tirto.id - Pada abad ke-17, Inggris dan Prancis berada dalam persaingan sengit untuk membuktikan siapa bangsa yang paling unggul dalam eksperimen transfusi darah pada manusia. Sepanjang 1665-1668, Royal Society Inggris bereksperimen menggunakan berbagai macam cairan ke dalam pembuluh darah hewan.
Ketika itu, sistem pembuluh darah manusia yang diidentifikasi oleh William Harvey pada 1628 telah menggugurkan teori Galen—bahwa darah tidak kembali ke hati, melainkan dikonsumsi oleh tubuh sehingga darah perlu terus-menerus diisi lagi.
Jauh sebelum itu, teori Galen ini sebenarnya sudah ditentang oleh cendekia-cendekia Asia. Sebuah manuskrip kuno China yang ditulis 2.600 tahun lalu, misalnya, menyatakan bahwa, “Semua darah di dalam tubuh dipompa oleh jantung, bersikulasi terus-menerus.”
Seorang dokter Arab bernama Ibnu al-Nafis pada 1242 juga sudah menggugurkan teori Galen dalam bukunya berjudul Sharh Tashrih al-Qanun li’ Ibn Sina. (S.S. Amr dan A. Tbakhi, “Ibn al-Nafis: discoverer of the pulmonary circulation” dalam Annals of Saudi Medicine, 27(5), 2007, hlm. 385–387).
Seorang dokter di Prancis lantas ingin bereksperimen lebih jauh dibandingkan para sejawatnya di Inggris yang baru melakukan eksperimennya pada anjing.
Jean-Baptiste Denis, dokter Raja Louis XIV, juga mengawali eksperimennya pada anjing seperti dokter-dokter di Inggris. Pada 3 Maret 1667, dia mentransfusikan darah anak sapi ke tubuh anjing. Tidak diketahui bagaimana nasib anjing setelah mendapat transfusi ini.
Denis lalu melanjutkan eksperimennya pada manusia pada 15 Juni 1667 dengan dibantu oleh seorang ahli bedah bernama Paul Emmerez. Pasiennya adalah seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun yang menderita demam tinggi dan sudah mengalami 20 kali pengeluaran darah—praktik yang jamak dilakukan ketika itu.
Denis menduga bahwa parahnya kondisi pasien adalah akibat kehabisan darah. Maka dia memutuskan untuk melakukan transfusi darah, tapi menggunakan darah kambing. Pasien Denis merasakan ada sesuatu yang panas mengalir di lengannya, tapi kemudian dia tenang lagi dan sembuh.
Remaja itu teramati hanya mengalami hidung berdarah 11 jam setelah transfusi. Tindakan yang dilakukan Denis itu kemudian disebut xenotransfusi, yaitu transfusi darah dari satu spesies ke spesies lain.
Eksperimen Lanjutan Denis
Keberhasilan transfusi pada remaja laki-laki ini mendorong Jean-Baptiste Denis melakukan transfusi berikutnya. Eksperimen keduanya dilakukan pada seorang laki-laki sehat yang dibayar untuk bersedia terlibat dalam eksperimen ini.
Sekitar 300 ml darah objek eksperimen dikeluarkan dan diganti dengan darah kambing dalam volume yang sama. Tidak ada akibat yang berarti dari eksperimen ini kecuali kondisi panas yang menjalar pada lengan laki-laki itu.
Transfusi ketiga dilakukan pada 24 Juni 1667. Pasiennya kali ini adalah seorang bangsawan Swedia yang jatuh sakit di Paris. Ketika Denis dan Emmerez tiba, bangsawan tersebut hampir tidak sadarkan diri.
Setelah menerima sekitar 170 ml darah anak sapi, dia mulai dapat bicara. Transfusi diulangi lagi ketika kondisi pasien memburuk. Meski sempat menunjukkan pemulihan, bangsawan tersebut pada akhirnya meninggal.
Eksperimen Denis yang paling terkenal adalah eksperimennya yang keempat. Dia melakukannya pada Antoine Mauroy, seorang laki-laki gila yang berkeliaran tanpa sehelai benang selama berbulan-bulan di musim dingin di jalanan Paris.
Konon, transfusi darah tersebut merupakan salah satu upaya Denis untuk menyembuhkannya. Pada 19 dan 21 Desember 1667, Denis dan Emmerez mengambil sekitar 295 ml darah Mauroy lalu mentransfusikan sekitar 170 ml darah anak sapi ke tubuh Mauroy.
Pasien juga menyatakan rasa panas menjalar pada lengan dan kesakitan pada ginjal. Beberapa hari setelah transfusi, dia melaporkan urinnya berwana hitam “seperti tercampur jelaga cerobong asap.”
Ini merupakan reaksi hemolisis akut pascatransfusi. Namun setelah itu, Mauroy berhasil pulih. (Roux F.A., Sai P., Deschamps J.Y., “Xenotransfusions, past and present” dalam Xenotransplantation 14, 2007, hlm. 208–216).
Sementara itu, Denis dan Emmerez melanjutkan eksperimennya. Pada 10 Februari 1668, mereka memberikan transfusi darah kambing kepada seorang perempuan yang menderita kelumpuhan. Dosisnya sekitar 350 ml darah kambing. Ajaibnya, perempuan itu seketika sehat lagi.
Namun, dua bulan kemudian Mauroy jatuh sakit. Istri Mauroy meminta Dennis melakukan transfusi lagi, tapi Denis menolak. Karena terus didesak, Denis bersedia melakukannya. Ketika dia membuka pembuluh darah di kaki Mauroy, Mauroy mengalami kejang-kejang hebat sehingga transfusi tersebut tidak dapat dilakukan. Keesokan harinya, Mauroy meninggal dunia.
Denis pun dituduh melakukan pembunuhan. Kejadian ini melahirkan peraturan baru bahwa transfusi darah dilarang tanpa persetujuan dan pengawasan dari Fakultas Kedokteran Paris. Dua tahun kemudian—tepatnya pada 1670, Prancis melarang seluruh eksperimen transfusi darah.
Larangan serupa lantas diberlakukan pula oleh Pemerintah Inggris, Italia, dan akhirnya seluruh Eropa. Praktik tersebut tidak pernah dilakukan lagi hingga 150 tahun kemudian. (Holly Tucker dalam Blood Work: A Tale of Medicine and Murder in the Scientific Revolution, 2011, hlm. xix).
Kompatibilitas Spesies dalam Transfusi Darah
Rentang 130 tahun sejak peristiwa yang mengakhiri karier kedokteran Jean-Baptiste Denis, di Amerika Serikat yang baru berdiri, Presiden George Washington menghembuskan nafas terakhir pada 14 Desember 1799.
Dr. William Thornton yang hadir untuk berkabung yakin bahwa jika ada udara dan darah dimasukkan kembali ke tubuh mendiang, sang presiden dapat hidup lagi.
Thornton menyarankan kepada keluarga George Washington untuk mentransfusikan darah seekor kambing. Untunglah saran ini ditolak mentah-mentah oleh keluarga Washington. Rupanya, praktik transfusi darah hewan ke manusia masih dilakukan di Benua Amerika.
Setelah 150 tahun eksperimen transfusi darah hewan pada manusia ditinggalkan, para dokter dan ilmuwan di abad ke-19 mulai melirik kembali transfusi darah sebagai terapi. Pada 1816, Dr. John Leacock dari Barbados adalah orang pertama yang menyatakan harus ada kompatibilitas spesies dalam transfusi darah.
Satu tahun kemudian, Dr. James Blundell mulai melakukan penelitian terapi transfusi darah menggunakan darah manusia. (P.J. Schmidt dan A.G. Leacock, “Forgotten transfusion history: John Leacock of Barbados” dalam BMJ (Clinical research ed.) vol. 325,7378 (2002), hlm. 1485-7).
Setelah satu tahun penelitian, James Bundell untuk pertama kalinya melakukan transfusi darah antarmanusia di Guy’s Hospital, London, pada 25 September 1818. Pasien pertama yang mendapatkan transfusi darah manusia ini adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun yang diduga menderita kekurangan gizi.
Pasien terlihat mengalami pemulihan selama dua hari, tapi tak lama kemudian meninggal. Setelah dilakukan otopsi, ternyata pasien tersebut menderita kanker lambung.
Blundell kemudian terus memperbaiki teknik transfusinya. Banyak pasien-pasien berikutnya yang mengalami kesembuhan, terutama pada pasien yang mengalami pendarahan pascapersalinan, kendati sistem golongan darah baru ditemukan pada 1901.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi