tirto.id - Sudah lebih dari lima tahun saya tidak bertemu dengan Irfan, teman kuliah dulu. Saat berjumpa dengannya, saya pangling begitu melihat penampilannya. Dalam ingatan saya, tubuhnya jauh lebih ramping dengan tulang pipi dan rahang yang lebih tegas. Kalimat klasik pun terlontar dari mulut saya. “Penampilan kamu agak berubah ya, sekarang.”
Dia mengerti arah ucapan saya dan tertawa kecil menanggapinya, “Gemukan, maksudmu?”
Buat sebagian orang, kata ‘gemukan’ bisa jadi sentilan dalam percakapan santai. Beruntung dia tidak termasuk orang-orang yang sensitif saat disinggung soal penampilan, khususnya berat badan. Malah dia berseloroh, “Iyalah. Sekarang udah makmur, bisa makan banyak-banyak. Lagian, tambah tua, kan, wajar tambah gemuk.”
Jamak di masyarakat anggapan pertambahan usia berbanding lurus dengan pertambahan berat badan. Sebagian yang rajin mencari informasi menyadari ada korelasi antara sistem metabolisme yang berubah dengan naiknya bobot tubuh seseorang.
Namun, tidak jarang pula yang mempercayai anggapan yang entah landasannya dari mana bahwa mereka yang sudah menikah cenderung lebih ‘makmur’ lantaran ada yang mengurus. Ada pula yang berspekulasi, semakin bahagia, semakin bertambah berat badan seseorang.
Metabolisme
Ternyata, banyak referensi menunjuk metabolisme tubuh sebagai faktor yang memegang peranan penting. Metabolisme merupakan proses yang terjadi dalam tubuh untuk mengubah asupan makanan atau kalori menjadi energi. Setiap orang memiliki kecepatan metabolisme yang beragam. Mereka yang memiliki metabolisme cepat membakar kalori dalam waktu lebih singkat dibanding yang memiliki metabolisme lambat.
Banyak yang menyangka orang-orang gemuk memiliki metabolisme lambat. Padahal, tidak demikian faktanya. Donald Hensrud, M.D. menjelaskan dalam situs Mayo Clinicbahwa orang yang memiliki massa otot lebih tinggi justru membakar kalori lebih banyak. Dengan kata lain, mereka yang berbobot lebih sebenarnya berkemungkinan memiliki metabolisme lebih cepat.
Tidak hanya ukuran tubuh yang mempengaruhi kecepatan metabolisme seseorang menurut pemaparan Hensrud. Jenis kelamin dan usia pun berpengaruh terhadap metabolisme. Laki-laki cenderung mempunyai massa otot lebih besar dibanding perempuan sehingga kemungkinan membakar kalorinya lebih tinggi. Terkait usia, seiring penuaan yang terjadi, massa otot berkurang sehingga memperlambat proses metabolisme.
Di lain sisi, jamak pula asumsi bahwa diet tertentu seperti detoks mampu memicu metabolisme sehingga memungkinkan penurunan berat badan. Faktanya, diet detoks tidak banyak berpartisipasi mengelola berat tubuh seseorang karena hal utama yang mempengaruhi metabolisme dan berat tubuh adalah massa otot.
“Saat berat tubuh Anda turun drastis, massa otot akan tereduksi. Dan ketika Anda kembali makan dengan normal, metabolisme Anda sudah kadung melambat karena Anda memiliki massa otot lebih sedikit,” jabar Susan Berkman, RD, pakar diet dari The Ohio State University Wexner Medical Center kepada Reader’s Digest. Hasilnya, alih-alih bertambah ramping, tubuh seseorang malah kian membesar.
Perlu dipahami bahwa metabolisme bukanlah sesuatu yang terberi dan tidak bisa diubah. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan kecepatan metabolisme, di antaranya kontrol asupan makanan yang mengandung kalori tinggi, aktivitas fisik yang berdampak terhadap massa otot, alasan genetis, konsumsi obat-obatan tertentu, serta gaya hidup tidak sehat seperti kurang tidur.
Tak heran bila orang yang jarang berolahraga atau sedikit melakukan aktivitas fisik lebih berpeluang berbadan melar karena ototnya jarang terlatih dan kian hari kian menurun massanya karena tergantikan lemak, sampai-sampai membuat metabolismenya melambat.
Di samping metabolisme, ada pula faktor hormonal yang mempengaruhi massa tubuh seseorang. Dalam situs Prevention, ahli nutrisi dan pelatih personal, Jill Coleman, MS, CPT mengatakan bahwa hormon bekerja merespons stimulan dari luar seperti makanan, aktivitas fisik, stres, waktu istirahat, dan lain sebagainya. Coleman juga menyoroti peran besar hormon terhadap fungsi metabolisme seperti bagaimana makanan diubah menjadi energi atau disimpan, memicu perasaan lapar atau kenyang, bahkan motivasi untuk berolahraga.
Terkait dengan pengaruh hormon terhadap berat badan seseorang, laporan dari The American College of Sport Medicine yang dilansir PennState Pro Wellness juga menginformasikan bahwa hormon tiroid yang mengatur seberapa banyak kalori yang dibakar dalam tubuh juga berdampak terhadap berat badan seseorang. Pada perempuan usia di atas 40, hormon tiroid menjadi semakin tidak aktif sehingga tidak jarang dari mereka yang terlihat lebih gemuk.
Sementara pada laki-laki, terdapat sebuah temuan menarik seputar hormon testosteron dan pertambahan berat badan sebagaimana ditulis dalam situs Everday Health. Associate Clinical Professor of Urology dari Harvard Medical School, Abrahan Morgentaler, M.D., menyampaikan bahwa testosteron memiliki peran penting dalam metabolisme.
“Banyak studi yang menunjukkan bahwa laki-laki dengan testosteron rendah memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi,” ujar Morgentaler. Pendapat Morgentaler ini serupa dengan pernyataan David Samadi, M.D. yang bekerja di Departemen Urologi Lenox Hill Hospital, New York.
“Lemak tubuh mengandung enzim yang mengonversi testosteron menjadi estrogen. Seiring dengan semakin sedikitnya testosteron yang diproduksi karena berubah menjadi estrogen, semakin banyak lemak yang diakumulasi dan seterusnya,” jelas Samadi. Tidak hanya itu, menurut Morgentaler, rendahnya level testosteron pada laki-laki juga menimbulkan kurangnya motivasi untuk berolahraga sehingga berat tubuh pun kian menanjak.
Memang ada hubungan antara metabolisme yang berubah seiring usia dengan pertambahan berat tubuh. Namun, bukan berarti hal ini hanya bisa diterima dengan pasrah. Banyak jalan untuk menjaga metabolisme dan menangkal anggapan bahwa pertambahan umur pasti sejalan dengan pertambahan berat badan seperti beraktivitas fisik atau olahraga secara reguler dan menjaga asupan makanan.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani