tirto.id - Ibrahim Malik, terduga pelaku kekerasan seksual terhadap puluhan perempuan yang kasusnya mencuat pada Mei lalu, tak terima gelar mahasiswa berprestasinya dicabut oleh Universitas Islam Indonesia (UII). Ia pun menggugat kampusnya sendiri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.
“UII mencabut gelar mahasiswa berprestasinya Ibrahim Malik padahal dia belum dinyatakan bersalah, belum dilaporkan ke pihak yang berwajib, belum diproses apa pun dan baru sepihak,” kata Abdul Hamid, kuasa hukum Ibrahim Malik, saat dihubungi reporter Tirto, Senin (28/9/2020). “Menuntut agar gelar mahasiswa berprestasi itu dikembalikan seperti semula karena pencabutan waktu itu tanpa dasar.”
Gugatan Ibrahim Malik terdaftar di PTUN Yogyakarta tertanggal 16 September 2020 dengan nomor perkara 17/G/2020/PTUN.YK16 Sep 2020. Senin 28 September kemarin sidang pertama digelar. Hamid bilang Ibrahim Malik hadir.
Hamid juga mengatakan Ibrahim Malik akan melaporkan pidana orang-orang yang telah mencemarkan nama baiknya--menudingnya melakukan kekerasan seksual. “Belum ada pelaporan tapi rencananya pasti seperti itu,” katanya.
Tuduhan kepada Ibrahim Malik bergulir di media sosial, kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta melakukan konferensi pers mengungkap kesaksian para korban. Setelah itu ada pihak yang juga membuat petisi untuk menggagalkan studi dan beasiswa Ibrahim Malik di Australia. “Kemudian ada beberapa oknum yang melakukan ujaran kebencian. Aliansi UII Bergerak juga telah melakukan upaya-upaya pencemaran nama baik di media sosial.”
Tujuan pelaporan untuk “untuk memperbaiki nama baik yang sudah hancur,” kata Hamid.
Kepala Bagian Humas UII Ratna Permatasari mengatakan institusinya telah siap menghadapi gugatan dari sang alumnus. “UII sudah menunjuk tim kuasa hukum,” kata Ratna kepada reporter Tirto, Senin.
Tidak Kuat
Sebanyak 30 aduan diterima LBH Yogyakarta per 4 Mei 2020, baik oleh korban langsung atau lewat pihak ketiga. Seluruh korban merupakan perempuan yang mayoritas juga alumni UII. Pelecehan terjadi pada 2016-2020.
Berbagai modus yang dilakukan oleh Ibrahim Malik, mulai dari pelecehan verbal, video call, hingga fisik yang menjurus pada tindak pemerkosaan.
Gelar mahasiswa berprestasi dicabut oleh UII setelah mereka mempelajari keterangan dari para penyintas. UII juga membentuk tim pencari fakta dan tim untuk mendampingi korban secara psikologis apabila diperlukan. Mereka juga menunjuk LKBH Fakultas Hukum untuk memfasilitasi korban yang ingin menuntut hukum Ibrahim Malik.
Ketika itu Ratna Permatasari menyatakan dukungan terhadap para penyintas yang mengadu melalui LBH Yogyakarta. Kedua lembaga telah berkomunikasi untuk menuntaskan kasus ini.
"Ini adalah sikap UII. Ini pesan kuat yang disampaikan oleh UII. Jangan main-main dengan tindak pelecehan atau kekerasan seksual," katanya.
Ratna mengatakan salah satu kelemahan dari gugatan Ibrahim adalah ia tak menyertakan fakta tandingan.
Hal serupa dikatakan oleh pengacara publik dari LBH Yogyakarta Meila Nurul Fajriah, yang selama ini mendampingi para korban. Menurutnya serangan balik ini patut disayangkan, “apalagi kalau Ibrahim Malik hanya menggunakan dalil hasil investigasi dari University of Melbourne.”
University of Melbourne adalah tempat Ibrahim Malik berkuliah S2 selepas merampungkan jenjan sarjana di UII pada 2016. Ia mendapatkan beasiswa dari Australia Awards Scholarship (AAS). Universitas menyatakan Ibrahim Malik tidak melanggar kebijakan atau kode etik kampus dan tidak ada cukup bukti bahwa ia bertindak melawan hukum.
Meila bilang Ibrahim Malik memang melakukan kekerasan seksual, berdasarkan testimoni 30 korban yang dihimpun lembaganya. Namun memang sampai saat ini para korban belum menempuh jalur hukum “atas berbagai alasan.”
“Salah satu alasan adalah kesiapan korban. Sejumlah korban yang memiliki bukti kuat dan mulanya siap melapor akhirnya mengurungkan niat. Mereka tidak siap kasusnya dan peristiwa kekerasan itu diketahui publik dan orang lain, termasuk polisi,” kata Meila kepada reporter Tirto, Senin.
Retno Agustin juga mengatakan hasil investigasi yang telah dikeluarkan oleh University of Melbourne tak serta merta membuktikan Ibrahim Malik tidak melakukan kekerasan seksual.
Retno adalah alumnus University of Melbourne dan mantan penerima AAS asal Indonesia. Ia adalah salah satu inisiator petisi mendesak universitas memberikan saksi dan AAS menghentikan beasiswa Ibrahim Malik. Petisi ini juga dilayangkan atas dasar dugaan pelecehan juga dilakukan Ibrahim Malik saat menempuh studi S2.
Pengusutan kasus di Australia menurutnya tidak optimal lantaran dilakukan dalam kondisi pandemi. Informasi yang diperoleh tidak menyeluruh pada sejumlah kasus, sebab di Australia korban tidak hanya satu orang dan sebagian telah kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu Retno mengatakan gugatan Ibrahim Malik adalah tindakan nekat yang sama saja seperti “melakukan kejahatan berulang.”
Menurutnya serangan balik ini hanya dapat terjadi karena, pertama, Ibrahim Malik tidak mengakui kejahatan yang diperbuat; kedua, sebab merasa “tidak ada undang-undang yang melindungi korban.”
“Masa depan kasus kekerasan seksual di Indonesia akan sangat buruk apabila serangan-serangan balik Ibrahim Malik ini diproses secara hukum,” katanya.
Meski begitu, ia dan sejumlah pembela korban siap dengan serangan balik ini dan bertanya balik ke yang bersangkutan.
“Apakah Ibrahim Malik siap? Karena sebenarnya yang membela korban bukan hanya satu dua kelompok. Isu ini sudah merepresentasikan kasus kekerasan seksual lain. Semakin dia melawan, barisan yang membela akan makin besar.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino