tirto.id - Menurut Dian Ika pratiwi dalam Sejarawan Angkatan Pujangga Lama (2014), klasifikasi "Angkatan Pujangga Lama" merujuk kepada generasi sastrawan yang menggubah karya sebelum abad ke-20. Karya angkatan Pujangga Lama dikenal sebagai sastra klasik, yang lahir sebelum masa pergerakan nasional tumbuh.
Mayoritas karya-karya Pujangga Lama ditulis menggunakan Bahasa Melayu. Beberapa juga ditulis dengan bahasa serapan luar, semisal Arab, Tamil, dan Sanskerta. Hal itu dikarenakan pengaruh kebudayaan di selingkung Melayu. Rata-rata, isinya berupa pesan dan nasihat berbuat kebaikan. Dominasi karyanya berupa syair, pantun, gurindam, dan hikayat.
Salah satu kendala paling mendasar dalam melacak manuskrip sastra pujangga lama adalah arsip. Sebagian besar karya sastra pujangga lama hanya disalurkan lewat lisan.
Walakin, karya sastra Pujangga Lama yang berkembang di luar tradisi Melayu punya pengarsipan mumpuni. Misalnya, di Sunda, Jawa, Sulawesi, dan lain sebagainya.
Ciri-ciri Sastra Indonesia Angkatan Pujangga Lama
Karya-karya Pujangga Lama kebanyakan berbahasakan lokal. Apabila memuat hubungan penting demi keberlangsungan modernisasi, karya sastra berbahasa lokal akan diterjemahkan ke bahasa dan aksara modern. Hal ini seperti yang dilakukan para pujangga keraton di Jawa.
Di masyarakat Melayu, karya sastra Pujangga Lama dilantunkan dan disesuaikan dengan tradisi lokal. Penggunaan diksinya masih terkesan baku dan kaku. Belum ada aturan mengikat untuk pembuatan karya sastra dalam bentuk prosa.
Cerita yang disampaikan mengisahkan hikayat para raja-raja, keadiluhungan dewa, atau dongeng tentang pangeran dan putri kerajaan yang klise. Lebih rincinya, pembagian kesusastraan pujangga lama dibagi menjadi tiga:
- Folklore (cerita rakyat) yang berkembang dan diturunkan lewat lisan atau mulut ke mulut dan bersifat kedaerahan. Misalnya, Lebai Malang, Pak Belalang, Pak Kadok, dan Si Makbul.
- Hikayat yang berhaluan heroisme para raja. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Aceh, dan Silsilah Bugis.
- Dongeng pelipur lara, berisikan pesan dan amanah kehidupan yang kuat. Misalnya, Hikayat si Miskin, Hikayat Mashudul Hak, Hikayat Malin Deman, Hikayat Awang Sulung Merah Muda, dan Cerita si Umbut.
Hampir sulit mendeskripsikan dengan pasti tarikh suatu sastra Melayu karya Angkatan Pujangga Lama dibentuk. Karya-karya itu lama hidup sebagai materi pedagogis. Tujuannya menumbuhkan dan mengembangkan moralitas yang patut dengan nilai-nilai lokal.
Contoh Karya Sastra Pujangga Lama
Selain berisi ragam kisah lokal dalam bentuk prosa, beberapa karya puisi juga disuguhkan dalam karya angkatan Pujangga Lama. Bentuknya beraneka ragam, mulai dari pantun, mantra, bidal, talibun, dan gurindam yang mengandung ujaran didaktik.
Selain itu, puisi serapan dari susastra luar pun turut mewarnai ragam nasihat sastrawi pujangga Melayu lama. Di antaranya syair Arab, masnawi nan sufistik, gurindam dari Bahasa Tamil, seloka berbahasa Sanskerta, kemudian rubai dan nazam dari Parsi.
Contoh tokoh populer yang gemar merangkai prosa dan puisi Melayu lama tersebut ialah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji.
Selain karya sastra pujangga Melayu lama, di tradisi lain pun telah berkembang wacana sastra klasik. Mengutip buku Empat Sastrawan Sunda Lama (1994/1995), sejumlah karya sastra klasik dari tradisi Sunda bahkan telah dicetak dan dijilid.
Kebanyakan karya itu terbit di pertengahan abad ke-19. Misalnya Carita Nurul Komar (1859), Jika Miskin (Wira Tonoe Baya, 1862), Wawacan Dongeng-dongen Teladan (Prawira Koesoemah, 1863), Wawacan Raja Darma (Danoekoesomah, 1863), Wawacan Wulang Krama (Moehamad Moesa, 1862), dll.
Melihat penyematan sang pengarang sekaligus tahun terbitnya, manuskrip-manuskrip dari Sunda punya orisinalitas yang terpercaya. Contoh 4 sastrawan klasik yang masyhur dari tradisi Sunda adalah Muhammad Musa, Kanduruan Kertinagara, Adipati Aria Martanagara, dan Hasan Mustapa.
Sama halnya dengan karya sastra pujangga Melayu lama, sastra pujangga Sunda lama berisikan nasihat, titah, petuah, yang mengajak pembaca berbudi pekerti baik. Penggarapannya secara serius juga baru dilangsungkan pada awal abad ke-20, sejalan dengan hadirnya Balai Pustaka.
Selanjutnya, karya sastra Pujangga Lama juga telah berkembang di Jawa. Tokohnya antara lain Ki Padmasusastra dari Surakarta. Ia merupakan penerus dari tiga pujangga keraton Surakarta beken, yakni Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Sampai kemudian muncul jembatan antara sastra klasik kesunanan dengan sastra modern yang diperankan oleh Ki Padmasusastra.
Suripan Sadihutama dalam artikelnya "Dari Ki Padmasusastra hingga Sarasehan tahun 1975" yang terbit di jurnal Basis (Vol. 25, 1976) sampai menyebut Ki Padmasusastra sebagai "Penyelamat Sastra Jawa." Melalui artikel Rangsang Tuban Karangane Ki Padmasusastra: Sawijining roman kebatinan Jawa di Majalah Penyebar Semangat (1982), George Quinn bahkan memberi dia julukan "Bapak Sastra Gagak Anyar."
Karya-karya Ki Padmasusastra dijelaskan secara mendetail dalam Kepengarangan Pujangga Ki Padma Susastra (1993) oleh Renggo Astuti, dkk. Karya-karya tersebut antara lain Serat Tatacara Jilid I—III (1911), Rangsang Tuban (1912), Serat Pathibasa (1916), Layang Madubasa (1918), Serat Prabangkara (1921), Serat Durcaarja (1921), Serat Kandhabumi (1924), dan masih banyak lainnya.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom