Menuju konten utama

Sejarah Pemilu 1992: Golkar Terkendala, PPP & PDI Bersaing Ketat

Perolehan suara Golkar di Pemilu 1992 sedikit turun gara-gara masalah internal. PPP dan PDI bersaing ketat kendati Golkar tetap melanjutkan sejarah sebagai pemenang.

Sejarah Pemilu 1992: Golkar Terkendala, PPP & PDI Bersaing Ketat
ilustrasi pemilihan umum.foto/shutterstock

tirto.id - Pemilihan Umum 1992 adalah pemilu kelima pada masa Orde Baru dan yang keenam dalam sejarah Indonesia sejak kemerdekaan. Hasil Pemilu 1992 tetap dimenangkan telak oleh Golkar meskipun perolehan suaranya sedikit menurun. Sementara itu, PPP dan PDI bersaing ketat dalam pengumpulan jumlah suara.

Sama seperti serangkaian pemilu pada edisi-edisi sebelumnya, Pemilu 1992 juga tidak untuk memilih presiden dan wakil presiden, melainkan memilih anggota DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya.

Golkar untuk kelima kalinya secara beruntun menjadi pemenang pemilu dan kembali mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan. Namun, perolehan suara yang diperoleh mesin politik Orde Baru ini menurun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Di Pemilu 1987, ormas berlambang pohon beringin ini meraup 74.75 persen suara dan memperoleh 299 kursi di DPR. Sedangkan untuk Pemilu 1992 ini, suara yang dikumpulkan Golkar sedikit menurun yakni 70.5 persen dan 282 kursi parlemen.

Harry Tjan Silalahi dalam Bunga Rampai Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi (1995) menyebutkan, langkah Golkar menjelang pemilu kali ini memang terganjal sedikit masalah, terutama persoalan internal. Salah satu yang tampak adalah buruknya komunikasi antara Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasehat cabang Golkar di sejumlah provinsi seperti Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi Utara, dan NTT.

Golkar juga harus menghadapi beberapa aktivisnya yang merasa diabaikan setelah kemenangan besar di Pemilu 1987. Mereka yang kecewa itu terutama dari kalangan purnawirawan ABRI dan perangkat desa. Nah, masalah ini dimanfaatkan oleh dua kontestan lainnya, PPP dan PDI, untuk merebut suara konstituen Golkar.

“Di samping itu, Golongan Karya tampaknya juga belum mempunyai kiat untuk menarik ‘golongan menengah’ dan para pemilih pemula yang diperkirakan jumlahnya mencapai 17 juta,” imbuh Harry Tjan Silalahi dalam bukunya.

Persaingan Ketat PPP dan PDI

Limbungnya Golkar membuat PPP dan PDI lebih bernyali memberikan tekanan, kendati tetap berhati-hati. Menurut M. Sudibjo dalam tulisan pendahuluannya untuk buku Bunga Rampai Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi (1995), kedua partai itu berani mempertanyakan dasar legal pegawai negeri harus menjadi anggota Golkar.

Kelemahan Golkar menggaet pemilih muda dimanfaatkan benar oleh PDI. Dalam kampanyenya, partai berhaluan nasionalis ini menampilkan citra sebagai partai kawula muda dan wong cilik. PDI mencoba menggaet suara dari orang-orang yang tidak puas dan merasa tertindas oleh rezim Soeharto.

Ketua Umum DPP PDI kala itu, Soerjadi, dalam kampanyenya di Jakarta pada 12 Mei 1992 di Jakarta bahkan berani melontarkan wacana pembatasan masa jabatan presiden. Aturan ini tak tercantum dalam UUD 1945 atau undang-undang turunan lainnya. Maka, ia mengusulkan agar masa jabatan presiden di masa depan perlu dibatasi hanya dua periode saja.

Hasil Pemilu 1992 menunjukkan suara yang digamit PDI mengalami peningkatan yang cukup lumayan, yakni 14 persen, naik 4 persen dari pemilu sebelumnya yang hanya meraih 10 persen. Begitu pula untuk perolehan tempat di DPR, dari 40 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 56 kursi.

“Pada Pemilu 1992 ini, PDI berhasil menaikkan 16 kursi lagi. Ini artinya, dalam dua pemilu ini PDI berhasil menambah 32 kursi,” lapor Tim Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta (2000).

Satu peserta lainnya, PPP, juga merasakan peningkatan perolehan suara meskipun tidak sebesar PDI. Partai yang merupakan hasil fusi dari partai-partai Islam ini meraih 17 persen suara dan 62 kursi di DPR, naik sedikit dari perolehan pada Pemilu 1987 yang berada di angka 15.25 persen dengan 61 kursi wakil rakyat.

Situasi ini membuat PPP dan PDI kini bersaing ketat kendati tetap harus merelakan Golkar lagi-lagi tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara yang terpaut jauh. Meskipun mengalami penurunan suara hingga 5 persen, namun Golkar tetap saja perkasa mengingat rezim Orde Baru mengerahkan segala daya dan upaya demi mempertahankan kemenangan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Current issue
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Iswara N Raditya