tirto.id - “Apabila pasanganmu ngobrol dengan orang lain secara daring, lalu buru-buru mengakhirinya saat kamu masuk ruangan; atau jika dia menghubungi mantan untuk mengucapkan selamat; diam-diam memuji laki-laki atau perempuan lain; bertemu lawan jenis dengan dalih rapat tapi kenyataannya tidak … hal-hal ini bisa jadi tanda yang mesti kamu waspadai,”
Melanie Schilling, psikolog yang bertahun-tahun mendalami soal relasi, baru saja memaparkan pada Huffpost Australia sederet contoh perselingkuhan kecil-kecilan alias microcheating—konsep tentang perilaku remeh yang mengindikasikan keterlibatan seseorang secara emosional atau fisik dengan pihak di luar relasi.
Gagasan Schilling soal “selingkuh kecil” tidaklah baru. Terminologi microcheating sedininya sudah diungkap di Urban Dictionary pada 2008, diikuti dengan artikel berjudul “33 Ways Your Boyfriend Is Micro-Cheating (And Totally Getting Away With It)” di Thought Catalog pada 2016.
Sebelum Schilling dan situs-situs daring memopulerkan microcheating, psikolog University of South Wales, Inggris, Dr. Martin Graff, disebut-sebut yang pertama mencetuskan konsep itu.
Mengutip pendapat Graff dari The Guardian, mengirim emoji bergambar hati bahkan bisa dianggap sebagai cara menggoda orang lain di luar pasangannya yang ujungnya disebut perselingkuhan.
Tak bisa dimungkiri, lebih sedikit jejak yang tertinggal dari polah tingkah pada masa sebelum internet dan media sosial. Kini, melalui aktivitas tukar pesan via aplikasi, siapa pun jadi lebih mudah ketahuan menjalin relasi dengan orang lain di luar pacar, suami atau istrinya.
Microcheating hanyalah satu dari sekian banyak pandangan tentang bentuk perselingkuhan. Tak semua pihak setuju interaksi-interaksi sederhana tanpa intensi emosional disebut selingkuh.
Ada yang menganggap pasangan baru dinyatakan selingkuh apabila sudah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Ada pula yang tak masalah apabila pasangannya melakukan hal tersebut dengan orang lain, asalkan tak sampai main perasaan dengan pihak ketiga.
Selain urusan ranjang, seseorang bisa dianggap selingkuh apabila menyembunyikan keadaan finansialnya dari pasangan.
Variasi definisi selingkuh itu sendiri berasal dari kesepakatan di awal relasi setiap pasangan.
Tia (23) misalnya, mengaku selalu membicarakan hal-hal yang dia sukai dan tidak dalam berelasi, serta apa saja yang boleh dan tak boleh diterabas oleh pasangannya dalam konteks perselingkuhan. Maka dia akan dengan mudah menuding pasangannya berkhianat jika kedapatan melanggar kesepakatan.
Menurutnya, ada semacam “norma pacaran” universal yang dipahami setiap orang dan sebisa mungkin dijunjung. Padahal, kenyataannya, asumsi dan hal-hal lain yang tidak dikomunikasikan ini acap kali jadi bom waktu dalam relasi.
Gagasan microcheating yang oleh sebagian orang dianggap berlebihan karena membatasi interaksi dengan orang di luar pasangan adalah wujud dari komunikasi tak baik antarpihak yang berelasi.
Berlaku diam-diam agar tidak ketahuan pasangan adalah sinyal ketidakjujuran yang akhirnya bisa menjadi bahan cekcok. Namun, apakah semua hal mesti diketahui oleh pasangan?
Menurut video “Why People Have Affairs” dari The School of Life, ketika berelasi, dua pihak meracik dua bahan utama: kedekatan dan jarak.
Tentu, kamu butuh untuk dekat dan melakukan aktivitas bersama pasangan. Di lain sisi, kamu perlu ruang personal untuk bebas melakukan hal yang disukai dan menjadi diri sendiri.
Kembali kepada formula relasi, kelebihan salah satu bahan utama akan membuat relasi menjadi tak sehat.
Kalau terlalu dekat sampai ke mana-mana harus berdua, kamu berpotensi “tersedot” oleh pasanganmu. Kamu akan letih secara emosional sampai akhirnya berusaha kabur dari situasi tersebut. Salah satu solusinya termasuk bertemu atau berinteraksi dengan orang lain.
Sebaliknya, bila kamu merasa kesulitan menjangkau pasanganmu, kamu mungkin akan berusaha memenuhi kebutuhanmu—entah emosional atau fisik—di luar relasi.
Definisi selingkuh yang terlalu mencekik bisa datang dari gagasan-gagasan ideal soal relasi romantis. Say thanks to happy ending stories—seperti dongeng-dongeng putri, novel atau film romantis. Berkat mereka, tak sedikit manusia yang menggantungkan harapan kehidupan asmaranya ke angkasa.
Alain de Botton, penulis buku The Course of Love (2016), punya pemikiran lain mengapa orang bisa begitu terobsesi dengan relasi romantis yang “ideal”.
Menarik mundur ke era Romantisisme sekitar abad 18, Botton menjelaskan karya-karya seni dan pemikiran yang berkembang kala itu mengedepankan kisah-kisah heroik dan menggugah hati.
Dalam artikel “How Romantic Ideas Destroy Your Chance at Love” di Time, Botton memaparkan karakteristik romantisisme sebagai berikut: percaya dan berharap pada perkawinan, meleburkan cinta dan seks, cinta sejati bisa mengakhiri kesendirian, memilih pasangan berarti membiarkan diri dipandu oleh perasaan alih-alih alasan logis dan pragmatis, membenci hal-hal yang diukur dari materi, dan menerima sebagaimana adanya pasangan.
Karakteristik demikian kelak menyusup dalam aneka praktik budaya dan norma. “Ini [romantisisme] mengajarkan kita apa yang bernilai, bagaimana menghadapi konflik, kepada apa kita merasa senang, kapan harus menoleransi, dan hal-hal apa yang sepantasnya bikin kita marah,” tulis de Botton.
Gagasan ideal relasi seperti era Romantisisme ini bisa berdampak buruk karena menjauhkan orang dari sikap realistis.
Di samping itu, pakem-pakem normatif malah bisa jadi mengekang beberapa pihak yang merasa hal tersebut kurang pas dengan keyakinannya, misalnya pada kelompok yang percaya relasi terbaik baginya adalah poliamori atau mereka yang menolak institusi perkawinan.
In the end, perkara cinta amatlah cair dan kompleks. Sebagian manusia boleh jadi setuju pada batasan-batasan selingkuh dalam microcheating, namun bagi beberapa orang lain pembatasan tersebut mungkin setara dengan kacamata dan kekang kuda yang menyekat ruang geraknya sebagai makhluk individu.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 19 Januari 2018.Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Sekar Kinasih