tirto.id - Ada sembilan poin keberatan dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) versi DPR yang disampaikan pada bulan Agustus 2016. Berdasarkan pada sembilan poin tersebut Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menganggap DPR telah menyiapkan UU Penyiaran yang mengabaikan kepentingan publik dan semangat demokratisasi penyiaran.
“Proses penyiapan RUU juga tidak transparan dan tidak terbuka terhadap kepentingan publik,” ujar Rahayu, dalam acara Jumpa Pers (KNRP) di Gedung Balairung, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (28/12/2016).
Ia mengatakan RUU melanggengkan pemusatan siaran televisi di Jakarta. Selain itu, peningkatan porsi iklan yang diijinkan akan mengganggu kenyamanan khalayak dan menunjukkan keberpihakan tinggi kepada pemodal, sebab dalam RUU disebutkan porsi iklan paling tinggi 40 persen, meningkat dua kali lipat dari UU Penyiaran 2002 yang menetapkan angka 20 persen saja.
“Implementasi atas undang-undang ini jika disahkan akan menciptakan masyarakat konsumeris yang sangat tinggi, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan,” ujar Rahayu.
Ditambah lagi, RUU mengijinkan adanya iklan rokok. Hal ini, menurut KNRP bertentangan dengan ketentuan lain yang juga termuat dalam draf RUU yang menyatakan iklan tidak boleh mengiklankan zat adiktif. Berdasarkan UU Kesehatan, rokok dinyatakan sebagai zat adiktif.
Selain itu, RUU juga memuat lembaga penyiaran komunitas berfungsi untuk melayani kementerian. Pemuatan aturan tersebut, menurut KNRP melanggar prinsip-prinsip lembaga penyiaran komunitas secara universal. Secara definisional, lembaga penyiaran komunitas lahir dan demi komunitas, bukan melayani kementerian atau pun pemerintahan.
“Lembaga penyiaran lokal atau pun komunitas memiliki potensi yang baik jika tak dibatasi untuk berkembang,” kata Rahayu.
Berikut merupakan poin-poin keberatan KNRP terhadap RUU Penyiaran.
1. Soal kepemilikan sama sekali tidak diatur dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU).
2. Draf RUU menyatakan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bukan merupakan kewajiban, melainkan opsional, bagi stasiun televisi yang hendak bersiaran ke banyak wilayah siar.
3. Draf RUU menyatakan keharusan memuat dan menyajikan muatan siaran lokal paling sedikit 10 persen dari keseluruhan jam siaran setiap hari bagi lembaga penyiaran swasta yang melakukan siaran di wilayah siar lain.
4. Draf RUU menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran.
5. Draf RUU memuat ketentuan bahwa porsi iklan spot paling tinggi 40 persen dari setiap waktu tayang program.
6. Draf RUU membolehkan adanya iklan rokok.
7. Draf RUU menyebut Lembaga Penyiaran Komunitas antara lain berfungsi untuk melayani Kementerian.
8. Draf RUU menyatakan bahwa Lembaga Penyiaran Publik (LPP) berfungsi memberi layanan untuk kepentingan negara.
9. Draf RUU mengerdilkan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya dalam urusan isi siaran, sementara memberikan kewenangan pemerintah yang sangat besar dalam persoalan penyiaran lainnya, seperti persoalan perizinan dan digitalisasi.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh