tirto.id - Akhir 2018 hingga awal 2019 jadi waktu yang menyedihkan bagi dunia aviasi. Pertama, Lion Air JT 610 jatuh di Laut Jawa. Tak sampai enam bulan berselang, kejadian berulang: Ethiopian Airlines ET 302 jatuh tak lama selepas take-off di Addis Ababa.
Nahasnya, dua kecelakaan beruntun itu terjadi di atas jenis pesawat yang sama: Boeing 737 Max 8. Meski Boeing mengelak—dan untuk kasus di Indonesia pernah seakan-akan melempar tanggung jawab hanya pada Lion Air—investigasi yang dilakukan Dominic Gates dari Seattle Times menyebut bahwa pertanggungjawaban utama sebenarnya berada di produsen pesawat.
Secara singkat, Gates menyebut bahwa Max dipaksa menggunakan type rating yang sama dengan para pendahulu seri 737. Alasannya sederhana, Boeing ingin membuat para maskapai tak perlu bersosialisasi ulang atau mengajar ulang bagaimana memperlakukan Max. Ini, kata Boeing, “akan menghemat jutaan dolar karena Max sama dengan 737 NG (dan 737 lainnya).”
Type rating sama membuat Boeing bisa menjual Max lebih bersaing melawan Airbus A320neo. Padahal, akibat terjadi perubahan desain, terutama penempatan mesin pesawat (dan mesin itu bertenaga lebih besar), angle-of-attack Max sangat berbeda dengan 737 lainnya.
Parahnya, Boeing lalu berlaku culas dengan tidak memberitahu fakta ini. Mereka pun hanya memperbaiki masalah angle-of-attack dengan memanfaatkan software bernama MCAS atau Maneuvering Characteristics Augmentation System—dan parahnya lagi, Boeing tidak memberitahukan ini pada para pelaku aviasi dunia.
Tiga ratus empat puluh enam orang tewas dalam dua kecelakaan Max beruntun itu.
Secara statistik, meski tiap kecelakaan pesawat melahirkan kisah-kisah mengerikan, transportasi berbasis pesawat terbilang aman. Di tahun 2018 konsultan keamanan penerbangan T070 menyebut bahwa rasio terlibat kecelakaan fatal kala menggunakan pesawat hanya berada di angka 0,36 per 1.000.000 penerbangan.
Rasio kecelakaan pesawat akan naik-turun seiring dengan ada atau tidaknya insiden besar terjadi di tahun perhitungan. Rasio di 2018 terdongkrak atas tragedi Lion Air. Setahun sebelumnya, pada 2017, rasio terlibat kecelakaan fatal hanya 0,06 per 1.000.000 penerbangan.
Transportasi berbasis pesawat terhitung aman karena industri ini sangat ketat soal keamanan. Ini bukan hanya terjadi di zaman kiwari, namun telah dilakukan sejak akhir 1980-an dan bahkan awal 1900-an—masa di mana Wright bersaudara tengah berupaya mewujudkan khayalan manusia untuk terbang.
Inspirasi dari Leonardo da Vinci
Kala Wilbur Wright berusia sebelas dan Orville Wright berusia tujuh, ayah mereka, Milton Wright, memberi hadiah helikopter mainan karya Alphonse Penaud. Orang Perancis itu tidak membuat rancangan helikopter dari ide orisinalnya. Ia menciptakan mainan tersebut dari desain imajiner helikopter karya Leonardo da Vinci.
Sebagaimana diwartakan Wired, da Vinci, pada rentang 1483 hingga 1486, pernah membuat sketsa atas apa yang kini kita sebut helikopter bernama Vite Aerea atau The Aerial Screw.
“Saya percaya bahwa jika sekrup ini dibuat dengan baik, sekrup akan mampu naik tinggi ke atas,” tulis da Vinci dalam catatan desain Vite Aerea.
Wilbur Wright dan Orville Wright, atau sebut saja “Wright Bersaudara”, terkesima. Dalam “The Birth of Flight Control: An Engineering Analysis of the Wright Brothers’ 1902 Glider” (2003), paper yang ditulis G.D. Padfield, dua orang bocah itu kemudian sepakat untuk menciptakan sesuatu yang “wah”: membuat manusia bisa terbang. Dan penciptaan yang “wah” itu kemudian diinisiasi pada 30 Mei 1899, kala Wilbur, si kakak, mengirim surat pada Smithsonian Institution.
“Saya tertarik dengan permasalahan-permasalahan mekanis soal penerbangan sejak kecil. Saya membuat sejumlah percobaan sederhana dengan berbagai ukuran sesuai dengan kerja yang telah dilakukan Penaud […] Dan menyadari bahwa manusia terbang adalah mungkin dan dapat dilakukan […] Saya percaya bahwa penerbangan sederhana mungkin dilakukan oleh manusia asalkan telah ada serangkaian percobaan dan investigasi besar dan independen untuk menghasilkan informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang akhirnya akan mengarah pada penerbangan yang sempurna,” tulis Wilbur kala itu.
Smithsonian merespons. Mereka memberikan buku-buku rujukan soal aviasi yang dimiliki pada Wright bersaudara.
Glider adalah Kunci
Pada 1900, berdasarkan rujukan yang telah mereka pelajari, khususnya tentang monoplane Lilienthal Glider dari Otto Lilienthal, kakak-adik ini menghasilkan “1900 Glider.”
Glider merupakan pesawat tanpa mesin dan sering disebut sebagai pesawat layang. Lilienthal adalah pelopornya. Dengan glider, Lilienthal melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa dan bagaimana aerodinamika bekerja. Wright bersaudara meniru kerja Lilienthal dengan membuat glider yang memiliki lebar sayap sepanjang 20 kaki.
Sayangnya, Wright bersaudara tidak puas. Pada 1901 mereka menyempurnakan penciptaan dengan merilis “1901 Glider” yang bersayap lebih luas. Tapi penciptaan glider kedua ini pun tak membuat Wright bersaudara puas. Dengan sayap yang telah diperluas, glider hanya mampu memperoleh sepertiga daya angkat dari teori penciptaan glider milik Lilienthal yang mereka pelajari.
Wright kemudian paham, membuat sistem pengendali pesawat (flight control) adalah solusinya. Dan pada 1902 mereka memecahkan solusi itu dengan “1902 Glider.”
Pada teori aerodinamika ada istilah bernama rasio L/D atau lift-to-drag. Sederhananya, daya angkat akan tercipta manakala sayap bertubrukan dengan angin. Untuk menciptakan rasio L/D yang baik, yang akan menghasilkan daya angkat maksimal, Wright bersaudara menyadari pentingnya sistem pengendali pesawat.
Mereka mempelajari centre of gravity (titik berat atau pusat massa), lokasi dalam pesawat di mana rata-rata berat berada. Bila centre of gravity ditemukan, akan diketahui di mana titik-titik three dimensional coordinate (tiga koordinat penentu sumbu utama): pitch, roll, dan yaw. Ketiga titik itulah yang bisa membuat pesawat bergerak leluasa.
1902 Glider sukses. Di tahun itu, 700 hingga 1.000 kali penerbangan “1902 Glider” dilakukan Wright bersaudara. Setahun berselang, Wright Flyer lahir. Wright Flyer merupakan pesawat heavier-than-air bermesin yang diciptakan Wright bersaudara. Pesawat dibuat memanfaatkan kayu cemara dan mesin khusus berkekuatan 12 tenaga kuda.
Lewat pencapaian tersebut, Wright bersaudara jadi dua orang pertama di dunia yang sukses menciptakan pesawat terbang bermesin. Itulah cikal-bakal semua pesawat yang lahir kemudian, termasuk dari Boeing maupun Airbus.
Wright Flyer sukses diujicoba untuk terbang empat kali, antara Kill Devil Hills hingga Kitty Hawk di North Carolina, Amerika Serikat, dengan jarak tempuh sejauh 6,4 kilometer, pada 1903. Dan kakak-adik ini akhirnya menerima paten “Flying Machine” bernomor US821393A pada 22 Mei 1906, tepat hari ini 113 tahun lalu.
Meski pada 1903 pesawat bermesin sukses dilahirkan Wright bersaudara, mereka tak mau langsung mengumumkannya pada publik. Pada 5 Januari 1904, sebagaimana dikutip Associated Press, Wilbur mengatakan bahwa “kami bertekad, sebelum kembali ke rumah, untuk mengetahui apakah mesin memiliki kekuatan yang cukup untuk terbang, kekuatan yang cukup untuk menahan guncangan pendaratan, dan kapasitas kontrol yang cukup untuk membuat penerbangan aman di angin yang kencang, serta di udara yang tenang. Ketika poin-poin ini telah ditetapkan dengan pasti, kami akan segera mengemas barang-barang kami dan kembali ke rumah.”
Secara tersirat, Wright bersaudara menginginkan ciptaan mereka benar-benar bekerja baik, tidak setengah-setengah. Semangat itulah yang terus dipertahankan para pencipta pesawat sampai kini, sehingga bisa melahirkan rasio kecelakaan yang paling rendah.
Sayangnya, demi keuntungan sesaat, Boeing melukai semangat para pelopor aviasi modern itu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan