah Sandy Kurniawan Singarimbun, yang tak lain kuasa hukum Setya Novanto. Seperti diketahui, Setya Novanto sebelumnya pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi e-KTP. Setnov sendiri akhirnya memenangkan praperadilan.
Baca juga: Menang Praperadilan, Setya Novanto Lepas Status Tersangka
Ferry menyayangkan sikap polisi yang menurutnya kurang mampu membaca persoalan. Polri diharap mampu melihat laporan yang dilayangkan Sandy sebagai serangan balik dari pihak berperkara kepada KPK. Sehingga, kata dia, laporan itu semestinya tidak ditanggapi.
Tak hanya itu, Ferry menilai, penyidikan perkara dugaan pemalsuan surat ini berpotensi mengarah ke episode baru Cicak vs Buaya. Ferry menyebut, publik akan menilai polisi rela dijadikan alat lantaran punya misi pribadi dalam menyerang KPK. ini mengingat hubungan dua institusi ini kerap memanas. Yang terbaru, KPK mengembalikan dua penyidiknya ke Polri, karena diduga merusak alat bukti salah satu kasus.
Karena itu, Ferry meminta Polri selektif dalam memproses aduan. Ini untuk menghindarkan asusmsi polisi menjadi boneka pihak tertentu yang hendak menyerang KPK.
“Jadi sebetulnya polisi bisa menolak untuk memproses. Polisi jangan mau dijadikan boneka. Publik juga kan bisa berasumsi bahwa Polri ingin membalaskan sesuatu kepada KPK,” kata Ferry melanjutkan.
Dihubungi terpisah, praktisi hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut, polisi seharusnya tidak memproses kasus dugaan pemalsuan ini. Malah, kata dia, langkah pengusutan ini bisa dikenakan tindakan menghalangi pengusutan perkara korupsi (Obstruction of Justice) sebagaimana Pasal 21 Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi.
“Ini bisa ditafsirkan sebagai menghalangi penuntutan perkara korupsi sebagaimana tercantum di Pasal 21 UU Tipikor,” kata Fickar.
Pendapat ini disampaikan Fickar lantaran dirinya menilai, KPK punya asas legalitas dalam menerbitkan surat pencegahan, seperti termaktub dalam Pasal 12 Ayat 1 B UU KPK. Terlebih, surat tersebut diterbitkan dalam kerangka penanganan perkara yang sedang diusut.
Hal lain yang membuat janggal adalah SPDP itu menyasar dua pimpinan KPK. Padahal, kata Fickar, setiap putusan KPK bersifat kolektif kolegial.
“Yang dilakukan Agus dan Saut bukan tindakan orang perorang melainkan kelembagaan. Sehingga menjadi aneh juga jika hanya Agus dan Saut yang dipersoalkan, karena itu putusan lembaga itu kolektif kolegial,” ucap Fickar.
Baca juga: Kuasa Hukum Setnov Bawa SPDP untuk Agus Raharjo dan Saut Situmorang
Terkait masalah ini, Mabes Polri punya pendapat lain. Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto berpandangan proses pengeluaran SPDP untuk Agus dan Saut telah sesuai dengan prosedur yang ada.
“Sudah sesuai semua,” kata Rikwanto dalam pesan singkat kepada Tirto.
Rikwanto enggan mengomentari lebih jauh soal kasus itu. Menurut dia, saat ini polisi sudah memeriksa 6 saksi dan meminta keterangan dari seorang ahli bahasa, tiga ahli pidana dan seorang ahli hukum tata negara.
“Penyidik yang menangani dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri," kata Rikwanto.
Sementara Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, menampik dituding memanfaatkan polisi. Menurut dia, pelaporan dilakukan sebagai langkah membela kliennya. “Masa kita bela diri dikatakan menyerang?” kata Fredrich.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih