Menuju konten utama

Dugaan Kasus Kekerasan Seksual: Di Balik Citra Baik Ibrahim Malik

"Pasti orang-orang lebih percaya dia walaupun dia cuma sekali bilang 'tidak' dan saya menceritakan kasus saya berkali-kali."

Dugaan Kasus Kekerasan Seksual: Di Balik Citra Baik Ibrahim Malik
Ilustrasi Kasus dugaan kekerasan seksual Ibrahim Malik. tirto.id/Lugas

tirto.id - [Peringatan: Cerita berikut bisa memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan.]

SEMUA bermula dari Lani, yang didampingi temannya, mengadu kasus pelecehan seksual ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada 17 April 2020. Ia menuding pelakunya adalah Ibrahim Malik, alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Lani, bukan nama sebenarnya, sesudahnya menerima pendampingan psikologis oleh psikolog dari UII.

"Kemudian ada beberapa penyintas lain yang mulai menceritakan kasusnya ke LBH Yogya,” kata Meila Nurul Fajriah dari LBH Yogyakarta dalam konferensi pers via daring pada 4 Mei.

Dua di antara kasus itu terjadi pada April 2020 dan 2016 di Yogyakarta; sementara ada satu kasus terjadi di Melbourne, Australia.

Setelah nama Ibrahim Malik diungkap LBH Yogyakarta, beberapa penyintas lain bersuara di media sosial. Mereka menceritakan kasusnya kepada akun Instagram @FasyaTeixeira dan @UIIBergerak; sebagiannya mengadu ke LBH Yogya atas dasar kesadaran sendiri.

Fasya berkata kepada saya bahwa salah seorang temannya bercerita telah dilecehkan oleh Ibrahim Malik. Si teman berkenan ceritanya dibagikan secara anonim di akun Instagram-nya.

"Dan as expected, postingan tersebut dan postingan dari teman UII lain bisa triggered penyintas untuk telling their story," kata Fasya.

Karunia dari UII Bergerak berkata tak semua korban pelecehan seksual berani melaporkan ke LBH Yogya karena alasan masing-masing. "Misalnya, takut stigma atau malah (ada yang) menyalahkan balik.” Meski begitu, Karunia tetap menyarankan para penyintas untuk berkonsultasi ke LBH Yogya jika merasa perlu.

Hingga 4 Mei, ada 30 pengadu dari 30 orang melaporkan pelecehan seksual dengan menuding pelakunya Ibrahim Malik, ujar Meila. “Semua data yang masuk ke kami atas persetujuan penyintas.”

Tapi, siapa sebenarnya Ibrahim Malik?

Selain dikenal alumnus UII Yogyakarta, Ibrahim Malik adalah penerima Australia Awards Scholarship (AAS), program beasiswa pemerintah Australia lewat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) kepada mahasiswa dari negara berkembang. Malik kini berstatus sebagai mahasiswa program magister di University of Melbourne.

Di Melbourne, Malik terlibat dalam sejumlah kegiatan keagamaan dan diundang sebagi penceramah di masjid-masjid, yang kebanyakan jemaahnya warga Indonesia di Victoria. Di sejumlah poster yang dia unggah di media sosial, Malik kerap diundang sebagai motivator dan disebut ustaz.

Persona anak baik-baik yang disandang Malik ini muncul sejak mahasiswa dan bahkan, pada 2015, ia tercatat sebagai mahasiswa berprestasi UII.

“Jadi, pasti enggak ada yang menyangka kalau dia kayak gini (melakukan pelecehan seksual),” kata seorang penyintas yang meminta namanya anonim kepada saya.

“Waktu kejadian, saya cuma mikir: pasti orang-orang lebih percaya dia walaupun dia cuma sekali bilang 'tidak' dan saya menceritakan kasus itu berkali-kali. Pikiran itu ada di kepala saya lama sekali,” ujarnya. (Penyintas adalah salah satu junior Ibrahim Malik di UII, yang enggan menceritakan detail pelecehan seksual karena masih trauma.)

Para penyintas kekerasan seksual yang menuding pelakunya Ibrahim Malik, menurut data yang dihimpun LBH Yogya, memang mayoritas adalah juniornya di kampus atau satu komunitas. “Beberapa adalah fans pelaku karena pelaku sangat populer,” kata Meila dari LBH Yogya.

“Dari kronologi yang dikumpulkan kepada kami, kami menangkap ada rasa gembira saat [korban] awal-awal diajak berkomunikasi dengan Ibrahim karena dia banyak memberikan pesan motivasi seperti bagaimana mendapatkan beasiswa dan bisa sering mengikuti konferensi di luar negeri.”

Saat masih mahasiswa UII pula, Ibrahim Malik pernah menjadi ketua salah satu komunitas mahasiswa; posisi yang dipakainya untuk menjalin komunikasi atau kontak dengan beberapa junior. Kelak, para mahasiswi junior ini bertestimoni kepada LBH Yogya.

“Kami melihat ada relasi kuasa yang kuat dan timpang dalam kasus ini di mana Ibrahim dengan menggunakan kepopuleran diri, ditambah kepribadian dan tutur kata yang terlihat baik, berhasil membuat beberapa penyintas tidak berpikiran macam-macam saat mengenalnya,” kata Meila.

DARI kronologi, ada beberapa modus yang dilancarkan Ibrahim Malik.

Pertama, lewat obrolan via pesan WhatsApp atau Instagram.

Kepada beberapa penyintas, Malik memunculkan obrolan-obrolan menjurus hubungan seksual, seringnya berawal dari percakapan tentang kuliah dan tips atau motivasi, tapi kemudian mulai melempar pancingan seperti:

“Kamu sama pacar kamu udah ngapain aja?”;

“Udah pernah ciuman sama pacar kamu?”;

atau, “Kamu udah pernah ngeseks?”

Kedua, menelepon korban atau mengajak korban menerima panggilan video, bahkan dengan cara memaksa.

“Ada juga kejadian saat penyintas menerima panggilan video ... Ibrahim Malik sedang menggoyang-goyangkan alat kelaminnya,” Meila dengan suara bergetar, menahan tangis dan marah, berkata kepada saya.

Ketiga, mengajak korban ke kos dengan modus menjual buku IETLS dan TOEFL. Malik meminta korban mengambilnya sendiri di dalam kamar, lalu memeluk korban dari belakang.

Keempat adalah kekerasan fisik.

Ada yang paha korban dipegang; ada yang paha korban digesekkan dengan paha Malik saat duduk bersebelahan dalam sebuah forum. “Ada pula ... memojokkan badan penyintas ke dinding lalu berusaha menciumnya dengan paksa, dilanjutkan menggesekkan alat kelamin di bagian perut, bersentuhan dengan kulit hingga terjadi ejakulasi,” ungkap Meila.

“Ada pula yang mengadukan Ibrahim Malik mencengkeram tangan dan leher bagian belakang penyintas lalu menciumnya dengan paksaan hingga terjadi pemaksaan hubungan badan hingga terjadi ejakulasi di luar alat kelamin penyintas,” tambah Meila. “Ini sudah termasuk dalam pemerkosaan.”

LBH Yogyakarta merujuk jenis-jenis pelecehan seksual yang dirumuskan Komnas Perempuan, “sehingga kami menyebut seluruh tindakan Ibrahim Malik sebagai bentuk kekerasan seksual,” kata Meila.

REKTOR Universitas Islam Indonesia Prof. Fathul Wahid berkata institusinya bakal mengusut kasus ini.

Fathul berkata tidak ada ruang bagi Malik termasuk mengisi seminar di UII jika benar dia pelaku kekerasan seksual. UII akan membentuk tim menelusuri kasus ini dan mendorong korban melapor ke aparat hukum, tambahnya.

“Posisi kami tidak bisa memproses IM karena yang bersangkutan sudah lulus empat tahun lalu sehingga kami mendorong korban untuk mengambil langkah hukum karena itu satu-satunya yang bisa dilakukan untuk saat ini,” kata Fathul pada 29 April.

Kepala Humas UII Ratna Permata Sari menyatakan UII telah mencabut gelar Ibrahim Malik sebagai mahasiswa berprestasi pada 2015.

Ratna berkata UII telah membentuk tim pencari fakta dan tim pendampingan psikologis bagi korban/ penyintas. UII juga menunjuk Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UII untuk memfasilitasi korban atau penyintas yang ingin menuntut Ibrahim Malik. UII mendukung upaya penyintas mengadu ke LBH Yogyakarta.

UII Bergerak, yang menyuarakan kepentingan mahasiswa, mendesak rektorat bisa lebih proaktif, misalnya tidak memberi kesempatan kepada Ibrahim Malik menjadi dosen UII; serta UII mulai membentuk tim penyusun dan mengesahkan draf regulasi khusus penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak kepada penyintas.

Karunia dari UII Bergerak berharap mahasiswa bisa terlibat merumuskan regulasi yang penting ini karena UII Bergerak mulai menerima kasus pelecehan lain dari pelaku berbeda.

“Ini menunjukkan urgensi regulasi penanganan kasus yang baik,” kata Karunia, yang menambahkan ada sejumlah "laporan baru tapi dalam proses" ke UII Bergerak dalam kasus Ibrahim Malik sehingga mungkin jumlah korban bisa jadi lebih banyak.

Saya telah mengontak Fathul Wahid untuk menanyakan perkembangan kasus ini, tapi belum direspons.

Advokat dari LKBH UII Agung Wijaya Wardhana berkata kepada saya bahwa semua tuntutan penyintas telah diakomodasi kampus.

Dari sebelas penyintas melaporkan kasus Ibrahim Malik ke Badan Etika dan Hukum UII, tiga permintaan di antaranya: meminta Ibrahim Malik mengakui perbuatannya; UII tidak memberikan panggung apa pun di semua kegiatan UII, termasuk menutup kesempatan menjadi staf atau pengajar; dan mencabut status mahasiswa berpretasi Ibrahim Malik.

"Kalau terkait IM mengaku atau tidak, kan, kampus tidak bisa sampai sana," menurut Agung. "Itu urusan yang bersangkutan."

"Tapi, kami memang ingin berkata UII memang tegas menindak kasus pelecehan seksual. Kalau ada isu dia (Ibrahim Malik) akan dijadikan dosen di sini itu gosip saja. Dia memang berprestasi dulu semasa mahasiswa, tapi enggak pernah dijamin jadi dosen di sini," kata Agung.

Sebelas penyintas yang melapor ke Badan Etika dan Hukum UII adalah bagian dari 30 penyintas yang diterima LBH Yogya, ujar Agung. LKBH UII masih belum menerima laporan langsung dari korban tetapi "kami berkomitmen memberikan pendampingan hukum apabila diminta korban."

Mengenai desakan UII Bergerak agar rektorat segera merumuskan regulasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus—yang juga jadi tuntutan para penyintas menurut LBH Yogyakarta, Agung berkata kampus "memprioritaskan tuntutan penyintas dulu ... tapi terkait regulasi, akan menuju ke sana."

Infografik HL Indept Ibrahim Malik

Infografik HL Indept Dibalik citra baik sang mawapres. tirto.id/Lugas

Desakan Cabut Beasiswa

Tak cuma di Yogyakarta. Dua di antara 30 penyintas yang melaporkan kasus Ibrahim Malik ke LBH Yogya adalah alumni University of Melbourne, tempat Malik kini studi magister, demikian laporan media Australia ABC. Kedua penyintas telah melaporkan kasus pelecehan lewat platform Safer Community Program, jalur penanganana kasus kekerasan seksual yang disediakan Universitas Melbourne.

“Kita bisa langsung email atau telpon, nanti perwakilan mereka akan meminta kita bercerita dengan detail tentang kejadian yang dialami. Mereka akan memberitahukan pilihan-pilihan yang bisa kita ambil kemudian ada pendampingan psikologis/ hukum/ mengirim laporan komplain formal agar kampus menginvestigasi kasusnya,” kata Annisa Dina Amalia, salah satu alumnus University of Melbourne yang mendesak ada investigasi atas kasus Ibrahim Malik.

Annisa merupakan perwakilan dari setidaknya 100 mahasiswa, pengajar, dan alumni kampus itu yang mendukung universitas menindak tegas pelaku.

“Jika investigasi membuktikan tindakan pelaku, maka universitas harus memberlakukan penalti berupa suspensi atau semacam pemberhentian sementara. Kalau di Indonesia semacam drop out atau ditahan ijazahnya,” tambah Annisa.

Sebuah kelompok menamakan diri Komunitas Peduli Perempuan, terdiri dari warga Indonesia yang pernah mendapatkan beasiswa Australia, menggalang petisi daring, yang mendesak pemerintah Australia mencabut beasiswa Ibrahim Malik. Petisi ini telah diteken lebih dari 16 ribu orang sampai pertengahan pekan ini.

Sementara itu Ibrahim Malik membantah semua tuduhan. Ia mengunggah pesan “klarifikasi” di akun Instagramnya.

“Jika memang ada yang pernah merasa dirugikan, sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional saya persilakan untuk menempuh jalur hukum,” katanya dalam surat yang ditulis 30 April kemarin.

“Hadirkan saya bersama orang yang merasa pernah dirugikan. Kita bisa saling beradu argumen dan klarifikasi dengan cara yang baik 'wa jaadilhum billati hiya ahsan' [mengutip penggalan ayat Alquran] untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah,” lanjutnya. “Saya siap untuk menerima segala konsekuensi apa pun, baik benar maupun salah dengan pembuktian hukum yang sah,” tulisnya.