tirto.id - Soeharto memang sudah menduduki kursi kekuasaan sejak 1967. Namun, pemilihan umum baru dilaksanakan pada 1971. Sejarah mencatat, Pemilu 1971 adalah pemilu pertama di rezim Orde Baru. Berbeda dengan Pemilu 1955, Pemilu 1971 terkesan sebagai pesta demokrasi yang bersifat semu.
Pemilu 1971 sebenarnya menjadi peluang terbaik untuk mewujudkan kehidupan negara demokratis setelah Pemilu 1955, terlebih pasca-terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang menjadi awal keruntuhan rezim Orde Lama pimpinan Sukarno.
”Sayangnya, Pemilu [1971] direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata sejarawan Anhar Gonggong, dikutip dari Kompas (11/1/2014).
Sama seperti Pemilu 1955, Pemilu 1971 bukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, yang dipilih adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi dan kabupaten. Pemilihan presiden beserta wakilnya menjadi tanggung jawab Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pemilu 1971 masih diikuti oleh cukup banyak kontestan, yakni 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat, meskipun masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Pemilu 1955 yang melibatkan 36 parpol, 34 ormas, serta 48 calon perorangan.
Para peserta Pemilu 1971 antara lain: Partai Katolik, Partai Nahdlatul Ulama (PNU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam PERTI, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, dan Partai Muslimin Indonesia, ditambah Golongan Karya (Golkar) dari ormas.
Sebagai catatan, setelah Pemilu 1971 hingga ambruknya Orde Baru pada 1998, pemilihan umum hanya menyertakan tiga peserta usai diterapkan fusi atau penggabungan, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Mesin Politik Orde Baru
Pada Pemilu 1971 pun, tulis Manuel Kaisiepo melalui artikel “Dilema Partai Demokrasi Indonesia, Perjuangan Mencari Identitas” dalam Majalah Prisma No. 12 terbitan Desember 1981, sebenarnya sudah tercetus pengelompokan partai menjadi Golongan Spiritualis, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.
Meskipun ada yang setuju, namun muncul pula pihak-pihak yang tidak sepakat, terutama dari Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik. Upaya dikotomi itu pun batal diterapkan di Pemilu 1971 kendati akhirnya sukses diberlakukan pada Pemilu 1977 dan pemilu-pemilu selanjutnya hingga lengsernya Soeharto.
Kendati gagal melakukan dikotomi, namun Pemilu 1971 tetap menjadi mesin politik Orde Baru. Menurut tujuan awalnya, Pemilu 1971 mengusung misi untuk menciptakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang demokratis pasca-kericuhan politik 1965. Akan tetapi, ajang yang seharusnya menjadi pesta demokrasi itu justru dibuat sedemikian rupa untuk memenangkan Golkar.
Anhar Gonggong menyebut, Golkar sudah diperkirakan menang kendati baru kali pertama ikut pemilu. Ormas inilah kendaraan politik Soeharto dan Orde Baru. Ditambah lagi, ABRI dengan seluruh jaringannya, PGRI, pegawai negeri, serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.
Tak hanya itu, para pejabat Departemen Dalam Negeri dikerahkan menjadi panitia. Jejaring pemerintahan bergerak dengan memberikan uang kepada masyarakat agar memilih Golkar. Tempat Pemungutan Suara (TPS) pun dijaga ketat oleh aparat kepolisian dan tentara.
Alhasil, Golkar menang mutlak. Ormas berlambang pohon beringin ini mengantongi 62,8 persen suara dan mendapat 236 kursi di DPR. Di urutan kedua ada Partai Nahdlatul Ulama dengan 18,6 persen dan 58 kursi di parlemen. Yang mengejutkan, suara PNI sebagai pemenang Pemilu 1955 ternyata anjlok. Parpol bentukan Sukarno ini hanya mendapatkan 6,9 persen suara dan 20 kursi di DPR.
Pemilu 1971 menjadi awal kejayaan Golkar sebagai mesin politik utama Orde Baru yang selalu melanggengkan Soeharto di kursi kepresidenan, terlebih setelah dilakukan fusi menjadi hanya tiga peserta saja dalam pemilu-pemilu berikutnya. Golkar selalu mendominasi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi semu sepanjang era Orde Baru.
Editor: Iswara N Raditya