tirto.id - Pegawai negeri sudah berserikat sejak zaman kolonial. Biasanya perserikatan tersebut berdasarkan tempat kerja (kedinasan) masing-masing. Sejarah mencatat, mewadahi semua pegawai negeri dalam organisasi tunggal sukar sekali dilakukan di masa itu.
Dalam Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional (1975), S.K. Trimurti menyebut beberapa perkumpulan para pegawai di Hindia Belanda yang beranggotakan orang-orang pribumi. “Tahun 1911 berdiri P.B.P. (Perhimpunan Bumi Putera Pabean). Tahun 1912 berdiri P.G.H.B. (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang kemudian namanya diganti dengan P.G.I. (Perhimpunan Guru Indonesia),” tulis Trimurti (hlm. 8).
Para polisi berserikat dalam Inlandsche Politie Bond (IPB). Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri pertama, ikut di dalamnya. Sementara itu, para pegawai di departemen dalam negeri berkumpul dalam Persatuan Pegawai Binnenlandsch Bestuur (PPBB). Pemimpinnya adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo—terkenal dengan petisinya yang menginginkan otonomi Hindia Belanda.
Setelah zaman kolonial berlalu, lalu melewati zaman Jepang, kemudian di masa Sukarno menjadi presiden, para pegawai negeri masih belum disatukan. Mereka tetap tergabung dalam perkumpulan di departemennya masing-masing. Setelah Soeharto naik menjadi presiden, para pegawai negeri disatukan dalam sebuah wadah resmi.
Peran Amirmachmud
Orang-orang yang ditunjuk Soeharto sebagai Menteri Dalam Negeri adalah para jenderal yang ikut serta mendirikan Orde Baru. Jabatan ini sempat diisi Mayor Jenderal Basuki Rachmat dan Mayor Jenderal Amirmachmud. Kedua orang inilah yang membujuk Sukarno untuk menandatangani Supersemar.
“Gebrakan politik pertama Amirmachmud adalah membubarkan semua organisasi pegawai negeri sipil dalam departemen-departemen pemerintah. Kita tahu semua organisasi itu berafiliasi kepada salah satu partai besar di zaman orde lama,” tulis Ben Mboi dalam autobiografinya, Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja (2011: 256).
Gebrakan lain Amirmachmud adalah merilis Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 12 tahun 1969 yang kemudian dikenal sebagai Permen 12. Permen ini melarang PNS terlibat aktif dalam partai politik. Tentu saja peraturan tersebut tidak disukai partai-partai.
Akbar Tandjung dalam The Golkar Way (2007) menyebut, “Kebijakan kontroversial ini [Permen 12] kemudian dikenal sebagai bulldozer Amirmachmud, untuk menggambarkan kebijakan Mendagri Amirmachmud yang memihak pada Golkar dan menggilas partai-partai politik” (hlm. 155).
Menurut David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang (2013), pada November 1969 sebenarnya sudah ada organisasi bernama Musyawarah Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI) sebagai wadah para pegawai. Tapi organisasi ini bersikap mbalelo dengan membela ormas-ormas yang melawan Sekber Golkar (hlm. 303).
Organisasi pegawai negeri pengganti telah disiapkan Amirmachmud. Presiden Soeharto pun merestuinya. Pada 29 November 1971, tepat hari ini 47 tahun lalu, Soeharto menetapkan berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah tunggal pegawai negeri. Pendirian Korpri disahkan secara hukum lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 82 tahun 1971. Organisasi ini juga diharapkan bisa menggantikan MPBI.
Wajib Coblos Golkar
Istilah korps selalu identik dengan kesatuan militer yang jumlah personelnya ratusan ribu orang. Di zaman Soeharto, para pegawai negeri memang harus siap baris-berbaris karena ada upacara bendera yang wajib mereka lakukan. Semua tahu Korpri adalah komando penting bagi pegawai negeri. Dalam pikiran Amirmachmud dan Soeharto, mereka mesti mengikuti kata pemerintah.
Dalam autobiografinya, H Amirmachmud, Prajurit, Pejuang: Otobiografi (1987), Amirmachmud menyebut, “kedudukan dan peranan pegawai adalah sangat penting dan menentukan, karena pegawai adalah merupakan aparat pelaksana pemerintah” (hlm. 468).
Pada Kamis, 16 Desember 1971, seperti dicatat dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973 (2003), Soeharto dan Amirmachmud membahas soal masa depan perkembangan Korpri di daerah-daerah dan departemen-departemen (hlm. 393). Sejak pertemuan itu Korpri makin absah sebagai satu-satunya wadah organisasi bagi para pegawai negeri.
Di masa Orde Baru ini, Korpri dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi komponen penting pendukung Golkar. Kepada semua pegawai negeri, pemerintah menanamkan bahwa tiada pilihan kecuali Golkar dalam Pemilu. Siapapun pegawai negeri yang tidak memilih Golkar, maka “azab” dari pemerintah akan perih baginya. Banyak cerita sedih soal PNS yang diketahui memilih selain Golkar. Hukuman mereka biasanya dimutasi ke “daerah buangan.”
Golkar tentu saja selalu menang. Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), “Orde baru memanfaatkan Golkar sebagai ujung tombak politiknya terutama sebagai mesin politik pemilihan umum dengan birokrasi sipil, birokrasi militer dan Golongan karya sendiri sebagai partai” (hlm. 261).
Sebaliknya Golkar pun memanfaatkan Korpri yang hanya boleh taat kepada pemerintah. “Dengan memasukkan seluruh PNS, Korpri pasti menyediakan pengikut terorganisasi, yang besar bagi Golkar,” tulis David Reeve (hlm. 318).
Maka bukan hal mengherankan jika para PNS yang bernaung di bawah Korpri ramai-ramai (banyak pula yang terpaksa) mencoblos Golkar dalam Pemilu.
Biasanya tidak hanya para PNS, tapi juga anggota keluarga mereka. Pada 1993 jumlah PNS sekitar 3,95 juta personel. Maka bayangkanlah seberapa besar perolehan suara Golkar jika tiap PNS bisa menarik 2 hingga 6 pemilih ketika Pemilu; entah dari istri, anak, orang tua, maupun kerabatnya.
Pada zaman itu banyak keluarga PNS dan ABRI yang percaya bahwa Golkar lah yang memberi makan mereka. Di sekitar Tana Toraja, misalnya, ada istilah Beras Golkar di kalangan keluarga PNS dan ABRI.
Golkar berjaya pada zaman Orde Baru dan banyak perwira tinggi terlibat di dalamnya. Pucuk pimpinan Golkar sebagian besar diisi para jenderal. Namun tak semua jenderal rela mendukung Golkar.
Letnan Jenderal Ali Sadikin, misalnya, seperti dicatat David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010), pernah bertanya, “Jika ABRI benar-benar bersatu dengan rakyat dan tidak berpihak kepada salah satu golongan, mengapa ada Keluarga Besar yang terdiri dari Korpri, Golkar dan ABRI?” (hlm. 199).
Setelah Soeharto lengser, Korpri tak lagi menyediakan banyak pengikut untuk Golkar. Para PNS bisa dengan nyaman memilih partai selain Golkar. Sulit memobilisasi mereka secara terstruktur, masif, dan sistematis untuk memilih Golkar lagi.
Meski begitu Korpri masih ada. Batik Korpri pun tetap dipakai sampai sekarang. Pada hari-hari tertentu, batik Korpri digunakan dalam dinas pemerintahan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan