tirto.id - Awal tahun 1944, Jepang mulai mengalami serangkaian kekalahan dalam Perang Pasifik. Pada bulan Februari, Pasukan Sekutu berhasil mengusir mereka dari Kwajalein di Kepulauan Marshall. Empat bulan berikutnya, angkatan laut Jepang kalah dalam pertempuran di Laut Filipina. Satu bulan berselang, mereka kehilangan pangkalan angkatan laut di Saipan, Kepulauan Mariana.
Rentetan kekalahan ini membuat Perdana Menteri Tojo (1941-1944) mundur dari jabatannya. Ia digantikan oleh Jenderal Koiso Kuniaki (1944-1945). Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern1200-2008 (2008), kelak jenderal ini memiliki kecenderungan lebih besar menjanjikan kemerdekaan semu bagi Indonesia.
Tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso secara resmi menjadikan janjinya tersebut sebagai kampanye resmi Pemerintah Jepang hingga April 1945. Tujuan sebenarnya di balik janji kemerdekaan ini adalah untuk menarik minat orang-orang Indonesia agar mau melibatkan diri dalam Perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk.
Indonesia tak hanya memiliki sumber daya alam yang melimpah, tapi juga ratusan ribu bahkan jutaan manusia dewasa yang siap dimobilisasi dalam perang. Maka itu, dalam pendudukannya yang singkat, Jepang mendirikan dua organisasi militer (Heiho dan PETA), serta empat organisasi semi militer (Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, dan Hizbullah).
“Politik Jepang di Indonesia dari 1942 sampai 1945, di satu pihak, selalu di antara persoalan kolonial yang berkisar pada eksploitasi ekonomi dan pemeliharaan tata tentrem, dan di lain pihak ada kepentingan peperangan. Kepentingan ini mengharuskan Jepang melibatkan penduduk dalam isu persiapan melawan Sekutu. Pada gilirannya, mereka mempersoalkan kemerdekaan Indonesia,” tulis Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2018).
Untuk meyakinkan dan menarik minat para pemimpin Republik, pada 1 Maret 1945 pemerintah Jepang mengumumkan akan membentuk sebuah badan persiapan kemerdekaan bagi Indonesia yang bernama Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini diresmikan pada 29 April 1945.
Tugas utamanya adalah menyelidiki, mempelajari, sekaligus membuat rancangan undang-undang dasar, bentuk negara, wilayah negara, dan asas kewarganegaraan yang akan digunakan negara Indonesia jika merdeka kelak. BPUPKI juga menyiapkan susunan dasar pemerintahan dan asas dasar yang akan digunakan dalam negara tersebut.
Terbentuknya PPKI
Tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama dijatuhkan oleh Sekutu di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Peperangan di front Pasifik kian mendekati tahap akhir yang menyeret Jepang menuju kekalahan.
Sehari setelah bom atom pertama dijatuhkan, yakni pada 7 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu, Dokuritzu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) resmi dibentuk.
Panitia ini dibentuk atas persetujuan Komando Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi, yang berkedudukan di Saigon, Vietnam. Sukarno ditunjuk sebagai ketua, dan wakilnya Mohammad Hatta.
Tugas utama panitia ini adalah meresmikan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang telah dibuat dan disepakati dalam sidang BPUPKI sebelumnya. Sementara tujuan pembentukannya adalah mempercepat persiapan terakhir bagi terbentuknya pemerintahan di negara Indonesia merdeka.
Menurut Haryono Rinaldi dalam artikel berjudul “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia”, meskipun para anggota PPKI diizinkan melakukan kegiatan menurut pendapat dan kesanggupan mereka untuk kepentingan Republik Indonesia yang akan berdiri, tapi mereka tetap diwajibkan memprioritaskan perjuangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya:
”Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia; karena itu bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya. Kedua, Negara Indonesia itu merupakan anggota lingkungan kesemakmuran bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu.” (hlm. 144).
Ini artinya janji Jepang untuk memerdekakan Indonesia sebagai negara yang berdaulat hanya omong kosong. Jepang ingin Indonesia tetap berada di bawah kendalinya sebagai negara persemakmuran.
Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI
Berbeda dengan BPUPKI yang memiliki wakil dari Jepang, seluruh anggota PPKI adalah orang Indonesia. Jumlahnya 21 orang yang mewaliki hampir seluruh daerah di Indonesia. Kelak, anggota yang sudah ditetapkan 21 orang ini oleh Sukarno--tanpa sepengetahuan Jepang--ditambah 6 orang lagi menjadi 27 orang (Mahfud MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (1993), hlm 49).
Menurut The Liang Gee dalam Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia (1993), rencana awalnya PPKI akan dilantik pada 18 Agustus 1945, sedangkan kemerdekaan Indonesia akan disahkan oleh pemerintah Jepang pada 24 Agustus 1945 (Hlm. 27).
Namun, rencana itu berubah. Medan Perang Pasifik sekali lagi memiliki andil besar terhadap kondisi sosial politik di Indonesia. Pemboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu serta penyerbuan pasukan Uni Soviet ke Manchuria semakin mendesak Jepang menuju jurang kekalahan. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Tiga hari berselang, setelah berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu menyebar secara luas, akhirnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Esoknya, 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pertama dan menetapkan Undang-undang Dasar (UUD) hasil rancangan Panitia Kecil yang diketuai Soepomo. Undang-undang dasar ini yang menjadi cikal bakal UUD 1945. Kendati demikian, UUD 1945 tidak sama persis dengan rancangan UUD yang dibuat oleh Panitia Kecil-nya Soepomo.
Berikut beberapa contoh perbedaan antara UUD dan UUD 1945 setelah dilakukan perombakan. (1) Kata "Mukkaddimah" diganti dengan "Pembukaan". (2) Sila Pertama yang semula dalam Piagam Jakarta berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diganti dengan kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (3) Pasal 6 yang semula dalam batang tubuh UUD berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diganti dengan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. (4) Pasal 28 yang semula dalam batang tubuh UUD berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diganti dengan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (5) Pasal 28 pada poin 4 menjadi Pasal 29. (6) Wakil presiden yang semula dua diubah menjadi satu. (Haryono Rinardi, Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017).
PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar bagi bangsa Indonesia yang baru berdiri. Lalu mengangkat Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama.
Terakhir, atas usulan Sukarno, PPKI membentuk Komite Nasional yang diharapkan dapat dikumpulkan secara cepat pada masa-masa genting setelah proklamasi. Hal ini dilakukan karena banyak dari anggota PPKI yang akan segera kembali daerah asalnya masing-masing. Tugas Komite Nasional adalah sebagai badan pembantu presiden dan wakil presiden selama Indonesia masih dalam kondisi darurat setelah proklamasi kemerdekaan.
Editor: Irfan Teguh