tirto.id - Awal tahun 2020 dibuka dengan kembali munculnya kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah, tepatnya di salah satu SDN di Sleman, Yogyakarta. Pelakunya diduga SPT (48), guru sekaligus wali kelas para korban yang jumlahnya 12.
Peristiwa ini terjadi pada 13 Agustus 2019 dan dilaporkan sepekan setelahnya. Namun alih-alih dijauhkan dari korban, SPT masih diperbolehkan mengajar selama satu bulan. Ia baru dipindah ke Unit Pelayanan Pendidikan di kecamatan setelah para korban bersaksi bahwa mereka merasa ketakutan.
Pada 8 Desember 2019, SPT resmi ditetapkan sebagai tersangka. Saat itu dia baru diberhentikan, itu pun sementara, oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai Badan Kepegwaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Sleman.
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, selama 2019, ada 21 kasus kekerasan seksual masuk ke meja kerja. Jumlah korbannya mencapai 123.
Pelakunya ada 21 orang, 20 laki-laki dan sisanya perempuan. 90 persen pelaku adalah guru, sisanya kepala sekolah. Lebih detail, guru olahraga adalah pelaku pelecehan terbanyak, jumlahnya 29 persen. Di peringkat kedua ada guru agama, 14 persen.
Komisioner KPAI Sitti Hikmawati menegaskan bahwa angka tersebut belum menggambarkan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi. “Ini hanya berdasarkan laporan kepada KPAI,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (9/1/2020).
“Kami yakin fenomena ini seperti gunung es. Banyak yang tak terlapor,” tambahnya.
Pendidikan Seks Tabu; Peraturan Nihil
Menurut Komisioner KPAI yang fokus pada isu pendidikan, Retno Listyarti, kekerasan seksual di sekolah dapat terjadi karena tabunya pendidikan seks. Pendidikan seks penting agar anak paham apabila dia jadi korban, serta tahu apa saja yang dapat dilakukan setelahnya.
Retno menegaskan tidak ada kata 'terlalu dini' untuk pendidikan seks. Yang pertama-tama dapat diajarkan ke anak adalah mengenalkan mereka soal bagian-bagian tubuh, lalu yang mana saja yang tak boleh disentuh orang lain selain dirinya.
“Kalau ada yang mau lihat atau mau menyentuh, siapa pun dia, maka minta anak lapor ke mamanya. Saat mulai sekolah, anak harus diajarkan mana sentuhan sayang dan mana sentuhan nakal. Sentuhan nakal adalah ketika seseorang menyentuh atau memeluknya, serta menyentuh bagian yang tidak boleh disentuh,” jelas Retno kepada reporter Tirto, Kamis (9/1/2020).
Pendidikan seks ditingkatkan seiring dengan semakin dewasanya si anak. Pada usia remaja, mereka sudah bisa diberikan pemahaman soal kesehatan reproduksi.
“Berikan anak pendidikan kesehatan reproduksi dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka budaya, dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi ilmiah, realistis, dan tidak bersifat menghakimi,” lanjutnya.
Sekolah juga dapat membuat semacam peraturan pencegahan dan penindakan pelecehan seksual.
“Tekankan bahwa kalau ada yang berani menyentuh, harus dilaporkan. Sistem pengaduan harus dibangun, karena banyak terjadi kekerasan di sekolah yang justru dilakukan guru, orang yang seharusnya melindungi anak,” ungkap Retno.
Manajer Divisi Pendampingan LSM Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, mengatakan guru dapat melakukan kekerasan seksual karena dia punya kuasa: disegani, dihormati hingga ditakuti para siswa. Kekerasan persis terjadi karena mereka menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Karena itulah sekolah perlu melakukan apa yang Retno katakan: membuat peraturan penanganan pelecehan seksual.
“Termasuk memiliki mekanisme pemberian saksi,” ujar Indiah kepada reporter Tirto, Selasa (7/1/2020).
Kemdikbud Sekadar Sosialisasi
Saat ini sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual di sekolah, yaitu Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Peraturan tersebut mengamanatkan tiap-tiap sekolah untuk membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan bahkan orangtua/wali murid. Sekolah juga perlu membuat mekanisme pelaporan hingga pemulihan korban kekerasan dengan jelas.
Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang mengatakan tim tersebutlah “yang akan menyusun semacam SOP, apa yang harus dilakukan saat anak menerima kekerasan dari temannya, gurunya.”
Selain mengatur sanksi kepada pelaku, SOP hingga tim yang dibentuk juga perlu menyediakan fasilitas pemulihan bagi korban. Pemulihan ini penting, katanya kepada reporter Tirto, Ahad (12/1/2020), agar memutus mata rantai kekerasan “karena banyak pelaku yang sebenarnya dulunya juga korban, tapi tak mendapatkan pemulihan yang baik.”
Selain sekolah, Chatarina juga mengatakan tiap pemerintah daerah semestinya responsif dengan membentuk tim yang siap sedia menerima dan mengusut laporan, terdiri dari ahli hukum sampai psikolog. “[Jadi] ada tim pencegahan tingkat sekolah sampai kabupaten,” kata Chatarina.
Hal positif di atas kertas ini, sayangnya, tak terimplementasi di lapangan.
Chatarina mengatakan apa yang dapat dilakukan Kemdikbud “hanya sosialisasi dan edukasi,” sebab “kami, kan, sebagai regulator, jadi tidak memaksa.”
Ujung-ujungnya, regulasi ini dapat ditegakkan jika dan hanya jika “ada kesadaran dari masing-masing sekolah untuk melakukan itu.”
Masalahnya sekolah tidak sadar sama sekali. Chatarina menegaskan belum ada satu pun pemda atau sekolah yang benar-benar punya tim pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri