tirto.id - Barangkali bukan sebuah kebetulan. Pada Rabu malam, 17 Mei lalu, Chris Cornell mengakhiri konser dengan menyanyikan “In My Time of Dying”, nomor lagu Led Zeppelin, band rock legendaris yang paling menginspirasi gaya bermusiknya di Soundgarden. Penampilan ini bukan yang kali pertama. Mereka pernah beberapa kali membawakannya saat tur, tetapi ada aura yang berbeda saat Cornell menyanyikannya sejak lirik pertama:
In my time of dying, I want nobody to mourn
(Di hari kematianku, aku tak ingin orang-orang meratap)
All I want for you to do is take my body home
(Semua yang kuinginkan kau bawa pulang tubuhku)
Atmosfer penonton di Detroit's Fox Theater tetap menggugah sejak awal hingga akhir. Sejumlah lagu yang keluar di masa jaya mereka disuguhkan dengan gagah, disambut tepuk tangan meriah oleh para penggemar setianya.
Ada “Black Hole Sun”, “Spoonman”, “My Wave”, “Been Awal for Too Long”, “The Day I Tried to Live”, “Feel on Black Days”, juga “Mailman”. Soundgarden membawa lagu-lagu lama dari album terbaik mereka, Superunknown, seakan sedang asyik bernostalgia.
Tak ada yang menyangka, 12 jam usai konser berakhir, berita duka terangkat ke permukaan: Chris Cornell, masih berumur 52 tahun, dinyatakan meninggal dunia. Ia ditemukan dalam kondisi tanpa nyawa di lantai kamar mandi hotel MGM Grand, menurut juru bicara kepolisian Michael Coody kepada CNN.
Itu adalah kabar kematian yang “mendadak dan tak terduga,” ujar Brian Bumbery, mewakili Cornell dan keluarganya.
Chris Cornell terlahir dengan nama Christopjer John Boyle. Lahir pada 20 Juli 1964 di Seattle, Washington, Amerika Serikat, dunia mengenalnya sebagai salah satu pemilik suara terbaik dalam dunia rock 'n roll. Pembaca majalah Guitar World bahkan mendapuknya sebagai “Rock's Greatest Singer” pada 2013.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia musik rock negeri Paman Sam menyaksikan banyak vokalis maupun solois dengan suara nyaring. Sepanjang karier, Cornell disejajarkan Robert Plant (Led Zeppelin), Steven Tyler (Aerosmith), Freddie Mercury (Queen), dan Axl Rose (Guns N' Roses) dalam status sebagai vokalis yang mampu menjangkau rentang empat oktaf. Lebih jauh lagi, Cornell mampu memanipulasi kekuatannya dalam cara yang “mengerikan” sekaligus menggoda bersama Soundgarden.
Apa yang dikerjakan Cornell sejak berkarya di pertengahan 1980-an menunjukkan daya kreativitas dalam menembus batas-batas suara gitar yang ia genggam, maupun instrumen musik lain yang dimainkan sejawatnya. Sebuah daya yang menjadi lokomotif pergerakan grunge, skena musik paling dahsyat di AS era 90-an dan dalam sekejap menjangkiti anak-anak muda seluruh dunia.
Pada 1989 Soundgarden berkesempatan memainkan gig pertama di luar AS, lebih tepatnya di School of Oriental and African Studies, University of London, Inggris. Mereka kedapatan jadwal manggung di antara dua band minor, Murphy's Law dan Mudhoney. Dalam catatan Alexis Petridis di The Guardian, para penonton, yang terbius pada penampilan Soundgarde, segera berpikir: “Band ini memang ditakdirkan untuk menjadi besar.”
Di masa awal karier, terutama untuk album pertama bertajuk Ultra Mega OK, kritikus menilai Soundgarden membawa musik hard rock bercampur alternatif metal yang “kasar”. Dalam pertunjukannya di London kala itu, Cornell dan kawan-kawan memainkan sesuatu yang keras dan tampaknya belum pernah dibawakan oleh band manapun. Gaya ini kemudian diberi label “alternatif rock” oleh para kritikus dan, dalam suatu titik, akan disebut “grunge” sejak awal 1990-an.
Cornell diberkati dengan suara yang mampu meliuk-liuk sekaligus meratap, lebih pada rasa blues ketimbang punk. Bukan kebetulan pula selama promosi album pertama, Cornell dinilai mengadopsi gaya bermusik Robert Plant. Penampilan keduanya mirip: berambut keriting panjang dan kerap bertelanjang dada. Hanya saja Cornell masih setia memakai sepatu bot dan celana jins pendek di atas lutut (penampilan khas grunge generasi awal yang lantas diadopsi para personel Pearl Jam).
Pertunjukan di London, seperti sudah diduga sebelumnya, dinikmati para penonton dengan cara kaos. Suasana makin liar saat Mudhoney mengajak penonton ke atas panggung—yang akhirnya roboh. Cornell mengakhiri penampilan band malam itu dengan mencatut nama band legendaris lain yang juga jadi salah satu inspirasi utamanya dalam mengomposisikan bunyi:
“Terima kasih, kami dari Black Sabbath, selamat malam!”
Grunge Pertama Berlabel Mayor
Lebih dulu dari Nirvana, lebih dulu dari dedengkot grunge lain seperti Pearl Jam dan Alice in Chain, Soundgarden adalah band pertama yang dikontrak label mayor (A&M Records) pada 1988. Soundgarden salah satu dari band grunge awal mula yang mencuri perhatian arus utama jauh sebelum kemunculan album Nevermind-nya Nirvana. Mereka sudah tur bersama Guns N' Roses dan album Ultramega OK dinominasikan di ajang Anugerah Grammy.
- Baca juga: Nevermind dan Dunia yang Berubah Setelahnya
Bunyi khas racikan Cornell bersama Soundgarden barangkali bisa dilacak sejak album pertama mereka, Screaming Life, yang dirilis 1987 bersama label indie, Sub Pop Records. Singel berjudul “Fopp” adalah pertemuan aliran funk yang dibawa band macam Ohio Players bertemu hard rock-nya AC/DC.
Namun masterpiece Cornell tetap di lagu yang paling banyak ditonton di Youtube: “Black Hole Sun”, yang lebih ke genre psychedelic 1960-an ketimbang hard rock.
Michael Beinhorn, produser album Superunknown, pernah berkomentar bahwa suara Cornell di lagu itu terinpirasi gaya bernyanyi Frank Sinatra. Sejak awal Soundgarden terus berevolusi menjadi makin besar dan besar sembari terus mendorong kreativitasnya hingga ke batas-batas suara yang menjadi zona nyaman orang awam.
Sayang, kreativitas yang meledak-ledak inilah yang justru menjadi bibit perpecahan Soundgarden pada 1997.
Keluar dari Soundgarden, Cornell tetap konsisten mengembangkan kemampuan suaranya. Saat di Audioslave, misalnya, Cornell dan para mantan anggota band Rage Against the Machine sukses menelurkan lagu-lagu blues rock yang mantap dan bertenaga.
Di nomor-nomor populer seperti “Cochise” atau “Show Me How to Live”, sang gitaris Tom Morello memiliki kesempatan untuk berkreasi dalam menghasilkan bunyi-bunyian aneh dan tetap bernyawa, sembari diiringi alunan bas dan dentuman drum yang tegas dari Tim Commerford dan Brad Wilk. Tak lupa, teriakan serak beroktaf tinggi Cornell membuat lagu terdengar gagah. Di Indonesia, rumus ini sejujurnya diadopsi oleh Once Mekel dalam penampilan-penampilan solonya bersama Gugun Blues Shelter.
“You Know My Name” yang Garang
Publik akan selalu terkenang dengan kepiawaian Cornell dalam mencipta lagu untuk film.
Steve Greene, menulis untuk Indiewire, menilai lagu “You Know My Name” yang Cornell buat untuk lagu pembuka film Daniel Craig pertama sebagai James Bond, Casino Royale (2006), adalah salah satu lagu ciptaannya yang terbaik. Banyak pula yang menilai lagu itu sebagai salah satu lagu pembuka serial James Bond terbaik.
“You Know My Name” dinilai sangat mewakili semangat James Bond baru yang sengaja diset lebih gahar dan tak ampun dalam menghabisi lawan. Dengan nuansa rock bertenaga dan lirik yang dingin, “You Know My Name” berbeda dari lagu-lagu James Bond lain bernuansa jazz.
Lagu ini memikat penonton dan penggemar setia Cornell sekaligus para kritikus. Dalam Satelite Awards 2006, “You Know My Name” diganjar penghargaan kategori Best Original Song. Dalam World Soundtrack Awards 2007, lagu ini menang kategori Best Original Song Written Directly for a Film.
Sayang, ke depan dunia tak akan lagi menikmati karya gahar Chris Cornell. Dalam investigasi terkini, penyebab kematian Cornell diakibatkan bunuh diri, menurut pernyataan RS Wayne County tempat mayat Cornell dirawat.
Bila benar bukti-bukti itu, Cornell mengikuti jejak kematian musisisi rock 90-an. Dari Layne Staley dan Mike Starr (Alice in Chains) hingga Scott Weiland (Stone Temple Pilots) dan tentu saja Kurt Cobain (Nirvana).
Kematian Cornell, tentu saja, berbeda dari lirik Zeppelin yang dinyanyikannya, diratapi dan ditangisi para penggemar grunge, anak-anak muda di seluruh dunia yang besar di era 90-an. Mereka bahkan memohon Eddie Vadder, vokalis Pearl Jam, tetap sehat dan berumur panjang.
“In my shoes, a walking sleep
And my youth I pray to keep
Heaven send hell away
No one sings like you anymore...”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam