Menuju konten utama

Sejarah Pemilu 1977: Taktik Fusi Parpol ala Soeharto & Orde Baru

Sejarah mencatat, Pemilu 1977 menjadi pemilu pertama yang diikuti parpol hasil fusi yakni PPP dan PDI, selain Golkar yang menjadi kendaraan politik Soeharto dan Orde Baru.

Presiden ke-2 RI, Soeharto. FOTO/LIFE

tirto.id - Pemilu 1977 merupakan ajang pemilihan umum kedua rezim Orde Baru setelah sebelumnya dilakukan pada 1971 yang dimenangkan telak oleh Golkar dan memantapkan posisi Soeharto sebagai presiden. Ada catatan sejarah penting dalam penyelenggaraan “pesta demokrasi” ini, yakni peleburan atau fusi partai politik (parpol) peserta pemilu.

Terdapat 9 parpol ditambah 1 organisasi masyarakat (ormas), yakni Golkar, yang menjadi kontestan dalam Pemilu 1971. Dua tahun berselang, pada 1973, MPR mengeluarkan ketetapan tentang GBHN yang menegaskan mengenai perlunya pengelompokan organisasi peserta pemilu. Artinya, parpol-parpol yang dianggap “sejenis” akan difusikan.

Kelompok pertama melakukan fusi adalah partai-partai politik berideologi Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI. Dikutip dari buku Strategi PPP 1973-1982 karya Umaidi Radi, keempat partai Islam ini melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terhitung sejak 5 Januari 1973.

Djarnawi Hadikusumo, Ketua Parmusi, mengatakan, penggabungan partai-partai politik berideologi Islam menjadi PPP ini tidak menemui kendala berarti karena sesuai dengan rencana yang dicanangkan pada Kongres Umat Islam 1969.

Lima hari berselang, tanggal 10 Januari 1973, giliran kelompok nasionalis, plus dua partai agama non-Islam, yang meleburkan diri, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Hasil fusinya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Di tengah-tengah dua kubu itu, Golkar, pendatang baru yang langsung memenangkan Pemilu 1971 dengan telak, tetap berstatus sebagai organisasi masyarakat, dan inilah kendaraan politik Orde Baru yang amat dibutuhkan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan.

Di Balik Siasat Fusi

Gagasan fusi sebenarnya sudah pernah tertuang dalam pidato Presiden Soeharto dalam Kongres XII PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang. Sebelum itu, wacana penyederhanaan partai-partai politik sudah tertuang dalam Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966.

Tulisan Manuel Kaisiepo berjudul “Dilema Partai Demokrasi Indonesia: Perjuangan Mencari Identitas” dalam Majalah Prisma No. 12 edisi Desember 1981 mengungkapkan, gagasan penyederhanaan partai atau fusi partai awalnya diterima dengan baik oleh partai-partai Islam dan partai-partai berhaluan nasionalis.

Gagasan tersebut sempat diwacanakan menjelang Pemilu 1971. Namun, lantaran terjadi pro dan kontra, termasuk penolakan dari Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik, maka rencana penyederhanaan partai-partai politik belum bisa diterapkan di pemilu pertama rezim Orde Baru tersebut.

Penyederhanaan partai-partai politik peserta pemilu tentu saja bukan tanpa alasan. Rully Chairul Azwa dalam Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009) memaparkan, setelah dilakukan kebijakan fusi partai-partai politik pada 1973 itu, posisi Golkar semakin kuat di antara dua kekuatan politik lainnya, yakni PPP dan PDI.

Selain itu, partai-partai hasil fusi ternyata tidak lantas bisa bebas bergerak begitu saja. Soeharto melalui jejaring kekuasaannya berhasil menyetir PPP dan PDI lewat Direktorat Sospol di TNI AD dan Kementerian Dalam Negeri. Identitas asli partai-partai yang berfusi pun perlahan digerus sehingga hanya menyisakan dua ideologi besar, yakni partai Islam dan partai nasionalis.

PPP, PDI, dan Golkar pun bertarung di Pemilu 1977 untuk memilih calon anggota DPR dan DPRD. Sementara presiden menjadi ranah MPR dan Soeharto lewat segala cara selalu bisa memastikan bahwa ia yang akan tetap menduduki kursi kekuasaan.

Manipulasi yang dilakukan rezim Orde Baru semakin kuat pada Pemilu 1977 ini. Pemilihan menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Pemilih tidak dapat melihat wajah dan mengetahui nama calon-calon anggota parlemen yang seharusnya akan dipilih, dan hanya bisa mencoblos partai politik.

Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan. Golkar menang telak dengan perolehan 62,1 persen suara dan memperoleh 232 kursi di DPR. Di posisi kedua ada PPP dengan 29,2 persen suara (99 kursi DPR, dan PDI menduduki tempat ketiga dengan 8,6 persen suara (29 kursi DPR). Golkar lagi-lagi dominan, Soeharto pun tetap nyaman di puncak kekuasaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Iswara N Raditya
-->