Menuju konten utama

Beasiswa Terduga Pelaku Pelecehan Ibrahim Malik Semestinya Dicabut

Mahasiswa University of Melbourne, Ibrahim Malik diselidiki atas tudingan puluhan pelecehan seksual di Indonesia dan Australia.

Beasiswa Terduga Pelaku Pelecehan Ibrahim Malik Semestinya Dicabut
Ilustrasi HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pemerintah Australia didesak mencabut beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS) yang diberikan kepada seorang alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang menjadi terduga pelaku kekerasan seksual. Ibrahim kini melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di University of Melbourne, Australia, setelah lulus S1 pada 2016 silam.

Dalam sejumlah pernyataan, hanya inisial Ibrahim yang diumumkan, IM. Akan tetapi, saat LBH Yogyakarta menyampaikan kasus pelecehan seksual ini, terduga pelaku disebut secara terang sebagai Ibrahim Malik.

Di Melbourne, Ibrahim menghadapi upaya investigasi atas dugaan pelecehan seksual terhadap sejumlah korban di Australia.

Sebuah kelompok menamakan diri komunitas peduli perempuan, terdiri dari warga Indonesia yang pernah mendapat beasiswa Australia, melancarkan petisi. Mereka adalah Hani Yuliandrasari, Illian Deta Arta Sari, Retno Agustin, dan Freddy Reynaldo. Mereka mendesak agar pemerintah Australia mencabut beasiswa Ibrahim.

"Dari pihak [pemberi] beasiswa dengan dasar pengakuan dan testimoni korban harus memutus beasiswa karena dia sudah melakukan tindakan yang melanggar batas hukum di Australia," kata Retno, penerima beasiswa AAI 2014-2015, kepada reporter Tirto, Jumat (8/5/2020)

AAS merupakan program beasiswa pemerintah Australia lewat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) kepada mahasiswa dari negara berkembang.

Hingga kemarin malam, setidaknya lebih dari 8.000 tanda tangan dibubuhkan pada petisi “Cabut Beasiswa Australia Ibrahim Malik, Terduga Pelaku Pelecehan Seksual Puluhan Perempuan” di Change.org.

Retno akan membawa petisi ke lembaga pemberi beasiswa dan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, Senin hari ini.

"Kami juga meminta pencabutan visa. Agar paling tidak IM bisa segera diproses dengan sistem hukum di Indonesia. Jadi yang kami harapkan dia bisa diproses dengan sistem hukum di Australia dan sistem hukum di Indonesia," ujarnya.

Ia berharap proses tegas terhadap IM dilakukan oleh pemerintah Australia dan Indonesia. Sebab, kata dia, korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan IM selain di Indonesia juga ada di Australia.

Kampus Selidiki Pelecehan Seksual

Di kampus Ibrahim, terdapat desakan serupa. Setidaknya ada 100 orang terdiri dari mahasiswa, staf pengajar dan alumni University of Melbourne mendukung universitas menindak tegas pelaku. Surat desakan telah disampaikan ke universitas tempatnya kuliah.

Perwakilan pengirim surat ke University of Melbourne, Annisa Dina Amalia, mendesak adanya investigasi. Bila ia terbukti bersalah, maka harus ada hukuman tegas dari kampus.

"Kami meminta kampus agar menunjukkan respons yang tegas terhadap kasus ini. Kami meminta kampus untuk melakukan investigasi dan bergerak cepat," ujar Annisa, almuni University of Melbourne 2019, kepada Tirto, Jumat (8/5/2020).

Kampus itu, kata dia, telah punya protokol penanganan kasus kekerasan seksual.

"Jika investigasi membuktikan tindakan pelaku tersebut, maka universitas harus memberlakukan penalti berupa suspensi atau semacam pemberhentian sementara. Kalau di Indonesia semacam drop out atau ditahan ijazahnya," ujarnya.

Kabar baiknya, setelah Annisa dkk bersurat, pihak kampus membentuk posko aduan. Hasilnya ada dua aduan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual.

"Pihak kampus menyatakan ada dua aduan yang masuk ke posko aduan mereka. Tapi menurut penelusuran kami ada tiga korban," lanjutnya.

Tiga korban itu telah dilecehkan secara fisik, namun belum sampai mengarah pada tindak pemerkosaan, kata Annisa.

Puluhan Aduan di Kampus Indonesia

Korban kekerasan seksual Ibrahim telah mendapat pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Setidaknya ada 30 aduan korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Ibrahim.

Aduan berdatangan dari puluhan korban sejak 4 Mei baik secara langsung maupun pihak ketiga. Sebagian besar korban adalah teman satu almamater terduga pelaku di UII. Ibrahim adalah alumni Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII angkatan 2012, lulus empat tahun kemudian.

Pendampingan korban dari LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajria, menyatakan dari para korban diketahui kasus kekerasan seksual terjadi antara 2016-2020.

Modus dugaan pelecehan seksual Ibrahim, kata Meila, mulai dari secara verbal, melalui video call, hingga kekerasan seksual fisik yang menjurus pada tindak perkosaan.

Tindakan pelecehan seksual merupakan bagian dari 15 jenis kekerasan seksual yang didefinisikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur sanksi hukum atas kekerasan seksual. Meski demikian telah ada rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang pembahasannya di DPR RI masih mandeg. RUU PKS tahun ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

UII telah memberikan pernyataan resmi menanggapi dugaan kekerasan seksual tersebut. Kepala Bidang Humas UII Ratna Permata Sari menyatakan UII telah mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang pernah diberikan kepada IM.

"Bahwa UII akan mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang diberikan kepada IM pada 2015, setelah mempelajari keterangan yang diberikan oleh korban atau penyintas," kata Ratna, pekan lalu.

UII juga telah membentuk tim pencari fakta dan tim untuk mendampingi korban atau penyintas secara psikologis apabila diperlukan serta menunjuk LKBH Fakultas Hukum kampus setempat. Tujuannya untuk memfasilitasi korban atau penyintas yang ingin menuntut IM via jalur hukum.

UII, kata dia, juga mendukung upaya penyintas yang telah mengadu melalui LBH Yogyakarta. Kedua lembaga telah berkomunikasi untuk menuntaskan kasus ini.

"Ini adalah sikap UII. Ini pesan kuat yang disampaikan oleh UII. Jangan main-main dengan tindak pelecehan atau kekerasan seksual," imbuhnya.

Tanggapan Ibrahim Malik

Dalam wawancara dengan ABC, media nasional dwi bahasa di Australia, Ibrahim Malik membantah segala tudingan yang diarahkan kepadanya.

Tuduhan itu merusak reputasinya, katanya. Dampaknya adalah pembatalan sejumlah acara keagamaan yang menempatkan sebagai penceramah di Australia. Ia dikenal sebagai ustaz yang mengisi acara keagamaan di masjid-masjid Australia.

“Itu perlu bukti dulu. Artinya saya tidak bisa mengatakan iya atau tidak, begitu, karena saya tidak tahu pokok perkaranya seperti apa," kata Ibrahim.

"Stand saya tetap sama. Itu kan artinya mereka menduga … dalam bahasa lain belum memiliki bukti yang jelas dan saya tidak diberikan kesempatan klarifikasi apa-apa," lanjut Ibrahim kepada ABC.

Ibrahim juga mengunggah pesan klarifikasi di akun Instagramnya. Di antaranya ia mengatakan, “Jika memang ada yang pernah merasa dirugikan, sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional saya persilahkan untuk menempuh jalur hukum.”

“Hadirkan saya bersama orang yang merasa pernah dirugikan. Kita bisa saling beradu argumen dan klarifikasi dengan cara yang baik 'wa jaadilhum billati hiya ahsan' [mengutip penggalan ayat Alquran] untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah,” lanjutnya.

“Saya siap untuk menerima segala konsekuensi apa pun, baik benar maupun salah dengan pembuktian hukum yang sah," tulis Ibrahim.

Tirto telah berupaya mengonfirmasi Ibrahim melalui email dan lewat media sosial Instagram terkait pernyataannya yang telah diberikan. Ibrahim membalas permintaan klarifikasi, ia meminta Tirto agar menghubungi kuasa hukumnya